Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Menelisik Misteri dalam Sebuah Transaksi

27 April 2014   04:11 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:09 62 0
‘Gue ambil ya Bang’ dikantonginya benda itu, sembari menyodorkan dua lembar kertas. ‘click and pay’ ….. ‘put your coin and get your drink’…. … dan masih banyak lagi bentuknya yang lain. Ketika, sedikitnya, dua pihak saling sepakat menukar kepemilikan mereka, itulah — ‘transaksi’. Aktifitas ini telah menjadi bagian dari terbentuknya peradaban dunia manusia, hingga terkini. Ada mungkin ribuan atau jutaan transaksi setiap harinya. Baik di bumi datar tempat kita berpijak dan di udara (yang konon) tempat para dewa. Sanking umumnya, kegiatan ini seolah tidak mengandung tanya sama sekali. Tak ada yang aneh. Tidak ada yang perlu diperkarakan. Benarkah demikian? semoga uraian berikut menjawab pertanyaan yang baru saja muncul dan semoga ada pula yang memperhatikan. Berangkat dari transaksi — tentunya, di dalamnya ada sebuah proses dalam mengalih tangankan sesuatu, baik barang maupun jasa. Misalkan seorang petani yang akan memanen padi dua petak sawahnya — meski si petani memiliki 2 orang anak dan 1 istri, petani ini tak bisa menggunakan tenaga mereka untuk membantu panen padi. Kedua anaknya harus sekolah. Sedang istrinya telah sepakat berbagi kerja dalam menyiapkan kebutuhan makan mereka. Hanya tinggal petani ini seorang. Sang petani ini berfikir, dia mampu memanen padi di dua petak tersebut, dengan catatan butuh waktu lebih dari 3 hari. Namun, selama itu pula dia harus memanen dan menunggu padinya di sawah. Ada yang lebih efektif, menurutnya, yaitu mencari tenaga untuk memanen padinya. Tentunya, mencara tenaga juga tidak secara percuma, karena dia tau bahwa orang ini punya kewajiban mencukupi anggota keluarganya. Akhirnya petani tersebut mengajak tetangganya. Pada saat mengajak, petani tersebut menawarkan ‘bawon’ (cara pembagian hasil berdasar kerja, biasa dilakukan untuk panen padi di budaya masyarakat jawa). Tetangganya tersebut menyanggupi dan mereka berdua ke sawah. Setelah padi dipanen dan hasil dimasukan ke karung, untuk membawa padi ke rumah, petani tersebut butuh tenaga angkut. Kemudian dia mencari tanaga angkut dan menjanjikan upah beberapa ribu untuk setiap karung (diangkut dari sawah-rumah). Baiklah, dari sini dulu saya ingin menunjukan bahwa potongan cerita yang belum selesai tersebut sudah mempunyai unsur-unsur ‘transaksi’ seperti yang diperkarakan di awal. Unsur transaksi pertama adalah ketika si petani menawarkan ‘bawon’ ke tetangganya. Sedangkan unsur kedua adalah ketika si petani menawarkan upah beberapa ribu untuk mengangkut padi ke rumahnya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa tetangga dan pengangkut padi itu menyepakati pertukaran tenaga mereka dengan janji atas ‘bawon’ ataupun uang berberapa ribu itu? pertanyaan ini, pastinya, akan diikuti oleh pertanyaan berikutnya, yakni; apa yang menjadi patokan sebuah transaksi, sehingga persetujuan yang dicapai memiliki kesamaan nilai? Ketika kita masuk pada ranah nilai, gambaran fakata yang sepertinya sederhana ini, di belakangnya, terdapat pergulatan yang maha dahsyat. Jauh sebelum saya berfikir tentang diskusi ini, kaum credik pandai telah mendiskusikanya dengan serius. Setidaknya, beberapa ratus tahun setelah perkara nilai ini dimunculkan oleh maha pikir Aristoteles, Thomas Aquinas [1274], yang jauh lebih muda, juga mendiskusikan ini. Dilanjutkan  William Petty [1623-1687], Adam Smith [1776], David Ricardo [1772-1823], Karl Marx [1867]; yang beruntungya, diskusi itu bisa dilihat sekilas dalam karya bung Martin Suryajaya — Asal Usul Kekayaan. Saya, mungkin tidak akan membahas lanjut terkait nilai ini, karena beberapa hal, salah satunya kapasitas saya. Baik, mari kita kembali pada pokok perkara kita di awal, ‘transaksi’. Saya lebih senang menelah soal ini di aras relasi-kuasa; yaitu ketika transaksi terjadi, seperti apa posisi dari pihak-pihak yang bersangkutan. Saya akan buat kisah berikut; ada puluhan bahkan ratusan tukang becakyang sedang lapar di sebuah pasar, tak punya fulus karena belum dapat tarikan. Datanglah kemudian seorang nyonya dan nona, keluar dari pasar dengan sedikit belanjaan. Sang nyonya dan nona ini berencana pulang ke rumah. Mereka ingin diantar oleh abang becak. Ditawarlah salah satu abang becak itu ‘Bang, berapa ongkos dari sini ke kampung A berapa?’ kata sang nyonya. ‘Ah.. biasa nyonya’ sahut tukang becak itu penuh harap ditawar mahan dengan malu-malu. ‘Biasa itu berapa ongkosnya bang?’ celetuk nyonya itu sudah tak sabar. ‘Emm.. bisayanya sih 10 ribu perak nyonya’ timpal abang becak, dengan sedikit takut kemahalan dan si nyonya kabur. Di samping abang becak itu, puluhan pasang mata dari abang-abang becak lainya telah siap menyambar. ‘Ah, mahal sekali bang, 4 ribu lah kalau mau, kalau gak mau ya cari yang lain, atau saya telpun sopir saya’ sahut si nyonya mengancam. Susah sekali pilihan abang ini. Ongkos 4 ribu itu diluar kebiasaan dia narik ke kampung A. Sedangkan, ongkos 4 ribu juga hanya cukup beli sepiring nasi dengan sayur dan tempe. Tak ada untung diraih. Namun begitu, apa mau dikata, jika tak ada 4 ribu, si abang becak mungkin jadi tetap terkapar dan habis tenaga diperduan becaknya. Dengan berat kahirnya diambilah tawaran itu. Dikayuh berpayung terik. Lalu jajan diwarung dan menunggu lapar dikemudian. Saya akan cerita lain, tapi masih terkait dengan transaksi. Kali ini, saya dan seorang kawan pergi ke mall. Ada satu keperluan pasalnya; seorang kawan mau kawin esok hari dan saya dituntut berpakaian ala tuan-tuan, jas dan kemeja. Tak taulah harus bagaimana. Untung ada kawan yang paham. Dibawanya saya ke mall. Ada ratusan penjaja jas dan kemeja di sana. Mereka (penjaja itu) sangat ramah-ramah (dan bahkan kupkir lebih berpunya dibanding saya). Datanglah saya ke salah satu toko, tilik harga lalu menawarnya. ‘Oh tidak bisa, ini harga pas, tiadalah bisa berubah-ubah’ jawab si penjual yang jelita. Baik, saya tak lanjutkan barang sedikit. Kucarilah toko lain. Namun sial tak dapat diraih, untung tak dapat di tolak, kudapati pengalaman yang sama pada setiap penjaja. Akhirnya saya harus beli barang-barang yang kubutuhkan dengan harga semau-mau mereka. Dua kisah saya di atas tentunya ada perbedaan satu sama lain. Yang pertama, kejadianya sama sekali ditempat yang berbeda. Kedua, mungkin jadi kebutuhan mereka berbeda. Ketiga, keempat dan mungkin banyak lagi perbedaanya. Namun, sangat inginlah saya mengungkap persamaanya. Setidak-tidaknya, mari kita telusur kisah pertama, nyonya dan nona menawarkan rupiah kepada abang becak, dan dalam situasi itu banyak sekali pesaing untuk mendapat rupiah tersebut. Alih-alih jual mahal, abang becak yang mendapat tawaran pertama, tiada daya untuk menolak tawaran dari si nyonya. Al hasil, dikantongilah uang seadanya. Saya mendapati bahwa di sini ada keterpaksaan bagi si abang becak. Dia (si abang becak) tidak menerima tawaran tersebut dalam keadaan merdeka seratus persen. Si nyonya mengancam. Kawan abang becak lainya siap menerkam. Sedang si abang becak menerimanya supaya luput dari lapar yang mengancam. Kisah kedua sedikit beda, namun juga ada situasi yang sama. Perhatikan ketika saya dapati banyak penjaja jas dan kemeja dalam sebuah mall. Mereka semua seolah-olah tiada butuh rupiah. Mereka acuh dengan penawaran saya. Akhirnya, dengan terpaksa saya menyerah. Membeli jas dan kemeja, meski saya tukar dengan keringat hasil kerja sebulan lamanya. Dari dua kisah saya, setidak-tidaknya, bisa menunjukan situasi yang rutin dalam sebuah transaksi, yaitu; hubungan yang tidak seimbang. Dari kedua kisah tersebut, ada situasi yang satu tertindas lainya. Kesepakatan yang terjadi susah untuk dikatakan yang adil sepenuhnya. Dari sini, ketakutan saya mulai muncul, lalu, bertanya pada diri sendiri; apakah beribu-ribu, bahkan berjuta-juta transaksi selalu ada ketidak adilan? Saya takut untuk menjawabnya.. maka itu, saya undang para pembaca yang budiman untuk memberi pencerahan …..

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun