Belakangan, ramai-ramai Dewan Pers, KPI dan Kepolisian (?) bersiaga menghadang acara infotainment. Tidak langsung jelas mengapa acara infotainmen atau pemberitaan wilayah kehidupan "uncover" public-figure dilarang tayang? Tadi pagi (19/7) sekitar jam 8, stasiun Metro TV dan Voice of America (VoA) ingin membangun kesadaran publik, bahwa Infotainmen di Amerika adalah salah satu acara yang diterima publik dan bahwa acara itu adalah sebuah bisnis yang tak pantas dibabat begitu saja dari pertelivisian Indonesia, tanpa dasar dan alasan yang cukup jelas.
Keberatan pihak penyelenggara acara infotainmen jelas akan rugi secara bisnis. Tetapi, kesan yang hendak dibangun Dewan Pers dan KPI (terutama) seolah bahwa, Infotainmen menjadi bagian acara yang tak pantas, sungguh tidak ada kriteria yang sangat reasonable, fundamental dan substansial. Dewan Pers dan KPI telah melanggar hak berusaha dari pihak penyelenggara berita hiburan (rakyat) yang, suka tidak suka, adalah sebuah bisnis menjanjikan yang digandrungi peminatnya.
Pada kenyataannya, infotainmen kalau memang tidak dikehendaki penonton, yah sudah ditinggalkan. Ini tidak ada kaitannya dengan penyempurnaan muatannya, bila KPI dan Dewan Pers berpandangan bahwa isinya tidak edukatif, dan menjerumuskan moral masyarakat.
Dua hal mendasar mengapa, kami merasa perlu menanggapi wacana "membebankan" grasa-grusu seluruh pemberitaan Rekaman Mirip Artis (RMA), hanya kepada acara Infotainmen: pertama, infotainmen bukan satu-satunya jalur di mana pemberitaan terhadap RMA berlangsung. Meski bukan alasan satu-satunya mungkin, tetapi kalau itu menjadi salah satu yang menentukan, pemberitaan RMA, pada kenyataannya tidak monopoli dilakukan acara-acara infotainmen, melainkan nyaris seluruh berita acara TV (radio dan koran?). Maka, tidak adil untuk menghukum hanya satu bentuk pemberitaan.
Alasan kedua, dan essensial adalah bahwa Dewan Pers dan KPI tidak menyentuh hal-hal yang malah tidak patut, meski malah telah menjadi pendapat publik, bahwa RMA yang melibatkan pribadi-pribadi mirip public-figure dan berhak dilindungi institusi media, malah KPI dan Dewan Pers melakukan pembiaran pada penghukuman publik terhadap pribadi orang di ruang privat. Masalah RMA bukan hanya masalah beberapa figur di dalamnya, tetapi menyembulkan kedangkalan filosofi berpikir dari orang per orang hingga lembaga, yang mestinya berdiri memayungi kepentingan publik. Publik itu adalah masyarakat banyak, tetapi juga masyarakat yang dihukum oleh perbedaan filosofi berpikir. Tidak sedikit orang konsisten, termasuk saya, untuk tidak pernah menyebut nama orang-orang yang mirip atau dianggap mirip, atau bahkan benar sekalipun, dan mereka berhak dilindungi dalam cara pemberitaan, yang selama ini bukan hanya lewat jendela infotainment.
Dewan Pers dan KPI sebagai lembaga yang menjamin kepentingan publik, malah lalai atau belum kritis terhadap adanya penggunaan media oleh Pemilik Media yang terdegradasi pada pemberitaan dengan conflict of interest dan immediasi yang kental. Beberapa hari lalu, TV-One, misalnya memberitakan kisruh Hotel Papandayan yang dimiliki Surya Paloh, yang juga pemilik stasiun Metro-TV. Sebelumnya Metro-TV, memberitakan kasus batubara yang dimiliki anak perusahaan milik Grup Bakri, yang pemilik TV One. Rivalitas kedua stasiun TV yang memasuki wilayah "infotainment Akbar", malah terbiarkan oleh Dewan Pers maupun KPI.
Pada selera pertimbangan saya, jika hanya membabat acara infotainmen, sementara membiarkan persaingan tidak sehat antar Pemilik Media, seperti antara lain disinyalir di atas, tampaknya kita hanya berlari di atas periferial masalah pemberitaan bermutu. Tentu, saling klaim kekuasaan antara Dewan Pers dan KPI tidak dapat dibiarkan menjadi bagian lain dari panggung infotainmen. Pekerjaan rumah Menkoinfokom Tifatul Sembiring bertambah. Tetapi, teristimewa anggota masyarakat adalah yang paling berwenang (menilai) di negara ini, menurut Konstitusi. Perangkat lain adalah pelengkap wewenang rakyat.