Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Bustanil Arifin, Emil Salim, dan Ki Hadjar Dewantara

10 Oktober 2015   22:40 Diperbarui: 10 Oktober 2015   22:40 195 1
Tidak menyesal saya hadir pada acara peresmian Perpustakaan Bustanil Arifin di komplek Perguruan Islam Al-Izhar Pondok Labu, Jakarta Selatan, Sabtu (9/10). Diundang oleh pihak yayasan melalui email, saya pun menyempatkan diri untuk datang. Apalagi kakak kandung saya, seorang ahli perpustakaan, juga ada di sana membantu sebagai konsultan perpustakaan tersebut.
Sebenarnya, ini bukan perpustakaan yang benar-benar baru. Sekolah Al-Izhar telah memiliki perpustakaan. Namun oleh Yayasan Anakku yang mengelola sekolah itu, diputuskan untuk merenovasi gedung perpustakaan dan menambah sejumlah sarana dan prasarana di dalam perpustakaan tersebut. Yayasan yang didirikan oleh Bustanil Arifin beserta istrinya tersebut, memang menjadi bagian dari impian seorang Bustanil Arifin.
Sukses menjadi menteri dan salah satu tokoh penting di masa Orde Baru, Bustanil kecil merasakan sukarnya sekolah, hanya untuk menamatkan pendidikan setingkat Sekolah Dasar di zaman penjajahan Belanda. Sempat berpindah-pindah kota dengan meninggalkan orangtua dan hidup bersama paman dan bibinya, Bustanil akhirnya lulus sekolah setingkat SD.
Namun dia masih belum berkesempatan meneruskan pendidikannya. Ketika Jepang masuk, Bustanil berhasil lulus seleksi untuk masuk ke sekolah pegawai Jepang. Dia kemudian bekerja sebagai salah satu pegawai. Kemudian bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyerah. Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Namun tidak mudah, Belanda melalui pasukan sekutu mencoba menguasai Indonesia kembali. Pecah perang Kemerdekaan, Bustanil meninggalkan pekerjannya dan ikut berperang memimpin pasukan untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Atas perannya, dia diberi pangkat Letnan Dua.
Namun belum puas. Bustanil masih ingin melanjutkan sekolah. Setelah menempuh ujian persamaan setingkat SMP dan SMA, dia masuk ke perguruan tinggi dan berhasil menjadi Sarjana Hukum. Kariernya terus menanjak sampai dia diangkat menjadi menteri di era pemerintahan Presiden Soeharto.
Sulitnya menempuh pendidikan itulah yang membuat Bustanil Arifin mendirikan sekolah yang kini dikenal dengan nama Perguruan Islam Al-Izhar Pondok Labu.
Tak heran juga bila kemudian sejalan dengan prinsipnya untuk terus belajar, dibangunlah perpustakaan di sekolah itu. Kini perpustakaan itu sudah diperbaiki dan diberi nama Perpustakaan Bustanil Arifin. Tercatat ada lebih dari 13.000 judul buku dengan di atas 30.000 eksemplar buku di dalam perpustakaan tersebut. Di sana dilengkapi juga dengan komputer yang terhubung dengan internet, dan ruang untuk menyaksikan film.
Kehadiran perpustakaan modern itu dipuji oleh Emil Salim, sejawat Bustanil Arifin di pemerintahan Orde Baru. Secara khusus Emil Salim yang hadir memberikan wejangan di peresmian itu menyebut tanggal peresmian perpustakaan 10 Oktober adalah sesuai dengan kelahiran Bustanil Arifin 10 Oktober 1925. “Beliau lebih tua lima tahun dari saya,” ujar Emil Salim.
Dia juga mengutip ulang falsafah hidup Bustanil Arifin yang terpampang di salah satu sudut perpustakaan di sana. “Don’t put off until tomorrow what you can do today”, “No single day without achievement”, dan “Bila engkau mulai mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah sampai selesai”. Tiga kalimat yang sungguh bernas dan bila memang sungguh-sungguh dilaksanakan, dapat membantu seseorang mencapai sukses dalam setiap usahanya.
Menariknya, Emil Salim tidak sekadar menceritakan riwayat seorang Bustanil Arifin. Ekonom yang pernah menjadi Menteri Lingkungan Hidup itu juga menyebutkan betapa kehadiran perpustakaan sejalan dengan semangat belajar Bustanil Arifin yang tak pernah pudar. Bahkan dengan bersemangat Emil Salim mengajak, “teruskan belajarmu, bukan hanya di sekolah”. Dia menjelaskan betapa sebuah perpustakaan adalah gedung ilmu tempat kita mendapatkan banyak pengetahuan dan wawasan.
Sungguh suatu penyemangat bagi saya dan tentunya para undangan lain di acara tersebut. Sungguh tak rugi datang ke sana, apalagi pulangnya mendapatkan goodie bag yang antar lain berisi dua buku yang berisi tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara, yang juga kita kenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia. Buku pertama berisi pemikiran, konsepsi, keteladanan, dan sikap merdeka dalam bidang pendidikan. Sedangkan buku kedua dalam bidang kebudayaan. Bagi seorang penikmat buku seperti saya, mendapatkan goodie bag dari suatu acara yang berisi buku, rasanya menyenangkan sekali.
Lebih dari itu, paling tidak dalam kunjungan pagi tadi, saya memperoleh tambahan wawasan dan pengetahuan dari tokoh sekaligus, Bustanil Arifin, Emil Salim, dan Ki Hadjar Dewantara. Tidak untuk menyamakan atau membandingkan antara ketiganya, namun sebagai catatan betapa Sabtu ini saya mendapatkan banyak ilmu dari ketiganya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun