Lampu pertama kali digunakan oleh manusia purba, saat itu lampu sederhana dinyalakan dengan bahan-bahan yang sederhana pula yaitu dengan terakota, logam, dan minyak yang menggunakan minyak ikan dan minya zaitun. Hingga pada akhir abad ke-18 lampu minyak atau biasa kita sebut dengan lampu teplok ini makin meluas. Segi penggunaan dan bahan-bahan yang ada pada struktur badan lampu serta bahan bakar minyak yang digunakan pun lebih berkembang tidak sekuno pada zaman dahulu yang digunakan oleh manusia purba. Terlebih pada tahun 1990an lampu teplok ini sangat berguna bagi orang-orang yang jualan keliling dengan gerobak di malam hari.
Saat ini, lampu teplok masih digunakan terlebih pada saat-saat tertentu pada keacaraan budaya-budaya yang ada di pulau Jawa seperti pagelaran wayang dan penerangan ketika mati listrik. Seperti yang dipaparkan oleh Bourdieu mengenai konsep habitus. Habitus yang terdapat pada suatu waktu tertentu merupakan akibat dari ciptaan kehidupan kolektif yang ada atau berlangsung dengan kurun waktu historis yang relatif lama (Bourdieu, 1997).
Ranah merupakan konsep yang terus berkembang atau dinamis, yaitu diartikan sebagai perubahan posisi-posisi agen yang berdampak pada perubahan struktur ranah (Bourdieu, 1993). Di mana lampu teplok dahulu kala digunakan oleh manusia purba yang tersebar diseluruh penjuru, namun berkembangnya zaman lampu teplok itu banyak digunakan di daerah pulau Jawa, dan hingga saat ini dengan munculnya lampu listrik dan hamper seluruh masyarakat menggunakannya, kehadiran lampu teplok sudah mulai memudar. Hanya terdapat beberapa masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan yang masih memiliki dan menggunakan lampu teplok ditengah hadirnya lampu listrik. Di tengah kepudaran keberadaan lampu teplok tetap tidak dapat lepas oleh pagelaran wayang, di mana pada praktik ini lampu teplok sangat berperan penting pada jalannya pagelaran tersebut. Selain itu, bahkan saat ini lampu teplok juga masih digunakan oleh beberapa pedagang keliling yang menggunakan gerobak dan berjualan di malam hari karena tidak memungkinkan untuk menggunakan lampu listrik, serta dengan menggunakan lampu teplok minim energi karena hanya menggunakan bahan bakar minyak tanah, tidak perlu menggunakan lampu baterai jika pedagang ingin lebih hemat.
Saat ini, keberadaan lampu teplok selain sebagai sarana pagelaran wayang sebagai salah satu budaya Jawa, dan sebagai penerangan beberapa masyarakat di kehidupan sehari-hari. Lampu teplok saat ini merupakan salah satu benda jadul yang beberapa orang membeli barang tersebut sebagai pajangan atau hiasan di rumah bahkan si cafe cafe yang berkonsep jadul.