Mengucap rangkaian zikir, berusaha mencari jawaban kegundahan hati dengan mengingat kembali pengalaman-pengalaman spiritual yang konon dilakoni oleh orang-orang bijak dahulu. Membaca dan menggali kata-kata bijak dari berbagai media yang sepadan dengan jawaban hati gundah itu. Disitulah hati kita seolah menyatu dengan kehendak Ilahi dengan kaca mata masing-masing pribadi tentang keinginan Nya terhadap hati kita.
Namun, apakah fungsi Agama untuk penghiburan hati gundah yang disebabkan serabutannya penyebab kegundahan itu, salah ataupun benar? Apakah benar Tuhan menciptakan sebuah software yang bernama agama untuk mengobati kegundahan hati manusia? Mari kita telaah dengan teliti, apakah benar orang-orang beriman dahulu menggunakan agama untuk penghiburan hati yang disebabkan oleh hal yang belum jelas status kebenarannya.
Kata Agama diambil oleh para penerjemah Alquran dan hadits dari kata Diin. Kata Diin berasal dari kata Ad-Dayyan yang artinya Menghakimi, kata Bendanya Hukum. Dengan demikian Diin sebagai arti turunannya mengandung makna Hukum sang Pencipta. Setiap kata yang menyebutkan atau digandengkan dengan kata Diin, maknanya adalah Hukum akan segala sesuatu. Maka kata Diin Al-Islam maknanya adalah Hukum tentang Kepatuhan manusia dan seluruh makhluk yang ada di dalam alam semesta.
Islam berasal dari kata  Aslama artinya tunduk-patuh. Bukan bermakna sebuah ajaran yang hanya menempel pada orang atau kelompok dengan ciri tertentu seperti pakaian, kebiasaan, suku, atau keturunan.
"Apakah hukum selain Hukum ketaatan kepada aturan Nya yang kalian cari. Padahal telah ber -Aslama tunduk-patuh- segala apa yang ada di langit dan bumi, suka ataupun terpaksa. Dan hanya kepada Nya lah segala sesuatu kembali".
Menurut konsep ini, seorang fakir bisa lebih Aslama daripada si kaya. Seorang pekerja bisa lebih Aslama dibanding Bossnya. Seorang pendeta bisa lebih Aslama dibanding seorang spiritualist. Bahkan seekor babi yang sedang mentaati hukum-hukum alam bisa lebih Aslama dibanding seorang koruptor berpeci haji.
Ketika kita ukur kata Diin dengan agama, ternyata tidak sejalan dan searah dengan makna agama yang dipahami hari ini. Karena istilah Diin menyinggung masalah kepatuhan-ketaatan manusia dan segala makhlukNya terhadap hukum-hukum Tuhan. Sedangkan agama membahas masalah adab dan urusan perasaan. Urusan hukum tidak bisa dikaitkan dengan perasaan. Karena hukum sifatnya tegas dan tidak ada tawar menawar dalam pelaksanaannya.
Air dipanaskan 100 derajat Celcius maka ia akan menguap, itu masalah hukum. 12 jam siang, 12 jam malam,  Selama di daerah yang dilintasi matahari (khatulistiwa), itu masalah hukum. Hukum  tidak bisa ditawar dan pudar karena ucapan atau perasaan.
Sedangkan apa yang dibahas dalam agama adalah segala sesuatu yang menyangkut perasaan manusia. Kasihan dan menyantuni anak yatim, bersikap ramah kepada siapapun, bahkan dekat dengan "Tuhan" yang kadarnya tidak bisa lepas dari perasaan masing-masing individu. Perasaan sifatnya sangat nisbi dan rentan absurd.
Amat penting untuk meneliti dan menelaah kembali tentang kesesuaian kata Diin dan agama sehingga penggunaan kata Diin tidak disalah tempatkan menjadi pembahasan yang cenderung kasus privat, padahal Diin bicara hukum yang bersangkutan dengan pengaturan Publik.Â