Yuswo mensinyalir, kecanduan tersebut terjadi karena aktivitas berbelanja dan membayar seolah “terlepas”. Di kalangan behavioral economist, fenomena ini disebut “decoupling.” Sebabnya memang karena adanya penundaan pembayaran. Beli sekarang, membayarnya bulan depan. Itulah kenapa namanya kartu kredit. Saya sendiri menyebutnya “kartu ngutang”.
Seakan “mestakung” (semesta mendukung, meminjam istilah Prof. Yohanes Surya), tugas kuliah S-2 partner saya adalah merancang strategi komunikasi launching kartu kredit di tahun 1991. Karena saya pernah jadi praktisi komunikasi dan juga sekitar 1,5 tahun jadi dosen komunikasi, ia berkonsultasi dengan saya meski sebenarnya saya cuma bisa memberi saran sekadarnya. Dalam case study berjudul “Citibank: Launching the Credit Card in Asia Pacific” (Harvard Business School 9-595-026. Rev March 21,1995) tersebut, dituliskan dalam analisanya bahwa untuk memperkenalkan kartu kredit ke Asia, salah satunya justru harus dilakukan diversifikasi atau pembedaan antara “kredit” dan “berhutang”. Karena di banyak negara Asia Pasifik saat itu -20 tahun lalu- banyak warganya yang tidak mau berhutang. Tidak hanya di Indonesia, seperti di Taiwan pun masyarakatnya anti berhutang dan terbiasa dengan uang tunai.
Nah, kalau kita lihat situasi sekarang, berarti strategi komunikasi dan pemasaran 20 tahun lalu itu berhasil. Fenomena decoupling itu memang sengaja dikondisikan oleh pihak penerbit kartu kredit atau bank. Masyarakat berhasil di-brainwash (cuci otak) dan diubah culture-nya dalam hal penggunaan uang sebagai alat tukar transaksi pembayaran. Pola kebiasaaan belanja konsumen pun diubah dengan pencitraan luar biasa, mengkaitkan belanja sebagai sebuah life style (gaya hidup). Kelas menengah baru yang dalam istilah Yuswohady disebut “Consumer 3000” yang sejatinya merupakan OKB (Orang Kaya Baru) tentu ngebet ingin menikmatinya. Karena baru saja melakukan social climbing (pendakian status sosial), jelas life style menggunakan kartu kredit merupakan salah satu yang diincar. Apalagi, karena kepentingan mendapatkan sebanyak mungkin nasabah, bank malah berlomba-lomba mempermudah persyaratan memiliki “kartu ngutang” ini. Tak peduli berapa banyak yang kemudian akan default atau gagal bayar, yang penting potensi meraup keuntungan makin besar. Nyatanya, meski ada beberapa yang ngemplang bahkan hingga berurusan dengan debt collector hingga ke polisi sekali pun, yang patuh dan rajin membayar justru lebih banyak. Karena pada dasarnya kita sebagai manusia kan memang tidak mau “cari masalah” toh? Jadi, bank penerbit kartu kredit rupanya masih untung besar.
Karena penerbitan kartu kredit merupakan bagian dari regulasi perbankan yang diatur pemerintah, kita sebagai konsumen tentu tak bisa apa-apa. Andaikatapun konsumen menyadari “jebakan Badman (iya, bukan Batman)” itu, tak ada yang bisa dilakukan. Demonstrasi Bersih 2.0 ala Malaysia pun tak bakal digelar karena alasan memprotes keberadaan kartu kredit kan?
Maka, satu-satunya cara adalah “memperkuat iman”. Lho? Iya, karena hanya dengan “iman yang tebal” kita bisa membentengi diri dari kebiasaan belanja konsumen yang kalap menggunakan kartu kredit. Iman di sini bukan berarti kepada agama saja, namun justru dalam konteks “kepercayaan dan keyakinan yang kuat di dalam hati dan pikiran” kepada sesuatu hal. Kita harus membongkar paradigma dari pihak bank penerbit kartu kredit yang mengatakan itu bukan “kartu ngutang”. Kalau memang punya uang, hampir semua financial planner berkata senada, jadikan kartu kredit seperti kartu debet. Begitu tagihan datang, lunasi semua, bukan cuma minimum payment-nya. Atau minimal seperti saran sobat saya Mike Rini dalam bukunya 120 Solusi Mengelola Keuangan Pribadi (2006:232), bayar cicilan tagihan dengan jumlah lebih besar dari minimum payment.
Tanpa kita sadari sebenarnya bunga (interest) kartu kredit itu besar, sekitar 30 % per tahun. Artinya, barang yang kita beli sekarang namun bayarnya nyicil itu lebih mahal 30 % daripada beli tunai, atau ditambah 1/3 dari harga aslinya. Lebih memberatkan lagi, bunga yang dibebankan kemudian masuk pula ke pokok hutang. Sehingga terjadilah bunga-berbunga. Bila selalu membayar di bawah minimum payment, niscaya makin lama hutang kartu kredit makin menumpuk.
Intinya, “iman” kita harus terus-menerus dipertebal dengan mengingat kondisi nyata keuangan kita. Jangan seperti kata pepatah “lebih besar pasak daripada tiang”. Lebih baik sekedar “ingin merengkuh gunung, apa daya tangan tak sampai”. Ingin belanja sih silahkan saja. Tapi ingat-ingat konsekuensinya. Karena kartu kredit adalah “kartu ngutang”, pasti si pemilik uang akan menagih piutangnya kan? Jadi, jangan belanja bila tak ada uangnya. Jangan anggap kartu kredit sebagai “dana tambahan” atas penghasilan Anda. Melainkan semata sebagai alternatif cara pembayaran saja, daripada harus membawa uang tunai dalam jumlah besar ke mana-mana. Kita harus selalu ingat, bahwa “kredit” itu sama persis dengan “hutang”. Oke?
Sumber gambar illustrasi: squidoo.com
Tulisan ini juga diposting di blog pribadi Bhayu M.H., LifeSchool dengan judul berbeda, namun isinya sama.