Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Wahai Alim-Ulama: Jangan Biarkan Negara Kriminalkan Agama

8 Mei 2012   01:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:35 1115 1

Kepada yang Mulia para Alim-Ulama di Indonesia,

Assalamu alaikum, wa rahmatulohi wa barakatu. Oom Swasti wastu, shanti.  Salam Sejahtera.

Perkenankan saya, warga Negara Indonesia yang merdeka,  menyampaikan pandangan kepada Yang Dimuliakan, para Tokoh Lintas Agama, perihal situasi kriminalisasi Agama, terkait pelarangan Tokoh Pendidik Muslim Kanada Irshad Manji, Pengrusakan tempat Jama'ah Ahmadiyah dan terakhir penyegelan sejumlah tempat Ibadah atau simbol Keagamaan di DI Yogya dan DI Aceh. Selain itu, isu terorisme dan separatisme, sedang dibangun bersama dengan kriminalisasi Agama,  yang dipolakan dan dibangun terhadapi bangsa dan warga negara Indonesia dan kesan kita adalah Negara tidak hanya membiarkan, tetapi telah patut dianggap menjadi bagian atau bahkan Akhtor intelektual dari semua kejahatan tersebut.

Terlibatnya Pemda-Pemda untuk penyegelan tempat simbol-simbol ruang privat, adalah bentuk Pelanggaran tiada tara, terhadap Hak paling mendasar yaitu kebebesan menjalankan ibadah, mengekspresikan keyakinan iman, dan rasa aman yang dijamin konstitusi dan dilaksanakan aparat, bukan sejumlah kecil keparat. Sekali lagi, Negara bukan hanya lalai, tapi tampak sedang menunjukkan peran ambigu, dan menggunakan sejumlah Perda hingga Konstitusi untuk mengkriminalkan kelompok keyakinan. Kejahatan pembiaran oleh Negara atau bahkan telah disebut dirancang oleh sebuah Pemerintahan adalah Pemerintahan yang sedang absurd dan kehilangan legitimasi dari segala aspeknya. Kejahatan oleh Negara dan Pemerintahan secara terang-terangan.

Beberapa Peristiwa yang sengaja dibangun secara serentak, dan sayangnya (baca: ajaibnya), meliputi daerah-daerah di mana isu separatisme atau pemerdekaan wilayah, muncul sebagai faktor yang mudah digiring pada kriminalisasi: Aceh, Papua, dan DIY.

Penyegelan Gua Maria Giri Wening di DI Yogyakarta, sudah diperkirakan akan terjadi (lagi). Berbulan-bulan, pro-kontra penyegelan gedung ibadah GKI Yasmin di Bogor dan Gereja HKBP Filadelfia ataupun GPIB Galilea, sengaja dibiarkan menjadi komoditas politik dan alat 'transaksi' bargaining politik Pemerintah yang sedang berkuasa. Senjata ampuh yang pernah digunakan era Soeharto, tetapi kini coba sedang terus diasah kembali oleh Pemerintahan SBY, secara tersembunyi ataupun terbuka.

Kriminalisasi umat beragama, baik yang jadi korban langsung maupun jadi korban tidak langsung, adalah pelaku dan korban. Pemda-pemda telah dianggap dikorbankan oleh Pemerintahan Jakarta. Aceh yang lama dalam masa krimininalisasi berwajah separatisme dan terjadi pelanggaran kemanusiaan dengan operasi militer, kini Daerah Istimewa Aceh, seolah tampak menjadi daerah berwajah Intoleran. Warga Aceh yang menjalankan Syariah Islam, dihargai kaum Non-Muslim di mana segelintir Non-Muslim tetap tinggal dan berinteraksi di Wilayah Aceh sebagai bagian dari Warga Negara. Aceh yang memiliki hubungan baik dengan masyarakat Internasional, sedang dikriminalkan oleh Negara, untuk memberi kesan warga Aceh adalah warga intoleran dan tak bersahabat, hal yang bertentangan dengan kesan dunia internasional pada (warga) Aceh.  Saya lebih percaya tulisan seorang saudara dari kota Takengon, Aceh Tengah, Indria Setia Bakti dalam artikelnya  “Aceh itu Plural” (Kabar Indonesia on line, 6 Mei ).

Tindakan Pemerintah Jakarta bersama Pemda setempat, terutama Kabupaten Singkil, dengan melakukan Penyegelan atas nama UU atau Qanun yang (sengaja) ditabrakkan dengan Konstitusi adalah, kejahatan Pemerintah Negara Indonesia terhaap warganya. Bahkan dalam banyak kejadian sejarah, di mana Muslim menjadi mayoritas akan memperlakukan kaum minoritas dengan semangat sebagai dzimmi atau dizmi (mereka yang perlu dilindungi) karena keadaan minoritasnya. Jadi, tidak ada motif dan target lain yang dibangun Pemda setempat dan Pemerintahan Jakarta adalah kriminalisasi wajah Aceh di dunia internasional, dan membangun isu sektarianisme. Dalam pemerintahan SBY, sekian tahun Indonesia terus berada di garis Negara gagal, failed state.

Untuk mengkriminalkan wajah Pemda Provinsi Aceh yang baru, Pemerintah Jakarta akan turut membiarkan penyegelan kurang lebih 17 rumah bangunan bersimbol keagamaan Non-Muslim. Padahal, dengan menjalankan Syariah Islam, sejumlah kalangan masyarakat menyesal akan hijrahnya sejumlah kaum Non Muslim dari Daerah Aceh. Untuk tidak menyebut angka persis, tetapi sejumlah golongan menunjukkan data angka hijrah kaum Non-Muslim mencapai hampir 50% persen untuk pindah ke wilayah lain di pulau Sumatera atau ke pulau lainnya di Indonesia.

Menghadapi kenyataan kriminalisasi DI Aceh oleh Jakarta, sejumlah kalangan warga Aceh yang terhormat mengatakan, kami butuh keadilan ekonomi dan sosial, bukan syaria'ah. Dan sekarang, masyarakat warga Aceh menghadapi bahwa, Pemda-pemdanya, dalam kerjasama dengan Pemerintahan Jakarta, akan melakukan politik friksional atau yang lama kita gunakan kepada penjajah, politik Devide et Impera, ya, politik pecah-belah.

Sejumlah 17 tempat di Pemda Aceh Singkil yang disebut menyegel simbol tempat Ibadah awal bulan Mei ini adalah Gereja Katolik Kampong Napagaluh, Provinsi Aceh, yang telah 38 tahun berdiri, atau sejak tahun 1974, atau bahkan saat era diktator Soeharto, kini hendak ditutup (2 Mei). Pemda Aceh Singkil juga berencana menutup  gedung Ger eja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) di Desa Pertabas, Kecamatan Simpang Kanan, namun gereja tersebut, urung disegel. Lantaran ada aspirasi yang dinilai tim penertiban perlu dipertimbangkan. Sebelumnya sempat terjadi negosiasi alot antara tim penertiban, pengurus gereja dan kepala desa setempat, disepakati penyegelan ditunda, untuk mencari solusi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun