Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Kereta Terakhir Menuju Jodoh

20 Oktober 2024   01:45 Diperbarui: 20 Oktober 2024   01:48 35 5

Kereta api malam dari Bandung menuju Yogyakarta selalu penuh. Bagi Lintang, ini adalah perjalanan yang tak terlalu istimewa---atau setidaknya begitu pikirnya. Di stasiun, dia bergegas mencari tempat duduk, berharap bisa memejamkan mata sepanjang perjalanan.

"Nomor kursinya sebelah mana, Mbak?" tanya petugas stasiun.

"18A, Pak. Dekat jendela," jawab Lintang dengan cepat.

Lintang duduk di kursinya, melepaskan jaket, dan bersiap untuk tidur. Tapi, tidak lama kemudian seorang lelaki muda duduk di kursi sebelahnya. Dia tampak ramah dan berusaha membuka percakapan.

"Permisi, Mbak. Maaf ganggu. Nama saya Galih," sapanya dengan senyum lebar.

Lintang hanya menoleh sejenak dan mengangguk. "Lintang."

Setelah itu, dia kembali fokus ke teleponnya. Namun, Galih tampak tak menyerah. Ia mulai berbicara soal perjalanan, cuaca, dan hal-hal kecil lainnya.

"Saya baru pertama kali naik kereta malam. Biasanya naik pesawat, tapi kali ini pengen pengalaman baru," kata Galih dengan semangat. 

Lintang melirik ke arah Galih. "Oh ya? Saya malah sering naik kereta. Kereta malam itu biasanya enak buat tidur, tenang dan nyaman."

"Bener juga sih, Mbak. Tapi, kayaknya malam ini lebih menarik karena ada yang nemenin ngobrol," canda Galih sambil tersenyum. 

Lintang ingin tersenyum tapi menahan diri. Dia sudah sering bertemu orang asing yang mencoba memulai percakapan di perjalanan seperti ini. Namun, ada sesuatu dari Galih yang berbeda, seolah dia tidak hanya sekadar basa-basi.

Malam semakin larut, dan perlahan percakapan mereka berubah menjadi lebih dalam. Lintang mulai menceritakan alasannya ke Yogyakarta. Dia akan menghadiri pernikahan sahabatnya, sebuah momen yang seharusnya menyenangkan, tetapi ia merasa agak tertekan karena statusnya yang masih sendiri.

"Kadang capek juga sih kalau setiap datang ke acara pernikahan teman ditanyain, 'Kapan nyusul?' Padahal kan belum tentu jodoh datang secepat itu," kata Lintang, mencoba berbicara ringan, meski terdengar ada sedikit beban di balik kalimatnya.

Galih tertawa kecil. "Saya juga begitu. Kalau ke acara keluarga, pasti selalu ditanyain hal yang sama. Kayaknya, orang tua kita suka lupa kalau jodoh itu nggak bisa dipaksain."

Lintang terkejut mendengar jawaban itu. "Lah, saya kira kamu udah punya pacar."

Galih menggeleng. "Belum ada yang pas. Mungkin karena saya terlalu pilih-pilih, atau... ya, jodohnya belum ketemu aja."

Malam terus berlanjut, dan percakapan mereka mengalir tanpa hambatan. Galih bercerita tentang pekerjaannya sebagai desainer grafis dan kesibukannya di Bandung, sementara Lintang berbagi kisah tentang karirnya sebagai editor di sebuah penerbit kecil. Mereka tertawa, bercanda, dan perlahan, jarak di antara mereka terasa semakin dekat.

Saat kereta mendekati Purwokerto, suasana menjadi lebih tenang. Lampu-lampu kota terlihat berkelip dari kejauhan, dan Lintang merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Dia yang awalnya acuh tak acuh, kini merasakan kenyamanan yang jarang ditemukan ketika berbicara dengan orang asing.

"Udah jam dua pagi," ujar Lintang melihat jam di ponselnya.

Galih menguap kecil. "Cepat juga ya waktu berlalu kalau ngobrol asyik gini."

Lintang tersenyum. "Bener juga."

Mereka berdua kembali hening. Namun, di balik keheningan itu, Lintang mulai merasakan sesuatu yang tak biasa---seperti ada dorongan dari dalam hati yang menyuruhnya untuk lebih mengenal Galih. Mungkin ini hanya ilusi karena kelelahan, pikirnya.

Tiba-tiba, suara pengumuman dari pengeras suara kereta terdengar. "Stasiun berikutnya: Kutoarjo."

Lintang mengerutkan kening. "Eh, udah mau sampai Kutoarjo. Sebentar lagi Jogja."

Galih hanya mengangguk. "Cepet banget ya. Padahal, kayaknya baru sebentar."

Ketika kereta mulai melambat, Lintang merasa ada hal yang belum tuntas. Dia ingin bertanya lebih banyak tentang Galih, tapi tak ingin terlihat terlalu tertarik.

"Kamu turun di mana?" tanya Lintang akhirnya.

"Di Lempuyangan, Jogja. Kalau kamu?"

"Sama, Lempuyangan juga."

Galih tersenyum. "Wah, kebetulan. Mungkin kita bisa bareng ke kota nanti."

Lintang merasa ada sesuatu yang aneh dalam percakapan ini. Seolah-olah ada petunjuk bahwa ini bukan sekadar pertemuan biasa. Tetapi, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, kereta berhenti di Kutoarjo dan beberapa penumpang mulai turun.

"Saya keluar sebentar mau beli minum di stasiun," kata Galih. "Mau nitip sesuatu?"

Lintang menggeleng. "Nggak, makasih."

Galih turun dari kereta, meninggalkan Lintang sendirian. Ketika Galih sudah tak terlihat, Lintang mengeluarkan ponselnya dan membuka pesan dari sahabatnya yang akan menikah di Yogyakarta.

_Tunggu dulu..._

Lintang melihat pesan tersebut dengan mata terbelalak. _'Pasangan yang akan dikenalkan padamu nanti orang Bandung, desainer grafis, cowok yang asyik banget diajak ngobrol. Aku yakin kalian cocok.'_

Pesan itu dikirim beberapa hari yang lalu, tapi Lintang baru menyadarinya sekarang. **Galih!**

Lintang mendadak merasa kaget dan gugup. Galih adalah lelaki yang dijodohkan oleh sahabatnya! Lintang merasa konyol karena tidak menyadari hal ini sejak awal. Namun, di sisi lain, ia merasa senang karena pertemuan mereka ternyata bukan kebetulan belaka.

Saat Galih kembali ke kursinya, membawa sebotol air mineral, Lintang mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.

"Minumnya banyak banget," canda Lintang.

Galih tertawa. "Biar nggak dehidrasi sampai Jogja."

Lintang mencoba bersikap tenang, tapi pikirannya masih berputar tentang pesan sahabatnya tadi. Apakah Galih tahu? Atau mungkin ini semua hanya kebetulan yang terlalu sempurna?

Ketika kereta mulai bergerak lagi, suasana antara mereka terasa sedikit berbeda. Lintang merasa ada magnet yang menariknya semakin dekat ke Galih, tetapi dia masih ragu untuk mengungkapkan apa yang baru saja dia temukan.

Hingga akhirnya, mereka tiba di Stasiun Lempuyangan. Penumpang mulai turun, dan Lintang serta Galih bergegas mengambil tas mereka.

"Kamu ada jemputan?" tanya Galih.

Lintang menggeleng. "Nggak, tapi sahabatku udah nunggu di hotel."

Galih tersenyum. "Kebetulan, aku juga mau ke arah sana. Bareng aja, ya?"

Lintang hanya mengangguk. Mereka berjalan keluar stasiun bersama, dan saat keluar dari kereta, Lintang merasakan udara malam Yogyakarta yang sejuk menyambutnya. Namun, sebelum Lintang sempat berbicara, Galih tiba-tiba berhenti.

"Ada yang mau aku bilang," kata Galih pelan.

Lintang menahan napas. "Apa?"

"Sebenarnya... aku kenal sahabatmu. Dia yang bilang aku akan ketemu kamu di kereta ini. Tapi aku nggak mau bilang dari awal karena pengen kenal kamu secara alami," kata Galih sambil tersenyum kecil.

Lintang terdiam, terkejut, tapi juga merasa lega.

"Jadi kamu udah tahu dari tadi?" tanya Lintang sambil tertawa kecil.

Galih mengangguk. "Iya, tapi aku senang kita ketemu tanpa perlu ada ekspektasi. Rasanya lebih alami."

Lintang tertawa. "Aku juga baru sadar tadi waktu kamu turun."

"Jadi... gimana?" tanya Galih sambil menggaruk kepalanya, tampak sedikit gugup.

Lintang tersenyum lembut. "Mungkin kita bisa mulai dengan secangkir kopi di Jogja besok?"

Galih tersenyum lebar. "Setuju."

Dan malam itu, di stasiun yang penuh cerita, mereka menemukan awal yang baru, tanpa paksaan dan tanpa rencana. 

Jodoh memang suka datang dari arah yang nggak terduga, ya," bisik Galih, mengakhiri malam dengan senyum hangat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun