Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Kasus Simulator: Haruskah Presiden yang Legowo, Jenderal?

6 Agustus 2012   01:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:12 294 0

Pernyataan juru-bicara Presiden SBY, Julian Aldrin Pasha pekan silam kepada media (2/8), bahwa “Presiden SBY tidak ingin mengintervensi tarik-menarik institusi penegak hukum Polri-KPK dalam penanganan kasus dugaan korupsi Simulator yang melibatkan petinggi Polri, mendapat kritik dan sinisme masyarakat (pemerhati hukum). Betapa tidak, pernyataan Presiden untuk tidak mengintervensi, telah dipandang merupakan sebuah bentuk intervensi yang lain dengan kesengajaan. Ya, mengintervensi dengan cara (tampak seolah) “tidak mengintervensi”.

Logika pikirnya sederhana: karena institusi Polri berada di bawah kewenangan Presiden, maka SBY sebagai Kepala Pemerintahan diamanatkan dan diwajibkan Konstitusi (hasil amandemen dan UU KPK) untuk memerintahkan institusi Polri membiarkan oknum-oknum (petinggi) Polri untuk diperiksa oleh KPK, perihal keterlibatannya dalam dugaan korupsi dimaksud. Itu semata demi kemuliaan dan martabat institusi Polri. Kasihan pada banyaknya jenderal Polisi maupun oknum-oknum Polri yang bekerja dengan nurani. Atau apalagi, mereka yang bekerja hanya berdasarkan instruksi, kemudian dijadikan ‘pesakitan’ oleh atasannya.

Selanjutnya, Presiden dipandang perlu mendorong independensi KPK untuk menyelenggarakan proses hukum pada tahapan penyelidikan dan penyidikan menyeluruh di tubuh instansi pilar lain penegak hukum tersebut. Presiden dan institusi Polri, bila mengikuti alur-pikir ini, mestinya bersikap “most welcome” kepada KPK. Mengambil posisi sebaliknya, malah dapat membenarkan dugaan-dugaan masyarakat, yang dapat terlampau besar melampaui fakta dan akta (tindakan) atau sekedar spekulasi. Instruksi atau himbauan Presiden agar keduanya berkoordinasi, benar dan normatif dalam arti terbatas. Tetapi, kalau "koordinasi" di situ bermakna atau liar bebas diinterpretasikan, "Silahkan beradu-kuat dan ngotot". Sinyalemen 'Tragedi Cicak-Buaya’ jilid II kalau sepakat, Presiden memang berada dalam kesulitan-kesulitan yang terbangun karena ketidak-sediaan menegaskan dan mendorong kewibawaan hukum atau law enforcement.

Konsekuensinya, lumrah masyarakat memandang, tarik-menarik itu memberi kesan seolah institusi Polri akan mengorbankan sejumlah anggotanya yang “hanya menjalankan instruksi” atasannya. Artinya lagi, bahwa siapa pun yang ditetapkan Polri sebagai tersangka, dianggap perngorbanan “prajurit untuk Komandannya”. Proses penyelidikan dan penyidikan gaya bahasa masyarakat “jeruk makan jeruk”, selalu hanyalah sebuah tindakan tidak akuntabel, tidak transparan, dan karena itu lebih dari patut untuk dicurigakan masyarakat.

Sejumlah kalangan, termasuk Kriminolog UI Adrianus Meliala menghimbau agar institusi Polri “legowo” (rela, berbesar-hati) menyerahkan kasus dugaan korupsi kasus Simulator itu kepada KPK. Dengan segala upaya menghalang-halangi KPK, mem-pra-pedilankan anggota KPK (untuk Kasus yang lain), dan upaya-upaya defensif lainnya, hanyalah bentuk tidak patuh Konstitusi dan semangat pemberantasan korupsi, dan semangat tidak loyal kepada pimpinan tertingginya Presiden.

Masyarakat memiliki pra-andai lainnya. Polisi senantiasa bekerja secara profefional, terutama terhadap kasus-kasus yang menyedot perhatian publik, akan bekerja dengan instruksi-instruksi petingginya. Masyarakat juga percaya akan jenderal-jenderal Polisi dengan integritas setinggi dan semulia Jenderal Polisi legendaris Hoegeng yang taat hukum dan nurani.

Karena itu, bila melanjutkan himbauan masyarakat agar petinggi Polri bersikap ksatria, etika publik masyarakat meminta institusi “Hoegeng” itu untuk melanjutkan sikap ksatria mendengar tuntutan rakyat. Jenderal Timur Pradopo mutlak bersikap independen dan bersinergi dengan KPK, untuk pengungkapan dugaan korupsi secara imparsial. MOU (memorandum of understanding) antara KPK-Polri, berada di bawah UU yang lebih tinggi. Begitupula tidak ada Yurisprudensi hukum yang paralel dan reasonable digunakan Polri untuk mempertahankan diri. Semua sikap ini merupakan bentuk mekanisme defensif (pertahanan diri) yang tidak perlu, karena akan menjadi indikator lain memperlemah kepolisian, apa pun alasannya.

Di lain pihak, Presiden SBY pada posisinya legowo menampilkan kenegarawanannya dengan membangun kehormatan institusi di bawahnya, tidak terkecuali Polri. Membiarkannya institusi Polri merana meradang dan jadi bahan pergunjingan dan cemoohan masyarakat, akan ibarat menampik air di dulang keciprat ke wajah sendiri.

Kasus Simulator hanyalah sebuah simulasi ketidak-berdayaan dan ketidak-konsistenan penegakkan hukum di bawah pemerintahan Presiden SBY dan perangkat hukum Negara. Spekulasi masyarakat bahwa, “inkonsistensi” penegakkan hukum tampak diarahkan dengan konsisten dan kesengajaan terbuka untuk membalut kasus Hambalang atau kasus aksi koruptif lingkar seputar Presiden atau Partai berkuasa, hanyalah bom waktu yang tertunda. Jadi, masalahnya mungkin tidak (hanya) pada institusi Polri yang harus legowo.

Presiden SBY patut memperjuangkan sikap legowo institusi Polri dan menjadikan hukum sebagai panglima, dengan pedang bermata dua di tangan (memang). Atau, kecuali kalau semua jargon itu hanya basa-basi di tangan jenderal. Tapi, itu gerak berlawan arah dengan jenderal bermartabat. Selain Jenderal Soedirman yang mashur dan ditokohkan, ketauladanan Jenderal (Polisi) Hoegeng yang mashyur, terhormat  dan dikenang rakyat, hingga ke dunia Barat, bukan dunia Timur. Untuk sebuah kebenaran dan kemuliaan institusi (Negara-Hukum-Rakyat), Jenderal Sudirman dan Hoegeng membathinkan apa makna legowo. Presiden memang harus legowo memerintahkan Polisi untuk pasrah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun