Ketika kau meninggalkanku di September lalu; hujan tak pernah turun kala itu
aku sudah menjanjikan kesetiaan yang telah lebih dulu kau rajut
berlapis sutra—dan sudah saatnya untuk percaya
Kau selalu mengingatkanku, di sela-sela sibukmu dengan embun pagi:
”ya, hidup adalah pengabdian dan kekasihku menempati salah satu altarnya.”
oh, benarkah itu?
sebutan kekasih sangatlah merdu di telinga
kini, dan kemudian: aku terlena dalam racikan kata dari lengkung bibirmu
Maka kubuatkan sebuah puisi untukmu—semoga seindah warna-warni bias cahaya,
tentang ini aku belum lupa; aku ingin menari bersamamu dalam pesonanya.
/
Rinduku*
Pernahkah kau perhatikan percintaan ombak dan karang?
Sejoli yang tak pernah surut dimabuk asmara
siang-malam; tak akan ada cerita gejolak yang surut
Ah, apalah arti ombak jika tak ada laut
Ombak adalah anak-anak yang lugu dan jujur; ia tak pernah melawan arus
Kecuali saat ia bertemu dengan sang kekasih
kau akan terlena dengan pelukannya.
Sementara karang menunggu dengan kesetiaan.
Mungkin, hingga senja terakhir yang me-merah
/
Oh, ataukah rindu ini laksana kulit dan belati;
yang tak ditakdirkan untuk bertemu
Dan ketika kau memaksa maka ia akan menggores luka?
Bukan hanya kulit yang pedih, belati pun ternodai,
kemudian mereka didera sesal bagai gerimis
kecuali... saat ia sarungkan pisaunya; Namun semudah itukah?
mata yang tajam mengilat itu menggoda
mengintip, dan mengendus, dan akhirnya mengiris
/
Aku adalah wanita yang merindu
Apapun lukisan masa tentang rinduku, taklah jadi soal
Karena yang kutahu hanyalah memelukmu
Menunggu kamu kembali;
Janjimu: mengecup bekas luka dahulu