"Mbak, permisi." seorang pemuda yang masih di atas motor menghampiri, sepertinya ada yang ingin ditanyakan
Ia hanya melihat pemuda itu.
"Mbak, tahu rumah Pak Karso?"
Dengan tangan kirinya menunjuk pada salah satu deretan rumah yang ada di seberang jalan setapak.
Pemuda itu mengikuti arah telunjuknya, dan mengira-ngira rumah yang dimaksud.
"Terima kasih, Mbak."
****
Pagi itu matahari tak akan muncul, sejak pagi mendung telah menyembunyikannya. Dia memandang lagi ke langit, lalu menggelengkan kepalanya. Duduk di depan teras rumah adalah pilihan yang tepat, karena sedetik kemudian hujan pun mengguyur bumi.
Suara deru motor mengagetkan dirinya, seseorang berlari ke arah teras, sepertinya ingin menumpang berteduh. Orang itu melepas helm, lalu tersenyum sambil mengangguk memberi hormat.
"Permisi, Mbak, saya numpang berteduh ya."
Ia mengangguk lalu masuk ke dalam dan keluar lagi membawa kursi.
"Silahkan."
Pemuda itu terkejut, ia mengira perempuan itu bisu. Selama ini tidak pernah terlihat berbicara.
"Oh, terima kasih."
Terdengar suara memanggil dari dalam. Perempuan itu pun masuk dan tidak keluar lagi.
Pemuda itu menanti hujan reda sambil memainkan gawainya.
****
Hari ini matahari bersahabat, angin menyingkirkan awan yang menutupi langit. Perempuan itu tersenyum senang lalu mengambil sesuatu dan pergi ke sawah yang tak jauh dari rumahnya.
"Ngil, sini kita tarung layang-layang yuk!"
Beberapa anak kecil sudah ada di sawah, dan mengajak adu layang-layang.
Suara gelak tawa mereka membuat seseorang di rumah Pak Karso jadi penasaran. Orang itu melihat dari balik pagar ke arah sawah, dia melihat perempuan muda itu sedang asik memainkan layang-layang di udara.
"Asik juga ya main layang-layang." Dia bergumam
Pemuda itu keluar dan mendekati mereka, Sepertinya ada setitik rasa penasaran pada diri pemuda itu pada perempuan muda yang biasa dia lihat duduk di bangku teras rumah. Sekarang dia terlihat ceria bermain layang-layang bersama anak-anak yang sudah bukan sebayanya.
"Whaa hahaaa, aku menang! keok kamu punya layang-layang Ndol."
Perempuan muda itu berteriak kegirangan karena berhasil memutus benang lawannya. Ternyata dia bisa bicara dan tertawa lepas, dikira selama ini dia kenapa-kenapa, orang aneh.
"Tengil, besok giliranku menang, layanganmu akan kutebas." teriak anak-anak kecil itu
Perempuan muda yang dipanggil Tengil itu terbahak dan berkata kalau besok akan hujan lebat.
****
Hari ini pemuda itu masih terkurung di rumah Pak Karso, hujan benar-benar lebat, dia tidak mungkin memerobos untuk pulang, jalanan pasti licin dan air sungai di ujung sana meluap.
Ucapan perempuan muda itu tidak meleset, semoga sebelum senja hujan telah reda, dia hanya memandangi air dari langit yang terjun bebas sambil memasukkan kedua telapak tangannya dalam saku celana.
Pak Karso mempersilakan masuk, tapi dia menolak, dan menjawab hanya ingin berdiri diluar, sepertinya berusaha berbicara dengan rintik air agar segera berhenti, memberi kesempatan untuk beranjak pergi.
Sebuah suitan terdengar, segera dia menolehkan kepala mencari arah bunyi itu. Perempuan muda yang dipanggil Tengil tersenyum. Pemuda itu memperhatikan gerak geriknya dari rumah Pak Karso, terlihat dia menjulurkan telapak tangan menadah air hujan yang jatuh dari atap teras rumahnya.
Jagoan juga dia pakai suit-suit segala memanggil orang, pikir pemuda itu sambil tersenyum geli. Tanpa disadari air hujan berhenti. Segera dia berpamitan dan melaju pulang sebelum hujan kembali datang.
****
Sudah beberapa hari tak terlihat perempuan muda itu, rasa penasaran ingin tahu mulai menguasai pikirannya. Seorang anak yang tempo hari bermain layangan di sawah dia sapa dan menanyakan tentang perempuan muda itu.
"Dik, teman perempuanmu yang bermain layangan tempo hari kemana ya?"
Wajah anak itu tampak bingung, lalu bertanya, "Siapa Om?"
"Yang kamu panggil Tengil."
Mata anak itu terbelalak. "Kapan Om melihat saya main dengan dia?"
"Tempo hari sebelum hujan lebat."
"Serius Om, melihat saya?"
Pemuda itu mengangguk, tiba-tiba anak itu berlari sambil berteriak emak.
Dia makin penasaran saja. Beberapa saat memandangi sebuah rumah yang tertutup rapat dan sepi.
"Ada apa Mas Danang kok melihat lama ke arah rumah itu? Siapa tadi yang teriak?" Pak Karso keluar setelah mendengar teriakan dari arah depan rumahnya.
Pemuda yang bernama Danang itu pun menjelaskan kejadian beberapa menit lalu, dia hanya bertanya pada anak kecil tentang keberadaan Tengil, namun anak itu malah berlari sambil berteriak.
"Kapan Mas Danang melihat Tengil?"
Wajah Pak Karso nampak pias, Danang jadi salah tingkah dan bingung.
"Tempo hari, bahkan dia yang memberi tahu rumah Pak Karso saat pertama kali saya masuk desa ini."
"Serius, Mas?"
Aduh jawaban pak Karso seperti anak laki-laki tadi, ditanya malah bertanya gerutu hati Danag, lalu dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Lama Pak Karso menatap Danang, mereka saling berpandangan penuh tanda tanya.
"Tengil sudah pergi seratus hari yang lalu, sejak kepergiannya, orang tuanya pindah, rumah itu kosong."
Seketika darahku terkesiap, seperti kesemutan menjalar ke seluruh tubuhku.