Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Setahun Nota "Permohonan Maaf Presiden"

30 April 2012   22:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:54 174 0

Artikel Kompasiana setahun silam(2 Mei 2011), “Empat Tanggun-Jawab Presiden SBY dalam Pemerintahan Transisional”, ikut mendorong dan membangun sikap serta kesadaran akan perlunya sebuah permohonan maaf Presiden SBY kepada rakyat Indonesia. Substansi artikel tersebut relevan dan konsisten terkait rencana Presiden SBY memohon maaf atas pelanggaran HAM atas nama negara, sebagaimana dilontarkan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Albert Hasibuan kepada media (24/4).

Wimar Witoelar yang bertemu Wantimpres (26/4), ketika coba dikonfirmasikan substansi permohonan maaf Presiden, mengaku belum tahu sama sekali adanya rencana permohonan maaf itu. Maklum, karena bukan agenda pokok pertemuan itu. Sementara, opini Kompasiana (27/4), “Bila Presiden SBY Berhak atas Maaf Rakyat”, kami mendorong substansi permohonan maaf Presiden, bukan formalistis, tapi tulus esensial-eksistensial.

Alinea terakhir artikel setahun silam itu berbunyi, “Pemerintahan SBY diharapkan mengawal bagian akhir kekuasaannya, dan menyelenggarakan suksesi dengan kebijakan yang nyata dan terang membela Konstitusi, membela kepentingan rakyat. Dalam sejarah, kekuasaan yang mutlak otoritarian dan melanggar Konstitusi sekalipun, dapat berakhir dengan “Mohon, dimaafkan”! Dan, Rakyat (Indonesia, apalagi) tidak ragu untuk memaafkan. Mohon maaf, tidak harus diucapkan di hari terakhir suatu Pemerintahan. Itu kekuatan kekuasaan yang lain.”

Tiga Kata Berdig-Daya: “Saya Mohon Maaf!”

Konteks artikel setahun lalu itu adalah penegakan HAM, di mana kami terinspirasi tokoh pemikir dan penggiat HAM Abdulah Ahmed An-Naim, berkebangsaan Sudan, yang bicara tentang human rights paradox, dan menghubungkan dengan Masa Pemerintahan Transisional Presiden SBY, yang telah diingatkan DR. Sjahrir dalam bukunya “Transisi Menuju Indonesia Baru” dan diserahkan kepada SBY, di mana saya turut menjadi saksi mata dan diikuti dengan dukungan Partai PIB pada putaran kedua Pilpres 2004, untuk mendukung Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden Indonesia 2004.

Lebih lanjut empat poin yang hendak ditekankan agar dijaga Presiden SBY dalam Pemerintahan Transisionalnya adalah, pertama, menjaga dan melindungi Konstitusi UUD 1945 dan hasil Amandemennya. Kedua,kedaulatan rakyat dan pemanusiawiannya dinomorsatukan, sesuai amanah founding fathers dalam Konstitusi maupun landasan ideologi Pancasila. Ketiga, Presiden dapat melakukan dialog yang tulus, terutama para tokoh Alim-Ulama, agar sisa Pemerintahannya tidak tampak upaya “pencitraan saja”, sementara realitas politik dan sosial tetap tidak bisa berbicara secara bertolak belakang. Keempat, bahwa pada setahun lalu, kriminalisasi kelompok-kelompok tertentu, misalnya Negara Islam Indonesia atau terorisme, telah menciderai perasaan saudara Kaum Muslim yang menjadi rakyat mayoritas di negeri ini. Kesan pimpinan Muhammadiyah Din Sjamsudin maupun Al Araf,Ketua Program Imparsial memiliki kesan, bahwa kekerasan terjadi ketika itu hanya mungkin terjadi sebagai infiltrasi dari unsur tertentu.

Pada hemat saya, bahkan kalaupun Presiden SBY tidak pernah membaca atau mendengar tentang ekspektasi para jurnalisme warga ini, kalau tidak disebut sebagai saran-saran publik, kita menganggap dan memandang penting, bahwa sinyal permohonan maaf Presiden “atas nama Negara” sebagaimana disampaikan Albert Hasibuan, segera menjadi suatu kenyataan. Sebuah pernyataan tulus mengawali langkah-langkah konkrit dalam penanganan sejumlah masalah HAM yang dikeluhkan masyarakat, mendapat perhatian yang sungguh dan tak tertunda dari Presiden.

Mengantisipasi pelbagai spekulasi dan sinisme masyarakat bahwa isu permohonan maaf hanyalah sebuah alat politik Presiden dalam menjaga kemerosotan kepercayaan dan legitimasi publik, Presiden SBY dimotivasi lebih kuat untuk berani dan tegas membela sebuah kebajikan (virtue) yang dapat menggerakkan harapan publik pada sebuah langkah revolusioner Presiden. SBY hanya butuh sedikit keberanian dan perbesar ketulusan, karena pada akhirnya, saya berpendapat hal ini akan menggerakkan kembali kemacetan komunikasi Presiden dengan sejumlah kalangan yang nyaris apatis dengan pemerintahannya.

Menurut hemat saya, Presiden SBY bahkan tidak akan percaya, bila sebuah permohonan maaf yang tulus atas pelanggaran HAM di negeri ini secara menyeluruh dan mendasar, akan membangun patok kepercayaan baru. Lupakan dulu bentuknya. Bagi yang skeptis, sebuah permohonan maaf dari Presiden, baru akan coba ditangkap dengan kuping dan menunggu isinya. Tetapi, penting untuk ditandas-ulangi, bahwa Presiden perlu percaya akan suatu kekuatan dan roh baru, dan murah nan meriah itu. Presiden hanya perlu cukup berani dan tulus mendeklarasikan tiga kata penting itu: “Saya mohon dimaafkan!”

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun