Fenomena Toxic Positivity di Kalangan Guru
Toxic positivity adalah bentuk sikap positif yang dipaksakan dan tidak realistis, di mana seseorang diharapkan untuk selalu optimis tanpa memperhatikan emosi negatif yang wajar. Dalam konteks guru, hal ini sering terjadi karena ada anggapan bahwa guru harus selalu kuat, ceria, dan optimis demi menjaga semangat murid-murid. Sayangnya, tekanan ini dapat menciptakan lingkungan di mana emosi negatif, seperti stres, kelelahan, atau frustrasi, dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh muncul. Alhasil, banyak guru merasa tertekan untuk menyembunyikan perasaan mereka yang sebenarnya.
Sebuah survei yang dilakukan oleh American Federation of Teachers pada tahun 2022 menemukan bahwa 78% guru mengalami tingkat stres yang tinggi dalam pekerjaan mereka, dengan 55% dari mereka melaporkan kelelahan emosional yang signifikan. Di Indonesia, meskipun belum banyak data spesifik mengenai toxic positivity di kalangan guru, kita dapat melihat gejala yang serupa dari tingginya tingkat burnout di kalangan pendidik, terutama di masa pandemi. Dengan beban kerja yang semakin berat dan tuntutan untuk terus beradaptasi dengan metode pembelajaran jarak jauh, banyak guru merasa terjebak antara keinginan untuk tetap positif di mata murid dan kenyataan pahit yang mereka alami setiap hari.
Dampak Toxic Positivity Terhadap Guru
Toxic positivity memiliki dampak jangka panjang yang merugikan, baik bagi kesehatan mental guru maupun lingkungan kerja secara keseluruhan. Ketika guru dipaksa untuk menutupi perasaan negatif, mereka berisiko mengalami "burnout" lebih cepat. Burnout adalah kondisi kelelahan fisik dan mental yang disebabkan oleh stres kerja yang berkepanjangan. Burnout tidak hanya memengaruhi produktivitas kerja, tetapi juga hubungan antara guru dan murid. Guru yang lelah secara emosional cenderung kurang terlibat dalam proses pengajaran, sehingga berdampak pada kualitas pendidikan.
Selain itu, toxic positivity dapat mengisolasi guru dari rekan-rekan kerja. Ketika semua orang merasa harus berpura-pura baik-baik saja, mereka cenderung tidak berbagi masalah atau mencari dukungan. Ini memperburuk perasaan kesepian dan menghilangkan kesempatan untuk membangun solidaritas di antara sesama guru. Dalam jangka panjang, toxic positivity bisa merusak dinamika tim dan menciptakan budaya kerja yang tidak sehat.
Stoikisme sebagai Solusi: Menerima Realitas dan Menghadapinya dengan Bijak
Untuk mengatasi dampak buruk toxic positivity, para guru perlu pendekatan yang lebih realistis dalam menghadapi tantangan sehari-hari. Salah satu pendekatan yang relevan adalah stoikisme, sebuah filsafat kuno yang mengajarkan pentingnya menerima kenyataan apa adanya, fokus pada apa yang dapat kita kendalikan, dan tetap tegar menghadapi situasi sulit.
Stoikisme didasarkan pada prinsip bahwa kebahagiaan sejati tidak berasal dari kondisi eksternal, tetapi dari bagaimana kita merespons kondisi tersebut. Ini berarti, alih-alih memaksakan diri untuk selalu berpikir positif, guru dapat belajar untuk menerima situasi yang tidak ideal tanpa kehilangan keseimbangan emosional. Ketika dihadapkan pada masalah seperti kurikulum yang berubah tiba-tiba atau tekanan administratif guru yang mengadopsi sikap stoik akan berusaha fokus pada apa yang dapat mereka kendalikan (misalnya, cara mereka mengatur waktu atau berinteraksi dengan siswa), sementara menerima hal-hal yang di luar kendali mereka dengan tenang.
Salah satu konsep stoikisme yang relevan bagi guru adalah amor fati, atau "mencintai takdir." Konsep ini mengajarkan bahwa kita harus menerima segala sesuatu yang terjadi, baik atau buruk, sebagai bagian dari kehidupan. Dalam praktiknya, ini berarti guru tidak perlu memaksakan diri untuk selalu optimis ketika sesuatu berjalan salah. Sebaliknya, mereka dapat menerima tantangan dengan pikiran terbuka dan menjadikannya sebagai pelajaran hidup.
Menerapkan Stoikisme dalam Kehidupan Sehari-hari sebagai Guru
Menerapkan prinsip-prinsip stoikisme di lingkungan sekolah tidak harus sulit. Berikut adalah beberapa cara sederhana yang dapat dilakukan guru untuk mengurangi tekanan toxic positivity dan tetap autentik:
1. Refleksi Harian
Guru bisa meluangkan waktu beberapa menit setiap hari untuk refleksi pribadi. Ini bisa berupa menulis jurnal atau sekadar merenung tentang apa yang telah terjadi sepanjang hari. Dengan merenungkan situasi yang sulit dan bagaimana mereka meresponsnya, guru bisa belajar menerima kenyataan tanpa merasa harus selalu positif.
2. Menghargai Proses, Bukan Hasil
Stoikisme mengajarkan pentingnya fokus pada proses daripada hasil akhir. Bagi guru, ini berarti mengapresiasi upaya mereka dalam mengajar, meskipun hasilnya mungkin tidak selalu sesuai harapan. Daripada merasa frustrasi karena murid tidak memahami pelajaran, guru bisa fokus pada langkah-langkah kecil yang sudah mereka lakukan untuk membantu siswa.
3. Memelihara Keseimbangan Emosi
Dalam menghadapi tekanan kerja, stoikisme mendorong guru untuk menjaga keseimbangan emosi. Ketika muncul masalah, seperti murid yang sulit diatur atau konflik dengan rekan kerja, penting untuk tidak bereaksi berlebihan. Guru yang berpegang pada prinsip stoik akan menghadapi situasi tersebut dengan tenang dan berpikir sebelum bertindak.
4. Mengontrol Apa yang Bisa Dikendalikan
Stoikisme mengajarkan untuk fokus pada hal-hal yang berada dalam kendali kita. Dalam konteks mengajar, ini berarti guru tidak perlu terobsesi dengan hal-hal di luar kendali mereka, seperti kebijakan sekolah yang berubah atau tekanan dari orang tua. Sebaliknya, mereka bisa fokus pada bagaimana mereka merespons situasi tersebut dengan cara yang produktif.
Stoikisme untuk Kesehatan Mental yang Lebih Baik
Toxic positivity di kalangan guru bukanlah hal yang bisa diabaikan, karena dampaknya dapat merusak kesejahteraan mental dan kualitas pendidikan. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip stoikisme, para guru bisa belajar untuk menerima kenyataan dengan bijak, menghadapi tantangan tanpa berpura-pura, dan tetap tegar meskipun situasi tidak selalu ideal. Stoikisme membantu para guru menjadi lebih autentik, menjaga kesehatan mental, dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih mendukung serta sehat secara emosional.
Dengan pendekatan ini, guru dapat memberikan contoh yang lebih realistis kepada murid-murid mereka, bahwa