Pada kenyataannya, mayoritas rakyat Indonesia, tidak mengetahui dengan benar kebijakan dan program apa yang telah, sedang, dan akan dilaksanakan oleh pemerintah. Selama ini sistem birokrasi dilaksanakan secara tertutup, sehingga masyarakat tidak mendapatkan hak sebagaimana mestinya dalam sistem pemerintahan. Namun, seiring dengan mulai diterapkannya reformasi birokrasi pada lingkungan pemerintahan, dalam hal ini dimulai dari kementerian dan lembaga, yang diikuti oleh pemerintah daerah, pemerintah melakukan perubahan dalam sistem birokrasinya. Untuk menjamin hak masyarakat sebagai bagian utama dalam sistem pemerintahan tersebut, maka pemerintah kemudian merumuskan sebuah undang-undang untuk mengakomodir hal tersebut, terbitlah Undang-undang No.14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik, sebagai landasan hukum yuridis fungsi masyarakat sebagai pengawas jalannya roda pemerintahan.
Pengesahan Undang-Undang No. 14/2008 tentang keterbukaan informasi publik (UU KIP) memberikan jaminan hak warga negara untuk mengetahui rencana kebijakan publik, program kebijakan publik dan proses pengambilan keputusan publik.
Undang-undang tersebut mewajibkan lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat dan/atau sumber luar negeri untuk menyediakan informasi terkait kebijakan, kegiatan, keuangan kepada masyarakat.
Pertanyaan pertama yang akan muncul, tahukah masyarakat tentang keberadaan undang-undang tersebut? Pertanyaan berikutnya, siapkah aparatur pemerintah menerapkan undang-undang tersebut?.
Undang-undang keterbukaan informasi publik tersebut sudah tiga tahun yang lalu disahkan, tetapi kenyataannya hanya sedikit masyarakat yang tahu tentang undang-undang tersebut. Jadi bagaimana masyarakat tahu tentang kebijakan dan program pemerintah jika masyarakat sendiri tidak tahu bahwa sudah ada undang-undang yang mengatakan masyarakat atau publik berhak untuk tahu?.
Sosialisasi yang telah dilakukan lembaga terkait pada kenyataannya hanya menyetuh level aparatur pemerintahnya saja, sedangkan hampir belum pernah dilakukan sosialisasi kepada masyarakat baik melalui media massa maupun langsung kepada masyarakat tentang undang-undang tersebut.
Kesiapan aparatur pemerintah dalam menerapkan keterbukaan informasi publik rasanya hanya akan menjadi formalitas belaka, kenapa? Karena masyarakat yang notabene pihak yang berhak mendapatkan informasi tidak mengetahui akan hak tersebut.
Ironisnya, aparatur pemerintahannya pun juga belum mengerti benar pesan yang disampaikan dalam undang-undang tersebut. Undang-undang tersebut mengatur empat klasifikasi informasi, yaitu informasi yang disediakan dan diumumkan secara berkala, informasi yang disediakan dan dimumukan setiap saat, informasi yang disediakan dan dimumukan serta merta, dan informasi yang dikecualikan.
Kondisi saat ini, paradigma yang muncul adalah informasi yang seharusnya merupakan informasi yang disediakan dan dimumkan secara berkala seperti dokumen perencanaan, dokumen penganggaran, laporan keuangan dan laporan kinerja seakan malah termasuk dalam klasifikasi informasi yang dikecualikan. Tidak sedikit kondisi seperti itu masih ditemukan terjadi pada suatu pemerintah daerah, dokumen penganggaran mereka yaitu Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atau DPA sebutannya bila di lingkungan pemerintah daerah, berubah menjadi dokumen top secret yang tidak boleh bocor informasi angka-angka rupiahnya kepada masyarakat. Padahal dokumen penganggaran ini berisi program dan kegiatan yang akan dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat daerah dan anggaran untuk melaksanakannya, sehingga masyarakat seharusnya berhak tahu, karena toh anggaran ini adalah untuk kesejahteraan masyarakat juga. Hal tesebut menimbulkan pertanyaan, sebenarnya apa yang ditakutkan oleh aparatur pemerintah daerah bila masyarakat mengetahui isi dokumen tersebut?. Begitu juga dengan dokumen-dokumen lain yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat.
Semua masalah tesebut sebenarnya hanya berawal dari tidak diterapkannya tiga hal sebagai elemen pembangunannya, yaitu komunikasi, komunikasi, dan komunikasi. Siapa yang dapat memperbaikinya? Jawabannya adalah masyarakat sendiri, caranya? Bila anda adalah bagian dari aparatur pemerintah, mulailah untuk merasa bertanggungjawab tentang apa yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah, dan percayakan bahwa anda adalah bagian dari pemerintah, tidak hanya ketika anda menerima gaji dan tunjangan setiap bulan. Bila anda adalah bagian dari masyarakat, mulailah untuk yakin anda cerdas, masyarakat tidak diharuskan sebagai penonton dan menunggu. Mulailah browsing ke situs pemerintahan, sehingga menyempurnakan kebutuhan informasi anda dari dua pihak, dan pada akhirnya menjadikan masyarakat tahu, apa yang seharusnya masyarakat tahu, karena masyarakat adalah stakeholders dari pemerintah.