[caption id="attachment_219914" align="alignleft" width="289" caption="Ilustrasi PSSI dari Pelauts.com"][/caption] Kalau dipikir-pikir, apa susahnya sich, mengurus BOLA? Yah, bola kaki itu. SATU bola diuber-uber SEBELAS orang, selama 2x45 menit atau lebih untuk keadaan khusus. Wasitnya hanya SATU di dalam lapangan untuk menjaga peraturan. Belum ada pikiran di Badan Dunia Bola –
FIFA (Federation Internationale de Football Association), bagaimana kalau wasit di dalam lapangan ditambah SATU, jadi DUA wasit. Di Amerika, David Beckham memang sempat salah mengucap
"Football", yang di Amerika Serikat mestinya disebut
"Soccer". Football di Amerika memang dimaksudkan lain sama sekali, karena itu bisa berarti rugby, atau American Football, atau Canadian Football. Tapi, dalam segala istilah yang bahkan membuat bingung elit bola dunia, Beckham tahu aturan yang sangat jelas tentang permainan SATU bola itu, ketika di Amerika, atau di negara asalnya Inggris. Untuk
Football, yang di Amerika disebut
Soccer itu, wasit di dalam lapangan sudah dibantu oleh DUA hakim garis atau
linesmen. Hakim garis ini juga dalam keadaan ‘luar biasa’ dipanggil wasit ‘utama’ ke dalam. Kalau hakim garis berlari kedalam lapangan atau terbirit-birit dikejar ofisial dan pemain, kadang penonton, itu keadaan yang biasa. Eh, “terlalu luar luar biasa” atau di-inggeris-kan sebagai
“too extraodinary condition”, sebuah gaya hiperbol(a) atau pleonasme yang bahkan tidak dikenal dalam kosa kata asalinya. Tapi, ini menunjukkan keadaan keterlaluan memang. Begitulah, kita ingin membahas kegilaan yang melanda sepak bola nasional. Ketika perhelatan internasional
ASEAN Foot-ball Federation (AFF) Cup terakhir, hanya Andik Vermansah yang bertubuh ceking dan lincah itu saja, dengan satu tendangan kakinya, sedikit mengangkat ‘harkat’ (bola) Indonesia di Asia Tenggara, ketika menaklukkan Singapura. Hanya SATU tendangan Andik menyelamatkan wajah SATU bangsa Indonesia, betapa pun kita tidak juara. Karena SATU tendangan itu, ANDIK dikenang daripada SATU gerombolan yang menyebut diri Pengurus Bola di SATU negeri ini. [caption id="attachment_219915" align="alignright" width="300" caption="ilustrasi kartunindonesia.blog"][/caption] Basi mengulangi kenyataan yang membuat banyak orang gemes dan kesel ini. SATU negara dengan 240 juta jiwa, ditolol-tololin oleh semua
stake-holder PSSI. Kalau kita malu atau tidak setuju, sementara itulah kenyataan perlakuan orang-orang itu terhadap ini Negara, itulah yang dirasakan nasionalisme kita. Ini “Garuda di dadaku, mana dadamu”, itu nada ketus mereka yang terlampau amat marah pada DUA pengurus SATU BOLA nasional di Indonesia. Mantan MENPORA Abdul Gafur masih hidup. Dia senang dengan ungkapan “Memasyarakatkan olah-raga, dan mengolah-ragakan masyarakat!” Setidaknya, ada suatu filosofi yang ingin dihidupkan, sebelum agenda besar menghidupi semangat para Pemuda, pejuang dan tulang punggung-bangsa. Ungkapan Gafur itu, kini lalu dapat dipelesetkan dalam dunia SATU BOLA menjadi, “Mari memasyarakatkan bola dan (atau) membolakan masyarakat”. SATU masyarakat Indonesia dipermainkan. Yang urus bola ini kebanyakannya bukan lagi “pemuda”, tetapi sejumlah orang yang sudah berumur senior. Dengan segala hormat, tidak sedikit warga senior (usia lanjut) dengan semangat jauh melampaui kaum mudanya. Tetapi, yang kita saksikan dalam urusan SATU BOLA, kaum muda maupun warga seniornya, tak lebih berkelakuan seperti dua bocah berebut SATU mainan atau permen. KEKANAK-KANAKAN,
childish. Kalau semua orang berkata dengan sangat jelas, umpatan, hingga caci-maki dan sumpah serapah telah disampaikan, hanya dengan SATU tujuan: BOLA kaki Indonesia memberi kita kebanggaan sebagai SATU bangsa dan negara. SATU bola itu akan (secara tidak langsung) menyatukan kita. Tapi, dalam kenyataan historis sekarang, kita mengenal hanya SATU PSSI, hingga akhirnya kita punya seperti PSSI PLUS, supaya tidak mengatakan PSSI PERJUANGAN atau PSSI TANDINGAN. Sudah banyak cara dan jalan keluar ditempuh untuk menyelesaikan persepakbolaan nasional kita di Indonesia. Kalau sudah mustahil mengikuti aturan FIFA yang bolak-balik sulit melihat Indonesia mengikuti prosedur baku Internasional, mungkin kita menggunakan
Indonesian Football, di mana WASIT bisa ditambah dalam lapangan, Pemain boleh meninju wasit ASAL...., PSSI-nya boleh dua, asalkan... dan, "asalkan-asalkan" lainnya. Seluruh ofisial PSSI tidak perlu bela diri. Ini hanya persoalan SATU bola dan kita. Ketika semua yang terlibat kepengurusan persepak-bolaan nasional merasa hebat semua, di sanalah kelemahan mengatur PSSI. Andik Vermansyah yang pulang dari Malaysia, seolah-olah mereka itu berlaga sebagai RT (Rukun Tetangga) dengan Garuda tetap di dada. Tak dijemput, mungkin juga tak diantar. Terlalu (kanak-kanakan). Itu kelemahan fatal. Atau, PSSI nanti disebut pengurus FOOTBALL, sementara KPSI kita sebut pengurus SOCCER dan kita laporkan ke FIFA. Kita ciptakan yang lain, Indonesian football. Andik Vermansya, hanya SATU lelaki Indonesia sejati. Seperti Chris John di dunia tinju, atau Mbah Marijan di dunianya, yang mengambil resiko, pun berarti jika nyawa harus jadi taruhan. Indonesia, tak berlebihan bangga pada Anda, Andik, meski kau bukan Menteri, Andik. Nah, (rasanya) kami habis kata-kata untuk mengatakan dengan baik dan dengan akal sehat. Orang-orang yang ikut kehabisan akal sehat mengikuti seruan-seruan sarkastis: "Ini BOLA(-BOLA)-ku, mana BOLA-mu."
Teringat saya pada pria wartawan senior itu yang mengatakan, "Our leader(s) have no balls." Yes, he means your balls is not there, men. MALU, tepatnya memalukan,
KEMBALI KE ARTIKEL