Duduk di ruangan meet-up room Kompasiana di lantai 6 yang sejuk, berdepanan dengan Pepih Nugraha yang akrab disapa kang Pepih, di kanan saya ada Iskandar Zulkarnain yang dekat disapa mas Isjet, di kiri saya ada Imam, Kompasianer sedang mengambil S2 di UNJ, di depan saya ada Isah, Kompasianer dari Kediri berdampingan dengan T. Budhiaarty – Kompasianer yang juga produser Program Journalist dari Qmedia. Suasana ini tak urung mengingatkan saya dengan suasana rapat pengelola Majalah Dinding (Mading) saat masih di SMA dulu.
Guru bahasa Indonesia dan Kepala Perpustakaan Sekolah kami, ibu Suantin Densu adalah penanggungjawab Mading kami. Ya, tentu saja harus ada dari pihak sekolah yang memegang kewenangan mengatur mana tulisan yang layak dipajang di Mading dan mana yang tidak boleh.
Begitulah imajinasi di benak saya mungkin tentang tugas kang Pepih di awal-awal Kompasiana hadir di dunia maya sebagai blog sosial pada Mei 2008. Seperti di Mading sekolah kami, tentu saja kang Pepih tidak sendiri, ada tim Teknologi Informasi (IT team) yang membantunya, seperti tugas saya waktu itu, membuat kliping, menyortir puisi teman-teman sebelum saya serahkan ke penanggungjawab isi Mading.
Sebagai bayi yang baru lahir, saya yakin kang Pepih selaku pengasuh mengimpikan bayi asuhannya yang bernama Kompasiana dapat tumbuh menjadi anak yang sehat, membanggakan orangtua dan berguna bagi nusa dan bangsa, saya lagi-lagi mencoba membaca imajinasi kang Pepih dengan telepati lintas zaman saat Kompasiana masih berupa blog sosial.
Siapakah Orangtua Kompasiana?
Kalau kang Pepih hanya selaku pengasuh, siapakah gerangan orang tua kandung Kompasiana ini? Kalau ini sejak awal saya tahu dari kawan saya. Ia bekerja kepada orangtua Kompasiana ketika kami sama-sama move on dari reporter koran daerah ke karir lanjutan. Saya memilih lanjut sebagai pegawai negeri sipil (PNS), dia memilih hijrah ke Jakarta dan bekerja sebagai jurnalis di Harian Kompas. Pernah suatu ketika saya mendengar khabar dari kawan yang lain kalau dia aktif di blog komunitas besutan Kompas. Terus terang saya tidak tahu itu ‘mahluk’ macam apa, ternyata itulah yang namanya Kompasiana.
Saya baru tahu kalau dia ternyata salah satu dari sekian Kompasiner perintis di Kompasiana. Saat di acara nangkring kemarin saya mendapatkan sedekah buku yang luar biasa dari kang Pepih, judulnya “Kompasiana, Etalase Warga Biasa”. Saya melihat ada daftar nama Kompasianer perintis yang menjadi anggota di awal-awal hadirnya Kompasiana, saya menemukan nama kawan saya, Andi Suruji. Saya juga menemukan nama Jack Sutopo, teman Kompasiana yang menyebut dirinya ‘mantan tukang becak’ tapi tulisannya aduhai elok. Juga ada Kompasianer yang dituakan di Kompasiana, Tjiptadinata Effendy, Ekonom yang tulisannya singkat dan to the point, Faisal Basri, dan sejumlah kompasianer lainnya yang sampai hari ini masih produktif menulis.
Harian Kompas, ya harian Kompas itulah ayah dari Kompasiana. Kalau ibunya, saya cuma menduga-duga, mungkin namanya Gramedia karena saya melihat namanya tertulis berdampingan di depan gedung megah Jalan Palmerah Barat tempat kami nangkring: Gedung Kompas-Gramedia.
Koran harian Kompas yang kini sudah berusia 49 tahun. Koran yang telah membesarkan kang Pepih yang telah bergabung disana sejak 24 tahun lalu. Koran yang sudah saya akrabi sebagai pembaca semasa masih di Sekolah Dasar. Koran yang menjadi rujukan industri koran di negeri ini, impian para jurnalis untuk bisa bergabung di dalamnya. Koran ini juga menjadi kontributor materi kliping di Mading sekolah saya di SMA.
Jadi saat kang Pepih berkesempatan bicara sekitar tujuh menit, yang disebutnya Kultum, pada acara Nangkring Bareng Kompasiana pada Jum’at (4/04) kemarin, saya bisa meresapi obsesinya yang terlontar dalam suatu pernyataan pendek, bahwa ia mengharapkan Kompasiana ini dapat ‘berkembang dan terus mengembangkan diri’.
Pernyataan singkat yang ‘menyatakan diri dan mengingatkan’ semua pemangku kepentingan Kompasiana, ya pengelola, kompasianer, pembaca, dan tak kalah pentingnya tentunya adalah pasangan orangtua yang berbahagia Kompas-Gramedia.
Tatkala kang Pepih menyebut Kompas, meski kata-katanya lembut lazimnya pria dari bumi Tatar Parahiyangan, namun terkesan tegas dan lugas bahwa siapapun yang berkiprah di Kompasiana harusmenyadari “Majalah Dinding” Warga ini tidak berdiri sendiri. Ia bagian dari nama Kompas yang dikenal masyarakat sebagai ‘media yang santun, memantangkan diri menyerang apalagi mengadu domba dan menyebar berita yang sepihak’.
Berdasar pada pengalaman, kata kang Pepih, bahwa Jurnalisme yang akan bertahan adalah jurnalisme yang baik, yang mengedepankan kualitas isi atau content, yang memberi manfaat bagi sebanyak mungkin pembacanya. “Content is a king,” ujar kang Pepih seakan bermaksud mengingatkan bahwa para Kompasianer harus membantu pengelola senantiasa menjaga kualitas content Kompasiana agar bisa tetap tumbuh dan berkembang sebagai media berbagi dan menghubungkan (share and connecting) diantara sesama warga.