Pesertanya adalah para pimpinan tertinggi yang membawahi para staf (pekerja yang dibayar) di Kwartir Nasional negara masing-masing. Di Indonesia, jabatan tersebut disebut Sekretaris Jenderal (Sesjen), di negara lain ada yang disebut Chief Scout Executive, Chief Operation Officer, Executive Director, dan lainnya.
Mereka inilah yang memimpin tim staf Kwartir Nasional negara masing-masing. Bila Chief Commissioner atau Ketua Kwartir Nasional memimpin para Andalan Nasional yang merupakan relawan, tidak dibayar, dan masa baktinya terbatas sesuai masa bakti yang berlangsung, maka Chief Scout Executive memimpin para staf yang dibayar atau digaji dan tahun kerjanya – kecuali ada hal-hal luar biasa – akan terus berlangsung sampai memasuki masa pensiun.
Di banyak organisasi nasional kepramukaan/kepanduan yang ada, jabatan Chief Scout Executive juga akan terus berlangsung, tidak mengikuti masa bakti kepengurusan Kwartir Nasional. Tak heran bila ada yang memegang jabatan itu sampai 10 tahun atau lebih, selama yang bersangkutan masih dipercaya menjabat. Sebagaimana staf yang dibayar, Chief Scout Executive juga biasanya dibayar atau digaji oleh organisasi nasional kepanduan setempat.
Jabatan ini terbilang penting. Bila biasanya relawan yang menjadi Andalan Nasional, terkadang karena kesibukannya susah dihubungi, maka para staf yang memang bekerja di Kwartir Nasional setempat tentu harus selalu siap membantu mengembangkan organisasi nasional kepanduannya. Itulah sebabnya, mereka harus dipimpin oleh seorang Chief Scout Executive yang memang benar-benar mampu mengarahkan dan menugaskan mereka dengan baik.
Salah satunya adalah bagaiman membina para staf Kwartir mampu melayani para konsumennya dengan baik. Siapakah konsumen mereka? Tentu saja para anggota Pramuka/Pandu dan orang-orang yang terkait dengan para anggota itu, misalnya orangtua dan guru anggota Pramuka. Chief Scout Executive harus mampu membuat para staf mempunyai kemampuan melayani konsumen, sehingga konsumen merasa puas dengan pelayanannya.
Sebagai narasumber kali ini adalah Malcolm Tan, Ketua Subkomite Manajemen Kepanduan Kawasan Asia-Pasifik. Dia memberi contoh misalnya pelayanan di kedai pramuka atau Scout Shop. Bagaimana bila ada orangtua yang datang ingin membeli seragam bagi anaknya, tetapi karena sang orangtua memang tak tahu kepramukaan/kepanduan, jadi banyak bertanya. Staf kedai seharusnya bersedia terus melayani dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Pertemuan tersebut juga diisi dengan diskusi tentang pembayaran iuran anggota, hak memilih dalam konferensi kepanduan sedunia, dan bagaimana meningkatkan jumlah anggota kepanduan sedunia. Apalagi ada upaya menjadikan jumlah anggota kepanduan sedunia bertambah banyak. Bila saat ini tercatat sekitar 40 juta anggota, maka pada 2030 diharapkan jumlah anggota kepanduan sedunia bisa mencapai angka 100 juta.
Diskusi tersebut dipimpin langsung oleh Sekretaris Jenderal Gerakan Kepanduan Sedunia (World Organization of the Scout Movement/WOSM), Scott Teare. Banyak usulan yang masuk, dan usulan-usulan tersebut akan dimatangkan lagi oleh tim WOSM.
Secara keseluruhan pertemuan tersebut berjalan baik, dengan semangat untuk sama-sama mengembangkan gerakan kepanduan sedunia dan di Asia-Pasifik, dan sama-sama mencoba mewujudkan slogan “Scouts. Creating a better world” (Para Pandu, menciptakan dunia yang lebih baik).