Mohon tunggu...
KOMENTAR
Gaya Hidup

Jurnal Juni (9): Makan Mi

9 Juni 2015   23:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:08 84 0

Menemani istri yang ingin mencoba tempat makan baru – paling tidak baru bagi kami – berdua kami menuju pusat perbelanjaan Pacific Place di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan. Ada tulisan besar “Café & Noodle” dan lambang tempat makan itu, sejak awal istri bercerita bahwa dia baru mendapat rekomendasi dari beberapa teman sekantor untuk mencoba mi yang enak, walaupun harganya terbilang mahal.

Ketika kami tiba, tempatnya cukup penuh. Namun masih ada sebagian meja dan kursi yang kosong, kami pun makan malam di sana. Menikmati mi lengkap, dengan baso dan pangsit. Istri memilih dengan pangsit rebus, sedangkan saya memilih dengan pangsit goreng.  Sebagai pelengkap, kami memilih minuman teh tawar. Bukan apa-apa, di usia yang tidak muda lagi, kami memang membatasi menikmati minuman manis bergula.

Mi bahan makanan yang dibuat dari terigu dan dibentuk sebagai sulur-sulur panjang, memang sudah termasuk makanan yang cukup digemari di Indonesia. Walaupun asalnya dari Tiongkok, tapi sudah lama mi menjadi makanan warga Indonesia. Ada juga yang menulisnya “mie”, mungkin untuk membedakan dengan “mi” yang merupakan tangga nada ketiga dalam musik, setelah do dan re.

Harganya memang cukup mahal dibandingkan mi lainnya, pun yang dijual di pusat perbelanjaan kelas menengah atas. Untuk seporsi mi lengkap, harganya Rp 50.000. Belum ditambah pajak dan pelayanan, sehingga jumlah totalnya mencapai Rp 57.500 untuk seporsi mi. Ini dua kali lipat dari harga seporsi mi yang dijual di salah satu restoran mi terkenal di Jakarta, yang awalnya dibuka di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat.

Tapi memang, baik istri maupun saya setuju bahwa rasanya enak. Apalagi pelengkapnya cukup beragam. Bukan sekadar saus tomat, saus sambal, kecap, dan merica. Tetapi disediakan juga bawang putih yang dipotong kecil-kecil dan dicampur minyak sayur, lalu ada juga acar bawang merah, potongan cabai hijau, dan sambal biasa.

Rasa mi-nya cukup kenyal, tetapi tidak membuat capai mengunyah. Kuahnya pun cukup segar. Begitu pula baso dan pangsitnya, tampaknya dipilih dari bahan dan daging sapi yang berkualitas. Maka, secara keseluruhan kami cukup puas menikmati makan malam di tempat itu.

Tapi berbicara soal mi, seperti telah dituliskan sebelumnya, karena banyaknya penggemar makanan tersebut, cukup banyak tempat yang menjual kuliner tersebut. Di Jakarta misalnya, dua restoran mi yang sudah cukup lama berdiri dan kini sudah banyak cabangnya, adalah Bakmi GM (Gajah Mada) yang bermula dari Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat, dan telah ada sejak 1959, serta Bakmi Gang Kelinci yang telah ada sejak 1957 dan awalnya berada di Jalan Kelinci, kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Di luar itu, masih banyak lagi tempat makan mi yang cukup populer di Jakarta. Sebut saja Bakmi Boy di kawasan Mayestik dan Bakmi Garing di kawasan Setiabudi, keduanya di Jakarta Selatan, lalu BBT di Jatinegara, Jakarta Timur, ada juga Mi Asun yang konon singkatan dari “Anak Sunda” merujuk pada daerah asal penjualnya di bilangan Sekolah Santa Theresia di Jakarta Pusat.

Di dekat situ, sebenarnya ada satu lagi tempat makan mi yang cukup terkenal dan usianya pun telah puluhan tahun. Letaknya di dekat rel kereta Jl RP Suroso yang dulu dikenal sebagai kawasan Gondangdia Baru, di sanalah  sebenarnya terletak rumah makan Mi Gondangdia. Sayang, sewaktu saya melintasi tempat itu beberapa waktu lalu, bangunannya sudah rata dengan tanah. Tampaknya kebakaran besar telah menghanguskan tempat makan mi yang legendaris itu.

Di kawasan Jakarta Timur, selain BBT yang konon singkatan dari Bakmi Babah Tong – nama pemilik rumah makan itu pada saat-saat permulaan beroperasi – kita juga mengenal Bakmi Golek. Sering disingkat Bagol oleh penggemarnya, restoran ini juga melayani jasa pengantaran sebagaimana restoran-restoran mi besar lainnya. Yang unik dari mi Bagol ini, adalah tambahan telur burung puyuh di dalamnya.

Apa yang saya kisahkan adalah soal mi baso atau mi pangsit umumnya. Sekarang bahkan kuliner mi sudah berkembang, disesuaikan dengan lidah dari daerah atau suku masing-masing. Maka ada Mi Aceh, Mi Jawa, dan banyak lagi. Ini cerita saya tentang makan mi. Bagaimana dengan Anda? Di manakah tempat makan mi favorit pilihan Anda?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun