Pernahkah sahabat kompasiana merasa seperti ada bagian dari dirimu yang hilang? Rasanya seperti sesuatu yang selalu menemani, tiba-tiba menghilang begitu saja. Bukan karena bosan, bukan karena lupa, tapi karena keadaan yang memaksa. Itulah yang saya rasakan ketika dua hari tidak menulis di Kompasiana.
Sebelum berpikir, "Ah, dua hari saja, kok lebay?" izinkan saya bercerita. Dua hari itu terasa seperti satu musim penuh kekosongan. Apalagi ketika alasan utamanya adalah anak sakit. Anak adalah prioritas, tentu saja. Tapi saat semua perhatian tercurah ke sana, ada ruang kecil di hati yang tetap merindukan aktivitas menulis.
Hari Pertama: Kekhawatiran Mengambil Alih
Pagi itu, anak saya demam. Biasanya, saya memulai hari dengan membuka dashboard Kompasiana dari hp untuk membaca atau menulis. Tapi hari itu, rutinitas berubah. Termometer menunjukkan angka yang tidak biasa, dan pikiran saya langsung penuh dengan pertanyaan: "Kenapa tiba-tiba demam? Apakah ini serius? Perlu ke dokter atau cukup dengan obat penurun panas?"
Rutinitas menulis pun terhenti. Saya sibuk mencari cara untuk membuat anak nyaman. Sepanjang hari, saya mendampingi anak yang rewel, memantau suhu tubuh, dan mencoba memberi makan meskipun nafsu makannya hilang.
Namun di sela-sela kesibukan itu, otak saya tetap bekerja. Saya berpikir tentang ide-ide yang ingin saya tulis. Ada draft yang belum selesai, ada komentar yang ingin saya balas, dan ada cerita yang ingin saya bagikan. Tapi, semua itu hanya bisa tersimpan di kepala.
Hari Kedua: Rindu yang Menyeruak
Hari kedua, kondisi anak mulai membaik. Demamnya turun, tapi energi saya sudah terkuras. Meski begitu, hati kecil saya mulai memanggil: "Kapan menulis lagi?" Menulis di Kompasiana bagi saya bukan hanya soal berbagi cerita atau informasi. Ini adalah cara untuk menjaga kewarasan, untuk berbicara dengan dunia tanpa harus keluar rumah.
Namun, setiap kali saya ingin membuka hp, ada suara kecil yang berkata, "Nanti dulu, pastikan anak benar-benar pulih." Saya pun kembali duduk di samping anak, mendongeng, dan memijat kecil tangannya agar ia merasa nyaman.
Ketika malam tiba, saya akhirnya membuka hp untuk mulai menulis. Tapi, anehnya, saya tidak langsung menulis. Saya hanya membuka halaman Kompasiana, membaca beberapa tulisan, dan merasa seperti bertemu sahabat lama. Ada rasa hangat yang kembali, meski hanya sebagai pembaca.
Apa yang Hilang dalam Dua Hari Itu?
Dua hari tanpa menulis di Kompasiana membuat saya sadar betapa pentingnya platform ini dalam hidup saya. Bagi sebagian orang, menulis mungkin hanya hobi. Tapi bagi saya, menulis adalah kebutuhan. Ia seperti napas kedua, seperti ruang untuk merenung dan berbicara dengan diri sendiri.
Saat tidak menulis, rasanya seperti kehilangan kesempatan untuk merapikan pikiran. Ide-ide yang biasanya tertuang menjadi tulisan, hanya menumpuk di kepala, seperti tamu yang tidak diundang tapi tidak mau pergi.
Selain itu, saya merasa kehilangan interaksi. Kompasiana bukan sekadar tempat menulis; ini adalah komunitas. Ada pembaca yang selalu setia memberikan komentar, ada teman-teman penulis lain yang menginspirasi dengan cerita mereka. Dua hari tanpa mereka, rasanya seperti melewatkan obrolan seru dengan sahabat.
Pelajaran dari Dua Hari Itu
Dari pengalaman ini, saya belajar beberapa hal:
* Prioritas Itu Penting
Ketika anak sakit, jelas keluarga adalah prioritas utama. Tapi itu tidak berarti kita harus mengabaikan kebutuhan diri sendiri sepenuhnya. Bahkan di tengah kesibukan merawat, saya tetap bisa mencuri waktu untuk membaca atau sekadar menuliskan satu-dua kalimat di catatan pribadi.
* Menulis Adalah Terapi
Saya semakin yakin bahwa menulis adalah terapi. Saat akhirnya saya kembali menulis setelah dua hari, rasanya seperti melepas beban. Semua keresahan, rasa lelah, dan kegelisahan seolah mengalir keluar bersama kata-kata.
* Komunitas Itu Berharga
Kompasiana adalah rumah kedua. Ketika saya tidak aktif, saya merindukan interaksi, komentar, dan bahkan kritik dari pembaca. Komunitas ini adalah salah satu alasan saya tetap semangat menulis.
Kembali dengan Semangat Baru
Kini, anak saya sudah pulih, dan saya kembali menulis. Dua hari tanpa Kompasiana membuat saya lebih menghargai setiap momen di sini. Saya menyadari bahwa menulis bukan hanya soal berbagi, tapi juga soal menemukan diri sendiri.
Jadi, bagi kamu yang mungkin sedang merasa kehilangan semangat atau terhalang oleh keadaan, ingatlah bahwa menulis selalu bisa menjadi tempat untuk kembali. Bahkan jika hanya satu paragraf, itu sudah cukup untuk mengingatkan diri bahwa kita masih ada, masih bisa berbicara, dan masih bisa berbagi.
Bagaimana dengan kamu? Apa yang kamu rasakan ketika berhenti menulis untuk sementara waktu?