Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Memories Idul Adha

26 Oktober 2012   07:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:22 348 1
Allahuakbar.... Allahuakbar....

Takbir sedang bergema di seluruh dunia. Memuji kebesaran  Allah, Tuhan pencipta alam semesta. Memperinganti mukjizat bapak para nabi (Ibrahim as) saat diperintah untuk menyembelih putranya (Ismail as). Merinding rasanya kalau mendengar takbir bergema memenuhi langit hingga pori2 tanah. Selain merinding karena ingat kebesaran sang Pencipta juga ada sisi sentimentil : teringat almarhum ayah.

Idul adha bagi kami adalah hari penuh kekeluargaan yg sangat istimewa. Kami gak suka mengikuti  kutbah ied yg panjang2.  Kalau matahari sudah terik, sang khatib belum juga mengucap wassalam, kami segera kabur. Di rumah banyak tugas menunggu.

Kami harus menyiapkan sarapan yg spesial. Biasanya menggoreng telur. Kalau ada rezeki menghidangkan ikan, ayam atau rendang. Emak menyiapkan aneka jajanan dan minuman manis2. Usai sholat ied adha jadwalnya selalu begitu. Sibuk di dapur lalu makan bareng ramai2.

Hihihihi seperti lebaran yaa... tapi gak ada tamu. Dimakan orang serumah saja.

Perlu kalori yg lebih dari hari2 biasa karena tiap idul adha profesi bapak jadi penyembelih kambing. Beliau dan adik2nya bekerja dalam 1 tim. Menerima kontrak menyembelih kambing di luar kampung. Profesi yg mereka geluti setahun sekali sejak masih sangat muda : usia SMP. Meneruskan pekerjaan kakek yg suka berdagang hewan qurban dan menyembelih kambing/sapi.

Sorenya di rumah bergeletakan kepala2, kaki dan kulit kambing. Jangan tanya baunya. Prengus pol. Saking enegnya, seumur2 saya tak pernah doyan makanan olahan hewan yg masih  bau prengus/ amis atau berasal dari organ aneh2.

Kerongkongan hanya mau menelan daging saja, tanpa lemak, tanpa bau prengus (gayanya selangit neeh). Kalau dipaksakan menelan kikil, lemak, jerohan, lidah, paru goreng  atau rujak cingur rasanya... hoek.

Sejak smp bapak sudah jadi anak yatim. Adik2nya banyak. Warisan yg mereka terima bukan harta tapi kepintaran mencium bisnis di hari qurban.  Bapak sbg anak  sulung pintar menyembelih kambing. Adiknya selain pintar nyembelih kambing juga berani nyembelih sapi dan berdagang ternak.Untuk soal keberanian, adiknya memang lebih jagoan.

Si adik ini paling pintar berurusan dengan binatang maupun manusia. Pernah waktu sekolah ia di kuntit bapak krn mendengar kabar si adik sering bolos. Benar saja, keluar dari rumah si adik gak ke sekolah. Tapi nuntun kambing ke pasar hewan. Entah kambing siapa yg hendak ia jual. Begitulah kreatipnya si adik, suka menjualkan ternak orang. Gak punya modal sendiri, pakai modal orang lain dan  ia dapat laba.

Teman2 paman itu  para juragan/ bos2. Belum pernah saya melihat ia nongkrong sama tetangga2nya. Pasti ia berkumpul dengan para bos yg bapakpun sungkan mengenalnya. Maklum saja ia tampan, berkulit putih, cerdas, pemberani dan pintar omong. Kenalannya dari golongan high class  sangat banyak. Dengan potongannya itu gak pantas ia jadi orang miskin.

Jadilah kalau lebaran haji gini, selain pesta daging kami juga sedikit pesta uang. Malam hari usai penyembelihan, mulut kami ternganga lihat lembaran2 uang kertas yg nolnya banyak. Hasil pembagian kerja  paman dengan bapak. Ayah bahagia bisa meneruskan hidup anak2nya.

Paman pun bisa menambah pundi2 modalnya. Sayang bisnisnya kurang terurus hingga ia harus sering jungkir balik tiap uangnya habis. Mudahnya ia cari uang sepertinya diimbangi dgn mudahnya buang uang juga.

Sungguh beda2 tabiat bapak dan adik2nya itu. Semua punya keunikan masing2. Kami suka mendengarkan cerita nenek tentang anak2nya yg berulah aneh2. Sangat berat bebannya hidup sbg janda dgn 6 bocah. Yg lebih berat lagi, hidup  nenek seperti orang terasing. Maklum ia orang desa yg merantau ke kota.  Gak ngerti baca tulis, taunya ngaji saja. Sementara keluarga kakek orang yg cukup berpendidikan pd masa baheula itu.

Jadilah saat suami meninggal ia sendiri saja. Keluarga suami kurang peduli. Gak selevel gitulah, jadi kurang silaturahmi. Kalau lebaran tiba jarang ada tamu di rumah nenek. Kami para cuculah yg menghabiskan kue2 dan ayam opor. Pernah seorang keponakan kakek bertandang ke sana, girangnya bukan main. Tiap hari diceritakan pengalamannya disalami satu keponakan.

Nenek selalu menyuruh anak2nya rajin belajar biar gak mudah dikibuli orang. Mereka berjuang hidup bahu-membahu agar dapur tetap ngebul, sekolah jalan terus.  Nenek merasakan susahnya cari surat veteran pejuang kakek karena ia gak ngerti baca tulis. Apalagi status dia sbg istri kedua (istri pertama cerai) sehingga ia tak tahu dimana kakek menyimpan surat2 pentingnya.

Jadilah ia gigit jari saat teman2 seangkatan kakek mendapat pensiun veteran perang. Sebagai gantinya, salah satu anaknya masuk kedinasan tentara.

Ada juga anaknya yg suka berantem. Dua anak terakhir hobinya berantem tak ada habisnya. Nenek biarpun bodoh gak ngerti baca tulis tapi menang pengalaman. Saat pembagian warisan, dua orang itu dijadikan satu tanahnya. Yang lain diberi uang sehingga bebas mau beli apa saja atau di kemanakan saja. Rupanya namanya ibu itu paling tau kondisi anaknya.

Nenek percaya kalau 4 anaknya  (dan 1 anak tiri dari istri pertama)  yg diberi uang warisan tak akan menghambur2kan peninggalan kakek. Dan memang mereka benar2 membeli tanah seperti amanat nenek.  Sedang dua bontot yg suka berantem dicarikan tanah di satu tempat untuk mereka berdua. Bukannya dipisah tapi dijadikan satu.

Mereka tetap saja berantem walau masing2 sudah berkeluarga. Sengaja oleh nenek "diikat" jadi  satu biar gak mudah dijual. Kesamaaan duo bontot itu adalah gak betah lihat duit nganggur.  Kalau diberi uang cukup banyak, bisa2 tandas dalam satu pekan. Bahkan kalau di beri tanah sendiri2 pun bisa2 cepat berpindah tangan alias dijual.

Melihat ayahnya saja belum pernah (karena waktu ditinggal ayahnya mereka masih bayi) eh tuanya malah gak merasakan peninggalan ortunya, kan celaka kuadrat tuh. Akhirnya walaupun terus berseteru keduanya tetap tinggal berdekatan. Manfaatnya baru dirasakan sekarang.

Bertahun2 setelah nenek meninggal, sekarang semua mengambil hikmah. Harga tanah makin melambung. Anak2 mereka sudah mneginjak remaja. Anak2 bisa punya kamar sendiri2. Saat orang lain masih mengontrak, pindah dari rumah 1 ke rumah lain, dengan tiap bulan, tiap tahun dihantui kalender yg serasa ngebut berjalan.... Ya, karena tiap bulan atau tahun mesti membayar sewa... Mereka bisa hidup tenang di rumah sendiri. Seiring bertambahnya usia, mereka sudah melihat susahnya orang yg gak punya rumah.

Akhirnya mereka sekarang berdamai, walau gak utuh 100%.

***

Idul adha sekarang....  tanpa ayah. Tak ada lagi kesibukan ekstra. Karena tak ada satupun anak bapak yg meneruskan pekerjaan berburu uang di hari qurban. Anak laki satu2nya mana berani nyentuh kambing, padahal duitnya gede, hehhehhhe.

1 November 2009 silam, bapak jatuh dari tidur. Keningnya berdarah. Iseng2 saya tanya mimpi apa. Beliau bilang mimpi sholat, pas mau rukuk ternyata jatuh. Petangnya beliau muntah, lalu dibawa ke rumah sakit. Oleh dokter diberi obat, lalu tidur.

Tiba2 terbangun karena terkejut serasa melihat sekeliling putih, terang benderang dan sangat luas. Bertanya2, bingung lagi ada dimana. Saat dikasih tau kalau lagi di rs, beliau gak percaya.

"Rumah sakit  kok luasnya gak umum," protesnya.

Lalu  berbaring lagi, berdzikir sesaat, terus..... menghembuskan nafas terakhir.

Dokter menyatakan bapak meninggal.

Kami menangis. Dua adik bungsu kesayangannya yg dulu suka berantem tak bisa bersuara. Yang satu segera mengurus pemandian ayah di rs itu juga, yg satu memeluk saya. Mendadak keduanya kehilangan "ayah", seperti saya.

Semoga dosa2 beliau terampuni oleh Allah swt. Amien...

Hari ini, idul adha 1433 H paman bontot "berburu duit" menyembelih kambing bersama kawan2nya. Entah dimana, saya belum ketemu. Dua abangnya yg dulu  mengajari bisnis idul adha sudah menghadap yang Kuasa. Mengutip dr. Arman sudah berangkat menyerahkan LPJ.

Tulisan ini terinspirasi oleh tulisan pak dosen Arman :

Titip Rindu Buat Ayah

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun