Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Benarkah Inggris Salahkan Indonesia Soal Banjir?

17 Februari 2014   07:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:45 331 5

Sebuah artikel dengan judul mencolok muncul di portal berita on line Bloomberg 12 Februari lalu. Judulnya: “England Floods, Blame Indonesia yang bila diterjemahkan bebas: Inggris Banjir, Salahkan Indonesia. Artikel pendek yang ditulis oleh Marc Champion, anggota redaksi Bloomberg View, sontak memicu tanggapan beragam netizen Indonesia.

Benarkah Inggris menyalahkan Indonesia? Marc Champion dalam artikelnya itu meluruskan bahwa ini hanya kesalahan penafsiran dari laporan Badan Meteorologi Inggris (Met Office) yang sebenarnya hanya melaporkan hasil analisis meteorologi kejadian badai dan banjir yang melanda Inggris beberapa waktu terakhir ini.

Daripada ikut-ikutan berkomentar tanpa memahami duduk masalahnya, saya mengunduh seluruh laporan dari Met Office tersebut, hal yang biasa saya lakukan, baik selama belajar manajemen lingkungan di Inggris Raya maupun setelah kembali ke tanah air. Laporannya cukup komprehensif.

Dari laporan setebal 27 halaman tersebut, memang beberapa kali menyebut Indonesia, tetapi bukan dalam konteks menyalahkan melainkan menjelaskan mengenai fenomena banjir di Indonesia yang terjadi tahun ini yang diakui memang berkepanjangan. Sangat berbeda dengan pola hujan dan banjir yang terjadi tahun-tahun sebelumnya. Seharusnya bila laporan ini dibaca dan dipahami oleh pakar Indonesia, dapat sekaligus menjelaskan secara ilmiah fenomena curah hujan dan banjir yang terjadi, bukannya menyalahkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang bahkan dituding gagal dengan sejumlah proyek antisipasi banjir yang dilakukannya.

Mengacu pada penjelasan ilmiah laporan tersebut, Marc mencoba menjelaskan dengan bahasa sederhana sebagai fenomena kepakan sayap kupu-kupu. Sebagaimana pepatah yang mengatakan bahwa kepak sayap kupu di suatu pelosok di Indonesia anginnya bisa terasa hingga ke Amerika. Artinya tidak ada satu tempatpun di dunia ini yang tidak saling terhubung dan saling mempengaruhi, selama kita mengakui bahwa kita hidup di atas planet yang sama yang bernama planet Geos (bumi).

Pepatah ini semakin populer ketika masyarakat dunia dikejutkan oleh fenomena pemanasan global (global warming) beberapa dasawarsa terakhir yang kemudian berhasil dibuktikan telah merubah pola iklim makro di seluruh permukaan bumi ini (global climate change).

Berkurangnya luasan hutan di dunia, terutama hutan tropis, baik karena penebangan, konversi maupun kebakaran, ternyata telah mengurangi kemampuan bumi untuk mengolah kembali karbon dioksida (CO2) menjadi Oksigen (O2). Akibat banyaknya CO2 yang berkeliaran di atmosfir membentuk semacam lapisan yang mirip atap rumah kaca (green house) yang membuat panas matahari yang datang ke bumi tidak sepenuhnya lepas kembali ke atmosfir melainkan memantul-mantul di permukaan bumi pada ketinggian yang rendah sehingga suhu bumi makin panas. Dan konon panas itu merambat hingga ke kutub Utara dan Selatan yang menyebabkan es di Antartika dan Greenland mencair lebih cepat dan lebih banyak.

Bahkan menurut laporan Met Office tersebut, akibat intensitas hujan yang tinggi dan lama yang terjadi di Indonesia dan sistem tekanan udara di Pasifik membelokkan arus udara berkecepatan tinggi (jet stream) ke arah utara, yang mana memaksa suhu dingin kutub ke arah Selatan dan membawa salju serta suhu dingin ke Amerika Serikat. Karena udara kutub menyebar ke Utara dan Timur Atlantik, bertabrakan dengan udara tropis yang hangat di Pasifik sehingga terjadi gradasi suhu yang berakibat pada terjadinya badai.

Tidak mengherankan bila negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Kanada dan lembaga-lembaga internasional seakan berlomba untuk membiayai berbagai program penghijauan dan pelestarian lingkungan bagi negara-negara tropis, termasuk Indonesia. Karena bila kerusakan lingkungan terus terjadi dan meningkat di negara-negara tropis, terutama negara besar seperti Indonesia, pada akhirnya akan membawa bencana bagi wilayah lainnya di planet ini, dan Indonesia bahkan bisa mengalami dampak ganda.

Masyarakat Inggris sedikitpun tidak menyalahkan Indonesia, jelas Marc dalam tulisannya. Mereka menyalahkan pemerintahnya yang dinilai terlambat melakukan antisipasi, misalnya pengerukan pada sejumlah sungai yang berada pada kawasan yang lebih rendah dari permukaan laut.

Namun rakyat Inggris patut bersyukur bahwa dengan kejadian banjir akibat curah hujan yang terbesar dalam dua abad terakhir ini, tidak terlalu banyak membawa kerusakan. Kejadian yang sama dengan badai yang lebih singkat yang terjadi tahun 1953, menewaskan sedikitnya 307 jiwa, merendam 240.000 properti dan menenggelamkan 160.000 hektar lahan pertanian.

Namun badai dan banjir terakhir ini tidak membawa satupun korban jiwa, sementara properti yang terendam dilaporkan hanya 1.400 properti dan lahan pertanian yang terendam hanya 1.700 ha.

Baik Inggris maupun Indonesia memang harus belajar dan mengambil hikmah dari bencana kali ini, selain harus waspada, juga yang terpenting adalah menyadari bahwa iklim secara global memang telah berubah dan ke depannya dibutuhkan kerjasama yang lebih baik untuk membuat kualitas lingkungan hidup di planet ini lebih baik agar bencana tidak terlalu sering datangnya.

--------- Jakarta 16/02/14 – Ben369 ----------

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun