Pernyataan Prof. DR. Iur Adnan Buyung Nasution (ABN), tentang kesetujuannya pada hukuman mati, dalam acara Andy Noya (Metro TV-Kick Andy) pekan silam, cukup mengejutkan, setidaknya untuk saya pribadi. Acara Kick Andy tersebut sepenuhnya membahas beberapa catatan kontroversial dan dianggap ‘bocoran’ rahasia jabatan ABN sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden yang dituangkan dalam bukunya “Nasihat untuk SBY”.
Saya tidak ikut mendebat kontroversi ‘bocornya rahasia’ jabatan itu. Yang amat mencemaskan saya adalah bagaimana ABN sebagai praktisi senior dan membela banyak orang (bersalah) di pengadilan, tiba-tiba di penghujung kariernya, malah berbalik mendukung “hukuman mati”. Sikap ini justeru merupakan semangat yang bertolak-belakang dengan upaya Amnesty Internasional untuk menghapus hukuman mati di dunia. Banyak negara perlahan, satu demi satu, menerima sikap untuk menghapus sama sekali hukuman mati di negaranya.
Sebagai praktisi hukum senior, ABN juga sebenarnya menulis beberapa seri Negara dalam paham Konstitusionalisme. Karena itu, singkat untuk mengatakan bahwa, mestinya paham konstitusioanalisme, terutama pasca lahirnya Deklarasi HAM 1948 yang menjiwai banyak amandamen konstitusional, termasuk Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) kemudian Konstitusi hasil Amandamen2, hukuman mati mestinya makin dipandang sebagai pelanggaran atas HAM yang dikawal Konstitusi, bukan terbalik memberi kesetujuan atas hukuman mati.
Pernyataan ABN itu dikemukakan saat Andi Noya menegaskan hukuman atas para pelaku tindak pidana korupsi. “Saya dulu menolak hukuman mati, tetapi sekarang saya menganggap hukuman mati dapat diterima”. Beberapa faktor kontekstual tulisan dan posisi ABN, justeru menempatkan pernyataan kesetujuan itu merupakan bentuk kontradiktif. Betapa pun kita sedang dibuat gemas dengan hukuman yang teramat ringan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi, situasi ini tidak pernah boleh melahirkan bentuk kejahatan lebih besar lainnya, yaitu hukuman mati terhadap pelaku korupsi. Karena, korupsi dalam teks-teks Indonesia telah disesatkan sebagai exstra-ordinary crime, sementara belahan dunia lain, kejahatan melawan kemanusiaan sekalipun, tidak ingin diganjar dengan eksekusi mati.
Kalimat Perdana Menteri China Zhu Rongji, “Buatlah 100 peti, 99 untuk koruptor, dan 1 untuk saya bila ikut melakukan”, bukanlah pernyataan kesetujuan langsung pada hukuman mati. Pesan dari sikap itu adalah hukumlah Zhu bila dia tidak konsisten dalam pemerintahan dan ikut melakukan korupsi. Zhu juga belum tentu menyetujui hukuman mati.
Maka, adalah bentuk kontradiksi bila di Indonesia yang masih berjuang dalam pluralisme hukum dan proses penegakkan hukum yang independen dari segala kepentingan, hukuman mati dapat menjadi sebatas balas dendam karena kepentingan pribadi atau politk primordialisme terpola. Itu juga kekuatiran Amnesty Internasional tentang rentannya hukum menjadi pembenar kriminalitas oleh aparatur Negara.