Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Artikel Utama

Nota Hukum kepada Antasari: Sri Mulyani Harus Dibela

14 September 2012   02:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:30 1448 5

Mengapa berita “picisan” hasil rekaman – yang menurut Anda telah terdistorsi itu mendapat sikap reaktif dan over-acting? Pada hemat saya, itu juga dapat dianggap “pelanjutan pengalihan isu dan kriminalisasi atas pribadi Anda”. Reaksi dan jawaban Anda amat memadahi, singkat, padat, dan lugas. Jawaban Anda dapat disingkat, bahwa “Memang tidak ada yang membahas bail-out Bank Century pada tanggal 9/9/09 itu. Yang dibahas adalah Bank Indover.” Itu berarti, semua sikap reaktif dan isi semua tanggapan, dari Menteri hingga Presiden terpinggirkan. Selanjutnya, Anda memang menyatakan keberatan kalau Bank Indover di-bail-out. Tetapi, berubah menjadi Bank Century yang di-bail-out, malah Anda sebagai Ketua KPK, koq tidak ikut diundang ber-urun-rembug untuk membahas Bank Century?”

Fase sekarang ini, menjadi jelas bagi masyarakat, bahwa “keterkejutan Presiden SBY atas sebuah berita DISTORSI yang disikapi over-reaksioner”, dalam sebuah pidato jumpa pers khusus itu hanyalah sebuah drama lain, agar memperkuat kesan dan (seolah) memenuhi sebuah pembenaran, bahwa Anda, Antasari “suka” bicara “tidak benar”. WamenkumHAM Denny Indrayana, sampai harus berkata, “Anda berbhohong”. Tapi, kehadiran Anda di DPR RI telah menjelaskan status-questionis, keterkejutan-keterkejutan yang tidak perlu itu.

Sebelum Anda memberikan klarifikasi, reaksi over-acting Presiden itu sebenarnya, memang mengherankan. Penjelasan Anda makin membuat orang terheran-heran, mengapa Presiden “heran”. Sebelum keheranan Presiden itu dinyatakan, memang didahului dari sejumlah komentar yang dialamatkan kepada Anda, yang pada kemudian dianggap sebagai bagian dari “character assasination”. Tentu, saya ikut terkejut, antara lain dengan keheranan WamenkumHAM Denny Indrayana, yang sebagai ahli hukum Pidana, mengetahui bahwa “rekaman kamera tersembunyi” yang kemudian didistorsikan media, TIDAK dapat menjadi sebuah dasar hukum yang baik untuk dikomentari, betapa pun boleh baru menjadi sebuah indikator.

Tapi, khusus soal catatan kepada Denny Indrayana, pada hari pertama 5 Mei 2009, di mana Anda mulai dikriminalkan, saya telah mengingatkan Denny Indrayana, untuk berhati-hati soal Kasus Pidana Anda (dalam Kompasiana 5/5/2009, “Refleksi: Antasari, ISTANA, dan Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana”), saya mengkritik perannya sebagai penasihat Presiden. Tetapi, dalam perjalanannya, saya percaya Denny memiliki integritas pribadi yang baik. Itu saya nyatakan kembali beberapa hari lalu dalam catatan hukum saya (“Advokat Iblis” (Advocatus Diaboli) (Kompasiana, 30/8/12), sebagai tanggapan atas serangan-serangan ad hominem yang tak patut terhadap pribadi Denny.

Memang, dalam catatan “Advokat Iblis” yang merupakan tanggapan atas diskusi Indonesia Lawyers Club, saya tetap membela Denny dari kritikan Prof. JE Sahetapi. Tetapi, saya tidak menyangkal kebenaran lain yang disampaikan Sahetapi, bahwa karena Denny Indrayana adalah bagian dari kekuasaan Presiden SBY, yang oleh Sahetapi dianggap korup, Denny memang tidak dapat terus menjadi bagai “Ustad di Kampung Maling”. Setidaknya, betapapun saya tetap membedakan pribadi-pribadi baik dalam sebuah struktur Kekuasaan yang kelam, membela Denny dalam hal yang lain, komentar Denny, bahwa “Antasari adalah Pembohong”, adalah ‘adu domba sejumlah orang baik’ di bawah kekuasaan SBY. Betapa pun, semestinya Denny harus ikut mengambil tanggung-jawab pribadi atas perkataannya, seperti sejumlah orang lain ramai-ramai terlanjur ‘meludahi’ Anda, Antasari karena “karya kreatif” media itu. Hebatnya lagi, media penayang dan pemberita acara, belum memberikan pernyataan tanggung-jawabnya, ataukah sekedar menyederhanakan masalah sekdedar Antasari punya hak jawab publik.

Memang, Denny bukan korban satu-satunya dalam struktur Pemerintahan yang di mana kekuasaan telah cenderung korup, seperti lama diingatkan Lord Acton: Power tend to corrupt. Antasari tentu sadar, bahwa Jaksa penuntut, yang telah menghinakan dirinya dan kemuliaan profesinya, telah melakukan dakwaan terlucu dalam dunia hukum atas diri Anda, bernama Cirus Sinaga, telah menjadi terpidana untuk kasus yang lain, dan beberapa hari silam diberhentikan dan masih menjalani kurungan penjara. Entah harus berbaik sangka atau berburuk sangka, tidak ada manfaatnya, ketika Cirus Sinaga memang dengan tidak jelas keuntungan pribadinya, melakukan semua kebodohan untuk mendakwa Anda, bahkan dengan hukuman maksimal dalam Pidana terhadap Anda, maksimal hukuman mati sebagai pembunuhan berencana (KUHP 340).

Sri Mulyani Harus Dibela

Dalam Etika Politik dan perilku kekuasaan terhadap para pembantu Presiden SBY, saya ingin konsisten mengecualikan integritas sejumlah orang. Sri Mulyani Indrawati adalah salah seorang figur itu yang ingin saya kecualikan. Saya teringat, ketika Anda, Antasari sedang dalam perjuangan Mei 2009 itu. Wimar Witoelar kepada media asing, telah menyatakan adanya sebuah konspirasi hukum terhadap diri Anda. Artinya, Wimar membela Anda.

Belakangan, Wimar menjadi saksi Sri Mulyani memiliki integritas publik yang tinggi. Wimar bahkan tidak segan-segan mengkritik pedas mereka yang secara terbuka maupun tersembunyi menyerang Sri Mulyani. Saya memiliki sedikit catatan tentang Sri Mulyani, karena itu secara normatif ingin berdiri seimbang, bahkan termasuk bila Sri Mulyani, sebagai bagian dari kekuasaan Presiden SBY harus bertanggung-jawab atas distorsi kebijakan pada tatanan implementasi. Boleh koreksi saya kemudian hari, penjelasan Anda dan kesan sejumlah orang adalah bahwa penjelasan di Senayan kemarin (12/9) antara lain mengarah pada Wapres Boediono dan Sri Mulyani. Betapa pun, saya percaya, Anda masih bersikap menginformasikan suatu keadaan di mana, Sri Mulyani sebagai peserta rapat 9/9/09, tidak disebut sebagai orang yang dihubungi untuk klarifikasi perubahan dari Bank Indover ke Bank Century, kecuali berulang Anda menyebut Boediono sebagai Dirut BI.

Sebelumnya, terhadap sosok Sri Mulyani, saya tetap bersikap netral. Bahkan, mutatis mutandis, penilaian saya terhadap Denny Indrayana, adalah juga sikap terhadap Sri Mulyani yang menjadi bagian kekuasaan SBY. Saya memandang, bahwa Anda minimum sedang dalam tahapan di mana, seperti terhadap Denny Indrayana, Sri Mulyani adalah juga (pernah jadi) bagian dari kekuasaan. Sebuah kewajaran belaka, karena Anda sedang berjuang bersama masyarakat, termasuk saya untuk membela diri dan mencari keadilan dari pendzoliman itu. Amat mungkin itu menjadi sikap saya, bila saya berada dalam posisi seperti Anda.

