Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Tommy Winata dan Feodalisme Suku Kei, Maluku

19 Oktober 2009   00:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:35 75 0
Berita Kompas dan Tempo-interaktif (18/9) memberitakan ketegangan di Maluku Tenggara khususnya, Suku Kei (Warga Tual dan Langgur Protes Pemerian Gelar Adat Tertinggi) kemarin hingga hari ini. Masyarakat Suku Kei, di Maluku Tenggara cukup akrab dengan nama Tommy Winata. Betapa tidak, perusahaan ikan terbesar di wilayah Maluku Tenggara atau bahkan Maluku (?) yang telah hadir sejak tahun 1980-an, identik dengan popularitas Tommy Winata atau diinisialkan TeWe. Perusahaan telah berulang nama dan atau punya beberapa nama anak perusahaan di lokasi kurang dari 10 km Kota Madya Tual itu, terakhir lebih dikenal dengan nama PT. Maritim Timur Jaya (MTJ). Salah satu direkturnya, David Tjioe alias A Miauw, yang menerima gelar feodal Suku Kei Dir U Ham Wang. Penggelaran kehormatan itu, kalau obyektif dan terbuka, mestinya menjadi kehormatan sekaligus untuk perusaan grup Tommy Winata. Dan, begitu sebaliknya. Sedikit informasi untuk mendapat konteks, bahwa beberapa sistem sosial Hinduisme dipertahankan masyarakat Suku Kei yang tersebar di pulau Kei Besar, Kei Kecil, Dullah Darat, Dullah Laut, dan beberapa pulau kecil lainnya. Meski, agama besar telah hadir lebih dari seabad, sistem sosial yang diyakini berasal dari praktik hidup Hinduisme tidak hilang sama sekali. Stratifikasi sosial dalam suku Kei, yang terdiri dari kelas bangsawan ('mel'), penduduk asli ('ren''), dan kalangan rendah ('iri''), untuk sebagian wilayah masih dijalankan. Stratifikasi sosial senantiasa amat terasa saat menentukan pasangan perkawinan. Sementara Antropolog mensintesakan terbentuknya stratifikasi sosial, pembagian itu karena penentuan pasangan perkawinan. Komentar Max Weber, "Sejarah dan mitos telah bercampur", menjadi catatan yang dipegang. Dan, sistem stratifikasi sosial adalah salah satu bagian puritan penerapan bentuk dan mentalitas feodalisme primitif hingga modern yang sekian waktu menjadi bagian penelitian yang terkadang sensitif-emosional. Suku Kei mengenal pembagian tugas di tengah kelas bangsawan 'mel' untuk tugas dan fungsi-fungsi khusus, di mana kelas mel terbagi sesuai tugas, yang diterima sebagai bagian 'tanda-jasa' sekaligus. Untuk mereka yang sangat berjasa untuk bidang tertentu, dianugerahi gelar. Tahun 2001, Wakil Presiden Megawati ketika berkunjung ke Kei diberikan gelar "Dit Sak Mas", gelar bagi wanita pahlawan pejuang (meredakan konflik sosial di Maluku, bersama presiden Gus Dur). Penggelaran ketika itu tampaknya diberikan tanpa ritual sangat khusus, kecuali pengalungan bunga, sampai mungkin tak disadari ibu Megawati. Mengapa penobatan David Tjioe sebagai (hala'ai) Dir U Ham Wang ditentang masyarakat? Sejumlah 22 Raja suku Kei yang disebut mengusung penobatan itu menimbulkan pertanyaan. Antara lain, mengapa bukan Alex Retraubun, Direktur Jenderal Pesissir dan Pulau-pulau Kecil pada Departemen Kelautan dan Perikanan? Atau, mengapa bukan Moh. M Tamher (Wali Kota Tual)? Atau, kalau daripada David, mengapa bukan Tommy Winata? Sejumlah pertanyaan ini melahirkan spekulasi, bahwa penobatan itu terkait kepentingan pribadi orang per orang pejabat. Kalaupun diandaikan gelar itu patut, mengapa tidak disosialisasikan secara terbuka kepada masyarakat Suku Kei, yang sekarang secara administratif terbagi dalam Kota Madya Tual, dan Kota Kabupaten Maluku Tenggara dengan ibu kota di Langgur. Masyarakat mencium saratnya muatan interese pribadi dalam penggelaran kepada David Tjioe itu daripada sesuatu yang obyektif dan proporsional menjadi alasan secara adat. Ketidak-jelasan karena kurangnya sosialisasi itu telah menimbulkan spekulasi yang mungkin tak perlu terhadap direktur David Tjioe, kerabat Tommy Winata. Mungkin juga spekulasi lainnya yang tidak sangat penting. Para Raja (Rat) bertanggung-jawab atas ketegangan sosial yang muncul. Meskipun, sebagian raja merasa di-fait-accompli pula dalam proses ini. Suku Kei yang relatif terbuka dan plural (keyakinan dan hadirnya suku-suku luar Kei) di banding kabupaten -kabupaten lain di wilayah Maluku Tenggara, kiranya menjadi miniatur Indonesia yang ideal untuk dimajukan dan diteladani. Karena itu, tanggung jawab sosial(-budaya) oleh perusahaan nasional, multi-nasional di mana saja bergerak, tetaplah patut untuk tidak meninggalkan hormat terhadap sistem sosial (yang positif) dalam memajukan masyarakat. Pahlawan Revolusi Karel Satsuitubun berasal dari suku Kei. Semangatnya membela negara Indonesia merdeka dan bermartabat tidak diragukan. Maka, dalam situasi masyarakat suku Kei sedang terganggu, ia akan berpetuah singkat kepada para raja: "Lar nakmot ivud" (darah memenuhi lambung, sumpah), salah satu sila hukum adat suku Kei Lar Vul Nga Bal (artinya, Darah Merah, Tombak Bali). Dan, kepada David Tjioe, Karel Satsuitubun mungkin berpesan, "Don't put your hand on our kings' head!'. parodi yang diambil dari sikap David Tjioe ketika emosional terhadap salah seorang wartawan senior di Jakarta.  Orang suku Kei dapat sedingin Bambang Harymurti, sang wartawan, yang rasional dan proporsional. Tetapi, antropolog Belanda mencatat watak orang suku Kei sebagai keras, tegas, jujur dan adil. Setia senantiasa kepada para atasan. Tetapi, bila pimpinan tidak memihak rakyatnya, feodalisme hanyalah distorsi paradoks egaliter dalam pembagian tugas dan keadilan (sosial, ekonomi), ya pemerataan kemakmuran. Pelantikan David Tjiou sebagai (hala'ai) Dir U Ham Wang, itu bentuknya yang tampak bertentangan (di mata masyarakat). Karena, adanya upaya monopoli (usaha) perikanan di wilayah itu. Meskipun tidak terkait nama TeWe, masyarakat tidak memandang hanya kepada David Tjioe, tetapi kepada TeWe. Dan, mereka senantiasa menerima, seperti masyarakat lain, hal-hal yang reasonable.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun