Tapi keduanya mempunyai kemiripan, bahkan bisa dibilang Blok Mahakam adalah bagaikan Blok M di Jakarta. Tempat yang menarik perhatian berbagai kalangan, karena menjadi salah satu pusat belanja, kawasan hiburan, dan sempat pula dikenal lewat lagunya Denny Malik bertajuk “Jalan Sore”. Meski tidak secara langsung “menunjuk” pada Blok M, tetapi banyak yang berpendapat bahwa suasana dalam lagu adalah suasana di Blok M pada paro 1970-an sampai akhir 1980-an.
Blok Mahakam memang bukan pusat belanja dan kawasan hiburan, tetapi sama seperti Blok M di Jakarta Selatan, juga menarik perhatian banyak orang. Sampai-sampai digelar “Kompasiana Seminar Nasional: Penyelamatan Sumber Daya Alam Migas di Indonesia” di tempat yang amat representatif, Hotel Santika Premiere di kawasan Slipi, Jakarta Barat, pada Senin, 13 April 2015.
Tak tanggung-tanggung, sampai seorang Menteri ikut hadir dan membuka seminar itu. Adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, yang membuka seminar dan menyampaikan beberapa hal penting. Termasuk yang mendapat tepuk tangan peserta seminar adalah ketegasan Menteri ESDM yang menyatakan bahwa Blok Mahakam setelah selesai kontrak dengan pihak Total E&P pada 2017, akan dikembalikan seratus persen kepada Pertamina.
Narasumber lainnya juga orang-orang penting. Ada Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak, lalu Direktur Hulu PT Pertamina, Syamsul Alam, selanjutnya Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Irman Gusman, kemudian Kepala Unit Pengendalian Kinerja Kementerian ESDM, Widhyawan Prawiraatmadja, dan pakar migas, Andang Bachtiar. Gubernur Kaltim walaupun dalam kondisi kurang sehat dan harus berada di kursi roda, namun menyempatkan diri hadir dan ikut seminar secara penuh sampai selesai.
Jadi jelas, Blok Mahakam memang bagaikan Blok M, yang selalu menarik perhatian banyak orang. Bahkan semakin menarik banyak pihak, setelah hampir habisnya kontrak perusahaan Total E&P pada 2017. Banyak yang ingin mengambil – bila tak mau dibilang merebut – kontrak itu. Hal itu tak lain, karena Blok Mahakam adalah penghasil gas alam terbesar di Indonesia. Sudah bisa dibayangkan, betapa keuntungan yang akan diperoleh dengan mengelola Blok Mahakam tersebut.
Sebagaimana telah disebutkan oleh Menteri ESDM, Pertamina akan diberi hak 100 persen mengelolanya, setelah Blok Mahakam selesai masa kontraknya. Namun, Pemerintah Daerah Kaltim, sebagaimana diungkapkan Gubernur Awang Faroek, juga menaruh harapan besar bisa mendapatkan saham partisipasi bila Blok Mahakam sudah dikembalikan ke Pemerintah RI. Tentu tak mudah untuk mendapatkan saham partisipasi itu. Perlu biaya yang cukup besar. Untuk itu, Gubernur Kaltim sudah siap menggandeng pihak swasta agar memperoleh dukungan dana sehingga dapat membiayai saham partisipasi tersebut.
Sama seperti keinginan Gubernur Kaltim yang ingin menggandeng pihak swasta, ada kabar bahwa dalam operasional Blok Mahakam nanti, pihak Pertamina juga akan menggandeng pihak lain. Soal ini tentu perlu dicermati, terutama oleh pihak pengambil kebijakan. Jangan sampai “gandeng-menggandeng” ini malah menimbulkan masalah di kemudian hari.
Hal lain yang tak kalah penting dipikirkan adalah bagaimana pihak Pertamina dan Pemerintah Daerah Kaltim memperlakukan Total E&P, terutama para karyawan, pasca habisnya masa kontrak pada 2017. Ini bukan soal “habis manis sepah dibuang”, tetapi justru memikirkan untuk memanfaatkan tenaga-tenaga karyawan terlatih itu agar bisa melanjutkan karyanya mengoperasikan Blok Mahakam tersebut.
Memang, bisa saja pihak Pertamina mengganti semua atau sebagian besar karyawan Total E&P, serta pihak Pemerintah Daerah Kaltim tidak merasa memerlukan mereka lagi, yang mengakibatkan banyak tenaga-tenaga dari luar daerah itu pulang dan meninggalkan Kaltim.
Persoalannya, mengoperasikan suatu lapangan produksi migas tidak semudah mengganti supir kendaraan angkutan umum. Sama-sama mempunyai SIM B dan tahu rute yang harus ditempuh, cukuplah sudah menggantikan supir lama. Dikhawatirkan akan terjadi penurunan produksi selama beberapa lama, yang berakibat turunnya pula devisa yang diperoleh. Pengalaman menunjukkan, ada lapangan produksi migas yang begitu beralih pengelolaan, sempat turun dulu produksinya selama beberapa lama, baru kemudian pelan-pelan naik lagi.
Persoalan baru yang akan dapat timbul, bisa saja Pertamina maupun pihak Pemerintah Daerah Kaltim, tetap ingin memakai para karyawan terlatih tersebut. Masalahnya, apakah mereka mau? Apakah setelah dipegang oleh Pertamina, Blok Mahakam tetap seperti Blok M, yang walaupun sudah melalui kurun sekian dasawarsa, sampai kini pun masih menjadi salah satu daya tarik pusat belanja dan kawasan hiburan di Jakarta.
Iming-iming gaji atau pendapatan yang lebih besar mungkin menarik, tetapi yang tak kalah penting adalah apakah Pertamina dapat terus sejalan dengan etos kerja yang selama ini telah terbentuk. Seorang teman yang pernah bekerja di bank asing di Jakarta, mengeluh ketika dia pindah ke bank “lokal”. Gajinya memang lebih besar, demikian pula tunjangannya. Tetapi, etos kerja sangat berbeda, yang seperti dikatakannya, “Nggak ada semangatnya, terlalu santai”.
Orang bekerja memang untuk mendapatkan uang. Tetapi uang bukan segalanya, etos dan suasana kerja yang menunjang, juga membuat orang betah. Bicara soal suasana dan lingkungan kerja, bukan hanya berarti di dalam lingkungan Blok Mahakam. Tetapi juga di luar itu, di dalam wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Suasana bekerja dan menetap yang aman dan nyaman, juga harus terpenuhi.
Inilah sebagian pekerjaan rumah yang harus dipikirkan dan dicari jalan ke luarnya oleh Pertamina dan pihak-pihak terkait dalam menjadikan masa depan Blok Mahakam tetap bagaikan Blok M di Jakarta Selatan, yang walaupun Jakarta semakin hari kata orang semakin macet, tetap saja dikunjungi. Semoga.