Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Eksklusi Sosial di Kalangan Guru: Perundungan Terselubung dalam Bentuk Pengucilan

19 Oktober 2024   09:45 Diperbarui: 19 Oktober 2024   09:49 186 14

Perundungan di lingkungan kerja sering kali diasosiasikan dengan tindakan verbal seperti celaan, hinaan, atau komentar kasar yang terbuka. Namun, ada bentuk perundungan lain yang lebih halus dan sulit dikenali, yakni pengucilan atau eksklusi sosial. Di kalangan guru, pengucilan bisa menjadi masalah serius yang sering kali tidak dianggap sebagai bentuk perundungan, padahal dampaknya terhadap kesejahteraan psikologis dan profesional seseorang sama merusaknya. 

Pengucilan: Perundungan yang Terselubung

Perundungan tidak melulu soal kekerasan verbal atau fisik; pengucilan atau eksklusi sosial juga termasuk bentuk perundungan. Dalam lingkungan sekolah, pengucilan bisa terjadi saat seorang guru tidak dilibatkan dalam kegiatan profesional atau sosial, baik secara eksplisit maupun implisit. Misalnya, ada guru yang sengaja tidak diajak untuk berpartisipasi dalam rapat-rapat penting, diskusi akademik, atau kegiatan sosial sekolah. Bisa juga terjadi ketika kolega sengaja mengabaikan usulan dan pendapat seorang guru dalam rapat, atau tidak memberikan dukungan yang sama seperti yang diberikan kepada guru lainnya.

Eksklusi sosial ini sering kali terjadi secara terselubung dan dianggap sebagai hal yang sepele. Banyak pihak melihatnya sebagai bentuk dinamika kelompok yang wajar atau sekadar perbedaan karakter antarguru. Padahal, pengucilan ini bisa merusak kepercayaan diri, menghambat karier, dan menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat.

Data tentang Perundungan di Tempat Kerja

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Workplace Bullying Institute (WBI) pada tahun 2021, sekitar 30% karyawan di berbagai bidang pernah mengalami perundungan di tempat kerja, dengan 19% dari mereka mengaku menjadi korban pengucilan sosial. Sementara itu, survei yang dilakukan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa hampir 25% guru di seluruh dunia pernah merasakan bentuk pengucilan di tempat kerja, baik dari kolega maupun atasan. Data ini menggambarkan betapa umum dan seriusnya permasalahan pengucilan di tempat kerja, termasuk di lingkungan pendidikan.

Bentuk-Bentuk Eksklusi Sosial di Sekolah

Pengucilan di tempat kerja bagi guru bisa beragam bentuknya. Berikut beberapa bentuk pengucilan yang sering ditemui:

1. Tidak Diikutsertakan dalam Kegiatan Profesional
Seorang guru bisa saja tidak dilibatkan dalam rapat penting atau diskusi akademik yang berkaitan dengan program sekolah. Ini bisa membuat guru merasa diabaikan dan tidak dihargai kontribusinya.
   
2. Diabaikan dalam Interaksi Sosial 
Dalam lingkungan sekolah, ada kalanya guru tidak dilibatkan dalam percakapan informal atau kegiatan sosial yang dilakukan oleh kelompok guru lain. Ini bisa menciptakan rasa keterasingan, terutama jika hal tersebut terjadi secara berulang.

3. Marginalisasi dalam Pengambilan Keputusan
Seorang guru yang kerap diabaikan pendapatnya dalam rapat atau diskusi profesional juga bisa merasakan bentuk pengucilan. Usulan atau ide-idenya tidak mendapat perhatian yang layak, seolah-olah suaranya tidak penting.

4. Diskriminasi Informasi
Pengucilan bisa juga terjadi dalam bentuk diskriminasi akses informasi, misalnya tidak diberi tahu tentang perubahan penting atau keputusan strategis yang diambil oleh manajemen sekolah, sehingga menghambat guru tersebut dalam menjalankan tugasnya dengan optimal.

Dampak Psikologis dan Profesional

Eksklusi sosial dapat menimbulkan dampak yang sangat signifikan terhadap kondisi psikologis seorang guru. Rasa tidak dihargai, diabaikan, atau terasing dari lingkungan kerja dapat memicu stres, kecemasan, bahkan depresi. Seorang guru yang merasa terasingkan dari kolega dan lingkungan kerjanya akan kehilangan motivasi dan semangat dalam menjalankan tugas. Ini bisa berdampak pada kualitas pengajaran dan interaksi dengan siswa.

