Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Argumen Hukum Yusril, Sekedar DPR Senang?

6 November 2011   01:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:01 1246 0
Mantan Menkumham pada periode pertama Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid Pertama Yusril Ihza Mahendra termasuk dalam beberapa orang yang mengkritik pedas Kemenkumham soal kebijakan moratorium atau dihapusnya remisi bagi para terpidana koruptor. Yusril yang juga masih dalam proses pro justitia Sisminbakum, tampaknya ingin menenangkan hati Anggota DPR RI dengan wacana RUU Tipikor baru itu, akan memberi argumen-argumen yang bertentangan dengan semangat membasmi korupsi sebagai extraordinary crime. Beberapa argumen yang dikemukakan Yusril saat diskusi di Gedung DPR RI “Moratorium dan Remisi Untuk Koruptor, Legal Atau Melanggar Hukum” di DPR, Kamis (03/11/2011), adalah (1) Indonesia bukan negara kekuasaan (machtstaat) tapi negara hukum (rechstaat), kebijakan penghilangan remisi itu tindakan otoriter; (2) melanggar HAM para terpidana korupsi yang berkelakuan baik setelah menjalani masa tahanan; (3) sifat diskriminatif Remisi, yang hanya dianggap dilakukan dalam Hari Raya keyakinan tertentu dan tidak di hari raya Keyakinan yang lain; (4) bahwa, melanggar Konvensi PBB tentang Korupsi; (5) bahwa, kebijakan Remisi hanya sekedar politik citra, bukan motif murni penegakkan hukum. Masyarakat hanya mencoba memahami kebijakan moratorium remisi oleh Kemenkumham di bawah Menteri Amir Syamsudin (mantan pengacara) dan Wamen Denny Indrayana dari dasar akal sehat yang muncul dari suara-suara masyarakat. Masyarakat beranggapan, pertama, bahwa vonis bagi para koruptor terlalu ringan dengan tindakan kejahatan korupsi dengan kerugian negara yang sangat besar. Maling ayam dapat divonis dua tiga tahun penjara, pada saat yang sama terpidana koruptor menerima vonis yang sama, atau bahkan lebih kecil. Kedua, perlakuan istimewa dalam masa penahanan dan menjalankan masa hukuman, bukan lagi rahasia umum. Keadaan istimewa yang diterima terpidana korupsi membangun kecemburuan baru di antara sesama nara pidana. Ketiga, dalam menjalankan masa pidana yang ringan dan singkat, terpidana koruptor masih menerima “hadiah” remisi atau pemotongan masa tahanan, sementara tindak pidana maling ayam atau yang setingkat, akan lebih sulit menerima hadiah sedemikian, karena tidak memiliki akses dan kemampuan “transaksional” seperti terpidana koruptor. Dan sejumlah sinyalemen pengistimewaan proses pro justitia maupun perlakuan diskriminatif pengistimewaan terhadap para calon tersangka dan tersangka korupsi lainya.

Di masa Menkumham Patrialis Akbar grasi kontroversial untuk  bupati Kutai Kertanegara Syaukani (awal tahun 2010), telah menimbulkan perdebatan hukum yang dalam. Apalagi, alasan kesehatan Syaukani yang diberitakan media seolah dalam keadaan sekarat, mendadak bisa menggerakan badan dengan relatif leluasa pasca pemberian grasi. Yusril termasuk membela pemberian grasi kepada Syaukani. Masyarakat ketika itu bahkan berspekulasi tentang grasi Syaukani sebagai tumbal belaka bagi pembebasan bersyarat Aulia Pohan, besan presiden SBY.

Argumen Ad Hominem untuk Yusril

Terhadap empat empat argumen Yusril, kecuali argumen “politik citra”, boleh kita membolak balik catatan dan jejak kebijakan hukum sebagai Menkumham di bawah KIB I Presiden SBY.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun