Belakangan, banyak bermunculan surat terbuka di sosial media. Beberapa orang menyampaikan gagasannya melalui tulisan terbuka itu. Memang saya akui kalau kemudian saya ikuti cara mereka untuk menulis surat terbuka. Tapi saya posisikan diri pada rakyat yang belum memihak satu atau dua. Berbeda dari mereka yang terang-terangan memihak salah satu kubu.
2014 adalah tahun pesta. Saat dunia berpesta Piala Dunia 2014 di Brazil, Indonesia juga punya pesta sendiri. Pesta pemilihan umum. Sejarah mencatat, pemilihan umum di Indonesia pertama kali diselenggarakan pada 1955. Hingga akhirnya datang 2014 ini, pemilihan umum telah memberi banyak warna pada perjalanan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Namun, dengan penuh kesedihan dan kepedihan, saya kira 2014 ini adalah lembaran pemiluhan umum paling kelam. Pemilihan umum yang paling kotor. Paling licik dan menimbulkan ketakutan-ketakutan pada mental rakyat.
Secara terbuka, baik lewat sosial media atau media lainnya, intimidasi terjadi di mana-mana. Pemberitaan di media sudah sangat jelas berkubu pada salah satu capres. Mereka melakukan berbagai cara pemberitaan yang memojokkan lawan. Padahal, demokrasi ini adalah pesta. Patutkah dalam sebuah pesta memojokkan pihak seakan-seakan mereka tak berhak atas pesta yang menjadi kehendak rakyat?
Baru-baru ini, TV One digeruduk para pendukung dan simpatisan PDI Perjuangan lantaran stasiun milik Aburizal Bakrie itu menayangkan dialog yang salah satu narasumbernya mengatakan bahwa PDI Perjuangan adalah tempat berkumpulnya orang-orang PKI. Sementara itu, di stasiun TV 'seberang', Metro TV, menghadirkan seorang jurnalis yang sering meliput tragedi HAM. Dalam sesi wawancara Allan, jurnalis berkebangsaan Amerika itu mengatakan kalau caprea dari nomor urut 1 adalah orang yang sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi Indonesia.
Tentu saja rakyat yang menyaksikan hal semacam itu secara tidak langsung telah mendapat pendidikan politik yang tidak baik. Demokrasi adalah suara rakyat. Kehendak rakyat yang berpangku pada cita-cita kesejahteraan. Cita-cita seperti itu adalah absolut. Tidak dapat ditawar lagi. Sudah seyogianya, media atau pers yang menjadi salah satu pilar demokrasi menjunjung tinggi kehendak rakyat. Bukan kehendak partai, bos partai atau para kandidat capres. Rakyat berhak atas pendidikan politik yang baik.
Saat pihak-pihak lain sibuk dan ramai dengan suara dukungannya, sebaiknya saya menjadi rakyat yang diam. Dalam diam ini saya pertimbangkan antara 1 dan 2. Bukan justru sebaliknya, banyak celoteh yang mengumbar kedengkian. Saya tak suka politik yang licik, lebih memilih politik yang baik. Dalam diam ini saya pilih yang baik. Toh, biar pun hasilnya tak memenangkan, setidaknya saya memilih dan melakukan yang baik. Biarlah Tuhan yang kemudian menilai apakah saya baik atau licik?
Tinggi rendahnya riuh pergolakan politik di tahun ini, sepatutnya tidak menghapus tradisi baik rakyat Indonesia. Lewat tulisan ini, saya mengajak kepada sahabat-sahabat saya dari Aceh hingga Papua pada umumnya, dan saya pribadi pada khususnya agar perbedaan memilih capres tidak melunturkan sikap serta kepribadian bangsa ini seperti gotong-royong, ramah-tamah, friendly, jujur dan tentunya yang sangat sakral adalah semangat kebersamaan.
Mari sambut calon pemimpin baru dengan suka cita, bukanlah duka cita. Sambut tahun politik ini dengan hati yang suci dan bersih. Hentikanlah kampanye-kampanye yang berbau fitnah. Sahabat-sahabatku, bukan berarti saya menggurui atau lebih pintar. Ini tak lain adalah atas keprihatinan saya yang melihat dan merasakan betapa mengerikannya pemilihan umum tahun 2014 ini. Hal semacam itu tidak boleh terjadi lagi di masa mendatang, di mana saat masa itu, anak-anak muda seperti saya dan kalianlah yang berkesempatan tampil.
Siapapun yang jadi presiden nanti, rakyatlah yang menang. Siapapun yang memimpin nanti, rakyatlah yang sejahtera.