Penelitian oleh American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa pekerja yang merasa terpinggirkan atau diabaikan di tempat kerja cenderung mengalami penurunan produktivitas sebesar 30%, dan 25% di antaranya mengalami penurunan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. Di kalangan guru, dampaknya bisa lebih parah mengingat tanggung jawab mereka dalam mendidik siswa dan membangun lingkungan belajar yang kondusif.

Eksklusi sosial juga dapat menghambat perkembangan karier seorang guru. Guru yang tidak dilibatkan dalam kegiatan profesional dan pengambilan keputusan penting cenderung kehilangan peluang untuk berkembang dan berprestasi. Hal ini bisa mempengaruhi kesempatan mereka untuk mendapatkan promosi, penghargaan, atau pengakuan profesional.

Mengapa Eksklusi Sering Diabaikan?

Salah satu alasan mengapa eksklusi sosial sering kali diabaikan sebagai bentuk perundungan adalah karena sifatnya yang terselubung dan tidak langsung. Banyak orang, termasuk para pelaku dan korban, tidak menyadari bahwa pengucilan adalah bentuk perundungan. Bahkan, sering kali hal ini dianggap sebagai perbedaan kepribadian atau ketidakcocokan antarindividu.

Di lingkungan sekolah, sering kali ada anggapan bahwa setiap guru harus mampu menyesuaikan diri dengan dinamika kelompok yang ada. Jika seorang guru merasa terpinggirkan, itu dianggap sebagai kesalahannya sendiri karena tidak mampu beradaptasi. Padahal, sikap tersebut justru memperburuk situasi dan memperkuat perilaku eksklusi yang terjadi.

Kondisi ini diperparah dengan minimnya kesadaran mengenai dampak negatif dari eksklusi sosial di tempat kerja. Sekolah sebagai institusi sering kali lebih fokus pada masalah-masalah perundungan yang bersifat fisik atau verbal, sementara pengucilan yang bersifat psikologis dan sosial dianggap sebagai masalah yang kurang penting.

Solusi: Menciptakan Lingkungan Kerja yang Inklusif

Menciptakan lingkungan kerja yang inklusif di sekolah adalah kunci untuk mengatasi masalah pengucilan sosial di kalangan guru. Berikut beberapa langkah yang bisa diambil oleh sekolah untuk mencegah dan mengatasi eksklusi sosial:

1. Meningkatkan Kesadaran
Sekolah perlu meningkatkan kesadaran di kalangan guru dan manajemen tentang pentingnya inklusi sosial dan dampak negatif dari eksklusi. Pelatihan dan workshop tentang perundungan di tempat kerja bisa menjadi langkah awal untuk membuka mata semua pihak tentang permasalahan ini.

2. Mendorong Keterlibatan Setiap Guru
Manajemen sekolah perlu memastikan bahwa setiap guru mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam kegiatan profesional dan sosial. Pendapat dan kontribusi setiap guru harus dihargai dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.

3. Membangun Budaya Kerja yang Terbuka dan Kolaboratif
Lingkungan kerja yang inklusif harus dibangun berdasarkan kolaborasi dan komunikasi yang terbuka. Setiap guru harus merasa nyaman untuk menyampaikan pendapat dan ide tanpa takut diabaikan atau dihakimi.

4. Mengatasi Konflik Secara Efektif
Konflik antarindividu di tempat kerja adalah hal yang tidak bisa dihindari. Namun, sekolah perlu memiliki mekanisme yang efektif untuk mengatasi konflik tersebut secara adil dan terbuka, sehingga tidak terjadi pengucilan atau marginalisasi terhadap individu tertentu.

Eksklusi sosial di kalangan guru adalah bentuk perundungan terselubung yang sering kali diabaikan, meski dampaknya sangat merugikan secara psikologis dan profesional. Untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan inklusif, sekolah perlu lebih peka terhadap permasalahan ini dan mengambil langkah-langkah nyata untuk mencegahnya. Dengan menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, setiap guru akan merasa dihargai dan didukung dalam peran mereka sebagai pendidik.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun