Maafkan saya, seharusnya kemarin saya memposting tulisan mengenai buku yang sedang jadi perbincangan hangat di media massa karena tiba-tiba “menghilang”. Namun saya baru kembali dari luar kota menjelang tengah malam, maka hari ini saya tuntaskan janji itu. Ya, buku apalagi yang hendak saya ulas kalau bukan Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century karya George Junus Aditjondro.
Membaca cepat (screening) buku ini, saya mendapatkan kesan buku ini memuat banyak fakta yang belum banyak diketahui umum. Ini seolah sesuai dengan kehebohan yang ditimbulkannya, sampai-sampai SBY sendiri memerlukan diri untuk bereaksi, termasuk melalui juru bicaranya. Akan tetapi, begitu membaca lebih cermat, akan tampak kalau buku ini sebenarnya adalah kumpulan tulisan yang pernah dipublikasikan di media massa, baik cetak maupun elektronik, hanya saja ditulis ulang dan disambung-sambungkan. Kalau kata orang Jawa, othak-athik gathuk. Itu ditambah sedikit ulasan opini dari George sendiri terhadap fakta yang ada.
Judul buku ini menjadi bagian pertama –bukan bab karena buku ini tak beralur sistematis- berjudul sama. Dari bagian pertama ini, tampak jelas bahwa 3 halaman pembuka tersebut merupakan “ramuan” George sendiri terhadap pemberitaan media massa yang seolah tak saling berhubungan. Intinya, ia menyatakan di p. 14: “Selain merupakan tabir asap pengalih isu, penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandara M. Hamzah oleh Mabes Polri dapat ditafsirkan sebagai usaha mencegah KPK bekerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam membongkar skandal Bank Century.” Ia meneruskan dengan menyebutkan nama Boedi Sampoerna dan Hartati Murdaya yang disebutnya sebagai penyumbang logistik SBY dalam Pemilu lalu. Masih ditambah lagi dengan lampiran copy surat rekomendasi dari Kabareskrim (editor buku kurang menyebut kata “Ka”, sehingga tertulis di buku hanya “Bareskrim) Mabes Polri Komjen (Pol.) Susno Duadji tertanggal 7 dan 17 April 2009. Surat rekomendasi inilah yang kemudian menjadi titik tolak kecurigaan publik terhadap peran serta Susno dalam kasus ini, dimana ia terkesan menyelamatkan uang milik Boedi Sampoerna di Bank Century senilai US$ 18 juta.
Selain dana di Bank Century, di bagian kedua George juga menyoal pemanfaatan dana publik yang dialihkan untuk biaya kampanya Partai Demokrat dan calon presidennya. Di bagian kedua ini yang juga cuma 3 halaman berisi informasi yang didapat George tentang pengalihan separuh dari dana PSO (Public Service Obligation) LKBN Antara yang menurutnya mengalir ke Bravo Media Centre. Menurutnya, ini bisa terjadi karena adanya mantan Direktur Blora Centre dalam Pemilu 2004 dan mantan wakil Pemimpin Umum harian Jurnal Nasional duduk sebagai Direktur Komersial & IT Perum LKBN Antara, yaitu Rully Ch. Iswahyudi.
Ruh utama buku ini ternyata bukan di soal Bank Century, melainkan justru peran yayasan-yayasan yang berafiliasi dengan SBY dan Ny. Ani Yudhoyono. Disebutkan tiga yayasan yang berafiliasi dengan SBY, yaitu Yayasan Kepedulian Sosial Puri Cikeas, Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, dan Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian (YKDK). Sementara yayasan yang berafiliasi dengan Ny. Ani Yudhoyono juga disebutkan tiga oleh George: Yayasan Mutu Manikam Nusantara, Yayasan Batik Indonesia dan Yayasan Sulam Indonesia. Khusus bagian ini, cukup memberikan informasi bagi publik tentang nama-nama pejabat dan tokoh penting yang terlibat di dalamnya. Namun, bagi saya, masih belum jelas apa kaitan yayasan-yayasan itu dengan aliran dana Bank Century apalagi keterlibatannya dalam pemenangan Pemilu 2009 bagi Partai Demokrat dan SBY.
Di bagian akhir bukunya, George mengulas pelanggaran Pemilu oleh caleg-caleg Partai Demokrat, termasuk oleh Edhie Baskoro (Ibas), putra bungsu SBY. Pelanggaran itu terutama ditudingnya terkait politik uang dan praktek pembelian suara. Meski berupaya menghidangkan klimaks, namun peletakan dugaan kecurangan ini malah jadi anti-klimaks bagi saya. Karena, tulisan di dalam bagian ini justru cuma kutipan saja dari media massa. Tidak ada fakta baru yang diketengahkan.
Kalaupun ada yang menarik dari buku ini, bagi saya justru di lampirannya. Karena di sana kita bisa melihat buah karya ketekunan George mengumpulkan fakta yang terserak. Di lampiran 1 kita bisa membaca daftar tim-tim kampanye Partai Demokrat dan Capres-Cawapres SBY-Boediono. Di lampiran 3b juga ada daftar aktivitas YKDK.
Akan tetapi bagi saya yang paling bagus justru di lampiran 4 tentang hubungan dekat Syamsul Nursalim -konglomerat penunggak BLBI- dengan keluarga SBY terutama Ny. Ani Yudhoyono. Hal ini menurut George termasuk pula adanya foto SBY dan istrinya sedang menghadiri pernikahan anak Artalyta Suryani (p.153), orang dekat Syamsul Nursalim, sementara SBY sendiri membantah mengenal Ayin. Nama Artalyta alias Ayin mencuat ke muka publik setelah pada 29 Februari 2008 Jaksa Urip Tri Gunawan tertangkap tangan menerima uang suap dari Ayin. Wanita ini memang dikenal dekat dengan banyak orang penting negeri ini.
Demikian pula informasi baru di lampiran 5 tentang Allure, sebuah perusahaan batik baru yang berkibar dengan cepat melalui alur Yayasan Batik Indonesia. Menurut George, bisa jadi, ketenaran Allure dipengaruhi juga oleh dukungan keluarga presiden pada merk baru ini (p.167). Apalagi, Annisa Pohan dan anaknya Almira Tunggadewi juga menjadi modelnya.
Pendek kata, dengan buku ini George tampaknya berupaya mencari benang merah dengan alur hipotesis: Skandal Bank Century adalah megaskandal yang melibatkan lingkaran dekat SBY, dimana sebagian besar dananya dialirkan untuk mendanai pemenangan Pemilu Presiden 2009 agar SBY bisa menjabat untuk kedua kalinya. Ditambah hipotesis sekunder bahwa terjadi kecurangan dalam Pemilu 2009 yang dilakukan oleh Partai Demokrat dan caleg-calegnya. Namun tampaknya George harus berupaya lebih keras lagi agar buku ini dapat menjadi hipotesis kuat, daripada sekedar menegakkan benang basah, alih-alih benang merah. Apalagi pemaparan aktivitas dan kepengurusan yayasan-yayasan yang berafiliasi ke SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, serta adanya hubungan baik SBY atau Ny. Ani Yudhoyono dengan sejumlah orang tidak secara langsung menunjukkan keterkaitan dengan kasus Bank Century. Walau begitu, memang bagi yang namanya disebut-sebut, terutama keluarga SBY, penulisan buku ini bisa membuat “mata merah” (bukan “telinga merah” karena kan ini buku yang dibaca, bukan suara yang didengar).
Toh, andai saya bisa memberi saran pada SBY, saya akan bilang, “Santai saja, Pak. Ini cuma kliping kok.” Nyaris seperti buku bermodel kliping yang berkali-kali dibuat oleh Wimanjaya di era Soeharto, toh tak berefek apa-apa di masyarakat. Walau saat itu memang Departemen Penerangan dan Kejaksaan Agung juga melarang secara resmi buku klipingan itu karena terlalu kuatir atasannya –Presiden Soeharto- tersinggung. Kali ini, rasanya SBY seharusnya bisa membuktikan ia seorang yang pemberani dan tak mudah tersinggung dengan membiarkan saja buku ini beredar. Anggap saja “anjing menggonggong kafilah berlalu” kan?
Bhayu M.H. adalah pengelola blog LifeSchool, versi lain dari ulasan buku ini dapat dibaca di sini.
(Maafkan pula foto saya yang narsis, hehe)