Kompasiana Seminar Nasional dengan tema “Penyelamatan Sumber Daya Alam Migas di Indonesia” yang digelar di Hotel Santika Premiere Slipi, Jakarta, Senin 13 April 2015, berlangsung sukses. Kecuali berhalangannya Bapak Jusuf Kalla yang diniatkan akan menjadi keynote speaker dalam seminar itu sebagaimana tertera pada poster di depan hotel, seluruh rangkaian acara berjalan dengan baik.
Memang, masih ada kekurangan di sana-sini, seperti ada pembicara yang tampaknya memanfaatkan waktu lebih lama dari yang disediakan dan Helmy Yahya sebagai moderator agak sungkan mengingatkan, lalu ada juga penanya yang menyampaikan lebih dari satu pertanyaan walaupun sudah diminta oleh moderator hanya mengajukan satu pertanyaannya saja.
Namun sekali lagi, secara keseluruhan berjalan cukup baik. Termasuk, yang walaupun terlihat remeh, namun penyediaan konsumsi sungguh memuaskan. Baik kopi, teh, dan penganan kecil di pagi hari sebelum mulai acara, maupun makan siang yang lezat dan mengenyangkan. Untuk hal ini, jajaran Hotel Santika Premiere yang menyediakan makanan dan minuman, patutlah diberi pujian.
Seminarnya sendiri berjalan baik. Meski tema besarnya adalah penyelamatan sumber daya alam minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia, namun sejak awal memang telah dikhususkan pada pembahasan Blok Mahakam yang akan habis kontrak kerjanya dengan pihak asing pada 2017. Itu berarti, mulai 1 Januari 2018, Blok Mahakam akan “kembali” ke tangan Pemerintah, dan sebagaimana disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, pada pembukaan seminat tersebut, akan diserahkan 100 persen kepada Pertamina.
Namun di luar, ada hal menarik yang disampaikan dan dikomentari para narasumber dalam seminar itu. Mereka adalah Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak, lalu Direktur Pertamina Hulu, Syamsul Alam, selanjutnya Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Irman Gusman, kemudian Kepala Unit Pengendalian Kinerja Kementerian ESDM, Widhyawan Prawiraatmadja, dan pakar migas, Andang Bachtiar.
Ada yang menyampaikan sudah saatnya BUMN-BUMN dipindah kantor pusatnya, jangan di Jakarta. Pertamina misalnya, bisa di Riau dan Kalimantan Timur, dua wilayah yang menjadi penghasil migas terbesar di Indonesia. Meski ada juga yang menanyakan, kalau nanti ada RDP (Rapat Dengar Pendapat) di Jakarta, maka direksi repot harus ke Jakarta. Suatu hal yang sebenarnya bukan masalah lagi dengan semakin baiknya beragam moda transportasi antardaerah saat ini.
Hal itu memang menarik perhatian penulis, karena sepulang dari seminar, ketika membuka Kompasiana, mata penulis langsung tertuju pada tulisan berjudul “Jakarta Tak Perlu Dipindahkan” karya Johanis Malingkas (http://jakarta.kompasiana.com/sosial-budaya/2015/04/13/jakarta-tidak-perlu-dipindahkan-712142.html).
Tadi siang, sewaktu seminar memang sudah ada yang mengungkapkan betapa Presiden pertama RI, Soekarno, pernah menggagas memindahkan ibu kota RI ke Kalimantan. Tetapi seperti ditulis oleh Johanis Malingkas, dikhawatirkan hal itu akan membuat Kalimantan menjadi semakin “terekspos” oleh “modernitas”, yang bisa merusak sumber daya alam yang ada dan berdampak buruk bagi pulau yang disebut sebagai “paru-paru” Indonesia itu.
Sebenarnya, walau pun bukan hal baru, memindahkan sebagian “beban” Jakarta ke luar Pulau Jawa merupakan ide menarik. Tetapi ibu kota RI tak perlu dipindahkan. Kalau mau dipindahkan, seperti diusulkan dalam seminar itu, adalah BUMN-BUMN dan sebenarnya lebih tepat semua usaha bisnis. Jadikan Jakarta tetap sebagai ibu kota RI, tetapi pusat bisnis negeri ini dipindahkan ke tempat lain di luar Pulau Jawa.
Ide menarik, tapi tidak mudah. Perlu infrastruktur, sarana, dan prasarana yang menunjang. Pokoknya, perlu maksimal dan “habis-habisan” kalau mau membangun pusat bisnis Indonesia di luar Jakarta. Biaya dan waktu yang dibutuhkan tentu tak sedikit pula. Tapi kalau ini dilakukan, selain bisa memperluas pemerataan – dalam segala hal – juga menjadikan Jakarta tak lagi menjadi “lampu di malam hari yang menjadi daya tarik kunang-kunang dari segala arah untuk mendekatinya”.