"Bu Minah, itu jangan dilipat dulu, dicek dulu!" suara Pak RT menggelegar di bawah tenda TPS yang mulai gerah karena matahari siang.
Bu Minah, perempuan sepuh yang jarang keluar rumah kecuali untuk belanja dan yasinan, mengernyitkan dahi. Tangannya yang keriput tetap saja melipat kertas suara itu dengan rapi. "Dicek gimana, Pak RT? Tulisan kecilnya kaya semut begini, mana ibu bisa baca?"
Pak RT, yang sejak pagi sibuk memandu jalannya pemungutan suara, menghela napas panjang. "Ya ampun, Bu Minah. Itu kandidatnya ada lima, kan? Lihat fotonya aja, terus dicoblos yang paling cocok di hati."
Bu Minah mengangguk-angguk sambil mengeluarkan kacamata yang sudah retak salah satu lensanya. "Bentar, bentar. Mana fotonya? Ini siapa, kok mukanya mirip tukang sayur di pasar?"
"Bu Minah, itu nomor dua," sela Ibu RT sambil nyengir dari meja saksi.
"Tukang sayur juga calon pemimpin, Bu. Jangan meremehkan," kata salah satu anggota KPPS, Mas Yoga, yang sejak pagi sibuk dengan tinta ungu di jari warga.
Bu Minah tertawa kecil, lalu masuk ke bilik suara. Terdengar bunyi bolpoin klik-klik, lalu hening beberapa detik sebelum ia keluar dengan senyum puas.
"Sudah dicoblos yang paling ganteng," katanya riang, menyerahkan kertas suara yang sudah dilipat.
Pak RT memandangnya ragu. "Yakin, Bu Minah? Yang paling ganteng?"
"Iya, lah. Hidup ini udah susah, pemimpin harus enak dilihat biar hati adem," jawabnya sambil berlalu.
Dua jam kemudian, penghitungan suara dimulai. TPS 07 yang biasanya damai berubah menjadi pusat perhatian ketika hasilnya diumumkan.
"Nomor satu: 5 suara. Nomor dua: 4 suara. Nomor tiga..." suara Mas Yoga tiba-tiba gemetar, "...25 suara."
Pak RT langsung berdiri. "Apaaa? Nomor tiga? Yang itu, kan, si Pak Hasan? Bukannya dia nggak ikut kampanye karena sibuk pelihara ayam?"
Keributan langsung pecah. Warga saling berbisik, mengerutkan kening, dan sebagian tertawa kecil.
"Pak Hasan itu siapa, sih?" tanya Ibu Tati yang duduk di bangku belakang.
"Yang rumahnya di pojokan, depan kandang ayam itu, loh," jawab Pak Rahmat sambil berbisik.
"Oh, yang mukanya kayak artis sinetron zaman dulu?"
"Katanya, Bu Minah yang mulai. Dia coblos Pak Hasan karena paling ganteng," celutuk Mas Yoga.
Pak RT memijit pelipisnya. "Ini pasti salah paham. Mana mungkin warga satu TPS kompak milih Pak Hasan cuma gara-gara ganteng?"
Di rumahnya yang sederhana, Pak Hasan sedang menabur jagung untuk ayam-ayamnya ketika segerombolan warga datang membawa berita heboh.
"Selamat, Pak Hasan! Anda menang di TPS 07!" teriak Bu Minah dari jauh sambil melambaikan tangannya.
Pak Hasan mengangkat alis. "Menang apa, Bu Minah? Saya cuma daftar jadi saksi cadangan, itu pun batal karena ayam saya bertelur."
"Ya menang pemilihan, lah. Lihat ini, hasilnya," Bu Minah menyerahkan secarik kertas catatan hasil suara.
Pak Hasan membaca dengan bingung. "Tunggu. Ini pasti ada yang salah. Saya nggak pernah daftar jadi calon kepala desa."
"Lho, tapi di kertas suara ada nama dan foto Bapak," sela Pak RT yang tampak masih setengah percaya.
Pak Hasan terdiam, lalu menggaruk kepala. "Oh, itu foto buat lomba bapak-bapak sedesa minggu lalu. Kayaknya salah kirim ke panitia pemilu."
Warga langsung tertawa terbahak-bahak. Bahkan Pak RT yang biasanya serius sampai terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.
Sejak hari itu, TPS 07 dikenal sebagai TPS paling heboh di kecamatan. Nama Pak Hasan menjadi topik hangat di warung kopi dan pasar pagi. Meski ia tidak pernah secara resmi menjadi kandidat, warga tetap mengenangnya sebagai calon kepala desa pertama yang menang karena "faktor kegantengan."
Di akhir cerita, Bu Minah hanya mengangkat bahu. "Ya, siapa suruh mukanya fotogenik. Lagian hidup butuh hiburan, kan?"
Dan begitulah, pemilihan tahun itu menjadi pemilu paling berwarna di TPS 07, dengan pelajaran berharga: pastikan kertas suara dan fotonya benar sebelum dicetak.
F. Dafrosa