Ditundanya kunjungan kenegaraan Presiden R.I. ke Belanda memicu beragam reaksi baik di Indonesia sendiri maupun di Belanda. Umumnya, reaksi itu bernada menyayangkan hingga kecaman, meski ada pula yang mendukung. Di Belanda, reaksi keras muncul di media massa. Kemarin, sempat muncul tajuk rencana dari redaksi media berpengaruh di Belanda, de telegraaf. Namun, ketika hal itu menjadi pemberitaan di media massa Indonesia terutama di internet, halaman situs bersangkutan dihapus.
Pada intinya, isi tajuk rencana itu –yang kolom aslinya bernama “Hoofdredactioneel commentaar”- itu menyatakan tindakan SBY itu sebagai penghinaan kepada Kerajaan Belanda dan Ratu Beatrix. Bahkan judulnya singkat saja, tapi provokatif: “Belediging” yang dalam bahasa Indonesia artinya “Penghinaan”.
Sebenarnya, tindakan SBY itu tidak perlu disambut dengan caci-maki, hanya saja barangkali terjadi kesimpang-siuran informasi ditambah ketidakmengertian orang-orang dekat beliau sehingga berakibat tindakan itu diambil. Sayang sekali ahli hukum internasional seperti Dr. Hikmahanto Juwana berada di luar lingkaran beliau. Terlebih lagi pakar hukum tata negara Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra justru dijadikan tersangka dalam kasus Sisminbakum dan jelas menjadi 'berseberangan'. Padahal andaikata berkonsultasi dulu dengan kedua beliau, mungkin problema ini tidak akan terjadi.
Masalahnya memang di ranah hukum, bukan diplomasi internasional. Marty Natalegawa sebagai Menteri Luar Negeri yang sudah makan asam-garam –sebelumnya pernah menjadi Duta Besar RI di PBB-, tentunya mengerti prosedur kunjungan kenegaraan dalam ranah hubungan bilateral internasional. Yang tampaknya kurang dimengerti adalah kadar tuntutan yang diajukan oleh RMS yang diwakili oleh seseorang yang mengaku sebagai “Presiden di pengasingan”, yaitu John Wattilete. Karena tuntutan “kort geding” itu cuma semacam pra-peradilan. Apa pun putusannya, tidak akan berpengaruh karena secara hukum akan “overstegen” dengan hukum internasional. Lagipula, pengadilan tempat tuntutan itu diajukan adalah pengadilan lokal, yang yurisdiksinya terbatas.Jadi, tanpa adanya jaminan kekebalan hukum penuh yang telah disampaikan Menteri Kehakiman Belanda Hirsh Balin dan Menteri Luar Negeri Belanda Maxime Verhagen pun, hukum internasional sudah menjamin seorang diplomat –apalagi Kepala Negara- memiliki diplomatic immunity. Bahkan bila melakukan tindakan pidana sekali pun, hanya bisa di-persona non grata-kan. Apalagi ini seorang kepala negara. Sangat tidak mungkin pemerintah kerajaan Belanda akan membiarkan tamu sang ratu ditangkap.