Sebenarnya, dari semua rekam jejak etika publik dan politiknya, Sri Mulyani adalah seorang pejabat yang memiliki prinsip-prinsip yang tegas, cenderung tanpa kompromi. Karena itu, orang-orang yang dekat dengannya, bahkan berbalik memberi kesaksian bahwa ketegasannya didukung dan dibela. Terutama sejumlah pidato Sri Mulyani yang harus meninggalkan Indonesia dan bergabung dengan grup Bank Dunia, isi pidatonya memberikan keyakinan kepada saya, perihal kekuatan dan konsistensinya dalam memperjuangkan suatu etika politik dan etika publik. Pernyataan itu dikuatkan oleh sejumlah pihak, bekas bawahannya di kantor pajak, hingga aktivis ICW dan sejumlah LSM yang obyektif memberi penilaian “clean” kepada pribadi Sri Mulyani.

Tetapi, saya ingin mengatakan, bahwa betapa pun secara pribadi saya tidak mengenal baik Sri Mulyani, seperti juga saya tidak mengenal Anda secara pribadi, tetapi Sri Mulyani bukan orang asing bagi saya, seperti juga Anda. Karena itu, seperti belasan hingga puluhan tulisan saya membela Anda, begitu pula yang akan saya lakukan membela Sri Mulyani. Sekuat dan setulus saya terus membuat pembelaan, meski dalam nota-nota terbatas, begitulah saya akan terus melakukannya dengan tulus dan sekuat tenaga untuk membela Sri Mulyani. Dari pemberitaan media dan televisi, dan dari mereka yang melakukan pembunuhan karakter terhadapnya.

Penutup

Antasari, Anda merasakan pahitnya pembunuhan karakter itu. Kekuasaan machiavelian, itu bukan dongeng. Pernah, sedang berlangsung, dan kapan berakhirnya, kita tidak tahu. Kriminalisasi pribadi, seperti juga kriminalisasi masif juga terjadi: Orang Aceh, Papua dan Maluku, terakhir Kasus Sampang, adalah sejumlah contoh buruk wajah sejarah kita. Tetapi, rapat 9/9/09, entah kebetulan, sama menyakitkan dengan pembunuhan karakter warga Maluku dalam operasi intelijen rusuh Maluku 9/9/99. Maluku dibuat berdarah, bukan tidak diketahui Presiden SBY, yang ketika itu Menteri Energi dan Pertambangan, dan kemudian Menkopolkam. Semua itu kejahatan sejarah, Pak Antasari. Kita tidak pernah tidur untuk mengatakannya dengan lebih terang kepada tetangga, dengan lebih nyaring dan berani. Kita memang tidak perlu menyesal, dan tidak berhak menyesal, bahwa ada orang lahir dengan hari dan tanggal tertentu, termasuk lahir pada tanggal 9/9/1949.

Pada hari-hari di mana Konferensi Besar Ulama Nadhatul Ulama (NU) sedang mempersiapkan Fatwa, bahwa pembunuhan karakter adalah haram hukumnya, seluruh warga negara Indonesia, dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya, berharap amat banyak. Kita berharap bahwa Fatwa itu menjadi sebuah perangkat sosial-relijius yang memberi kekuatan dan landasan serta keberpihakkan etis-moral dalam tata-politik Indonesia. Karena, kelam politik kita membutuhkan secercah cahaya untuk mengarahkan Bangsa, Negara dan anak-cucu kita ke masa depan yang beradab dan bermartabat.

Penulis, Pengamat dan Praktisi Hukum

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun