Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Cerpen | Dua Malam Setelah Valentine

13 Februari 2019   19:50 Diperbarui: 13 Februari 2019   20:06 53 2
Aku duduk termangu di ruang tamu orang tuaku. Di sebelahku kekasihku menunggu, sama-sama diam dalam ragu-ragu. Ya, ini hari penting. Hari ini aku akan mengenalkannya pada orang tuaku, mengenalkan calon pendamping hidupku pada kedua orang yang telah membesarkanku.

Kuperhatikan jam yang menempel di dinding. Jarum pendek berada pada angka tujuh, jarum panjang pada angka satu. Di luar jendela langit terlihat gelap, bintang tertutup awan-awan. Artinya sekarang sudah pukul tujuh petang. Kuperhatikan juga di sebelah jam, sebaris semut membawa remah-remah jajan yang jatuh di lantai. Mereka berbaris rapi menujur sarangnya. Sejujurnya, akan kuperhatikan apa saja di ruangan ini, mulai garis-garis retak di tembok hingga menghitung derik jangkrik di pinggir jalan. Apa saja. Asalkan bisa mengalihkanku dari penantian ini.

Sekarang ada perasaan menyesal bercampur ragu-ragu. Menyesal karena aku ada disini pada malam ini. Keputusan ini datang agak tiba-tiba. Alasan utamanya lelah. Lelah ditanya-tanyai. Pertanyaan klise yang selalu berulang tiap acara keliarga besar. Mana pacarnya? Kapan menikah? Dan variasi lainnya. Aku lelah. Awal tahun ini saja sudah tiga kali harus kuhadapi. Sekali waktu tahun baru. Sekali saat Imlek. Lelah itu akhirnya memuncak pada Hari Valentine, dua malam yang lalu.

Ah, Valentine! Hari kasih sayang yang hanya menjadi tekanan bagi mereka yang tanpa pasangan. Atau setidaknya yang orang kira tanpa pasangan. Setelah sekian lama bungkam dan mengabaikan omongan orang, toh akhirnya aku tak tahan. Jadi saat itu kuputuskan akan klarifikasi semuanya pada orang tuaku.

Malam minggu, dua malam setelah Hari Valentine sialan, kujemput kekasihku di kontrakannya. Sore hari menjelang mentari terbenam kami menunggang motor bebek matic, keluar dari Surabaya tempatku kerja meluncur menyusuri jalanan pantura. Seratus dua puluh kilometer ke arah barat daya dalam dua jam. Akhirnya aku sampai setelah matahari terbenam, saat itu jam tujuh petang kurang lima menit. Rumah orang tuaku kosong, mungkin sedang bertamu ke rumah tetangga sebagaimana adat orang desa. Kumasuki rumah dengan kunci cadangan yang tergantung bersam kunci motorku lalu duduk di atas sofa butut hasil patunganku dan adik-adikku. Menunggu.

Kekasihku memegang tanganku yang sedari tadi mencengkeram tepi sofa seperti tali nyawa. Ia meremasnya lembut seolah ia merasakan kecemasanku dan ingin berkata, "Tenang. Aku akan selalu bersamamu."

Ah, andai aku bisa tenang. Sungguh miris ketika yang mampu menenangkan batinmu adalah sumber segala keresahanmu. Seperti ia saat ini. Tanpanya disini aku tak akan mampu menghadapi reaksi Ayah dan Bunda. Tapi tanpanya... semua ini tak perlu kulalui.

Tidak! Aku tak boleh berpikir begitu. Aku sudah memutuskan akan menerima jati diriku. Menerima kekasihku. Dan malam ini, aku akan mempertanggungjawabkan pilihanku di depan Ayah dan Bunda, siap menerima konsekuensinya. Apapun itu.

Suara sepeda motor bermesin dua tak membuarkanku dari khayalku. Itu bunyi khas. Motor butut tua yang dipelihara Ayah sejak aku masih bocah. Ayah dan Bunda sudah pulang. Sekaranglah saat penentuan.

"Adam!" seru Bunda saat melihatku di sofa ruang tamu, sumringah. "Kok tumben datang ngga bilang-bilang?"

"Sama siapa ini le? Kok temannya ngga diambilkan minum?" kata Ayah yang menyusul masuk. Segera Ayah menginstruksikan Bunda ke dapur menyiapkan minum, tanpa kata seolah ada sinyal antar pikiran mereka.

"Ayah, Bunda, tidak usah diambilkan minum. Duduk dulu, ada yang aku ingin bicarakan," kataku. Aku tidak ingin basa basi. Langsung saja ke pokok pembicaraan.

"Kenapa le? Kamu serius sekali sepertinya," kata Ayahku dengan alis tertekuk. Tapi, syukurnya, perlahan ia duduk. Bunda pun ikut duduk, selalu patuh pada Ayah tanpa harus ia harus berkata-kata.

Berhadapan di ruang tamu orang tuaku, aku menghela nafas panjang dan memuntahkan kenyataan itu, "Ayah, Bunda, kenalkan. Ini Burhan. Ia adalah... kekasihku."

Hening.

Sesaat tidak ada suara di rumah itu kecuali derik jangkrik di jalan dan degup jantungku kencang menahan tekanan. Kulihat Bunda membelalak dan menutup mulut karena terkejut sementara di dahi Ayah urat-urat kemarahannya mulai terlihat. Mereka memandang lekat-lekat seakan tadi aku berucap dalam bahasa asing. Kenyataan sederhana, bahwa aku lelaki penyuka sesama, menjadi fakta yang tak dapat mereka mengerti. Tidak. Fakta yang tak ingin mereka mengerti.

Malam itu, dua malam setelah Hari Valentine, terdengar pecah tangis dari rumah orang tuaku. Di desa kecil seratus dua puluh kilometer barat daya Surabaya. Tangis itu pilu menyayat hati dan terus berlanjut hingga terbit mentari, bak seorang ibu yang anaknya baru saja mati.

Mungkin bagi Bunda benar begitu. Mungkin bagi Bunda lebih mudah, bahkan lebih baik, jika aku mati. Atau mungkin... seharusnya aku tidak usah lahir.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun