Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Cinta Tak Bersama

1 September 2024   13:04 Diperbarui: 1 September 2024   13:14 49 8
Saat hujan rintik-rintik membasahi trotoar yang sepi, Awan duduk di sebuah bangku taman. Matanya menatap kosong ke arah jalan yang biasanya ramai, tapi kini sunyi. Di tangan kirinya, secangkir kopi yang telah mendingin, dan di tangan kanannya, sebuah undangan pernikahan. Bukan undangan biasa, ini undangan yang mengikat takdir dua orang yang dulu pernah ia sebut sebagai teman baik.

"Aku nggak akan datang," bisik Awan pelan pada dirinya sendiri. Udara dingin menusuk kulitnya, tapi bukan itu yang membuatnya menggigil. Rasa perih di dadanya yang seolah menghimpit napas, lebih menyakitkan.

Beberapa bulan sebelumnya...

"Awan, kamu bakal dateng kan? Please, ini penting banget buat aku!" Suara Lintang di ujung telepon terdengar antusias, penuh dengan harapan.

Awan terdiam sejenak. "Lintang, aku nggak yakin kalau aku bisa..."

"Kenapa? Kamu sahabat aku, Wan. Kamu harus datang. Kalau kamu nggak datang, aku bakal kecewa banget," potong Lintang cepat.

Awan menarik napas panjang. Bagaimana mungkin ia bisa datang? Bagaimana mungkin ia berdiri di sana, menyaksikan perempuan yang ia cintai mengikat janji dengan lelaki lain? Lintang tidak tahu. Dia tidak pernah tahu. Awan menyimpan perasaannya rapat-rapat, terlalu takut untuk menghancurkan apa yang sudah mereka miliki.

"Aku coba ya, Tang. Aku coba," jawab Awan akhirnya, memaksakan sebuah senyuman di balik suaranya. Tapi di dalam, hatinya hancur berkeping-keping.

Enam bulan lalu...

Lintang dan Awan duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota, tertawa dan berbagi cerita seperti biasa. Di tengah obrolan mereka, Lintang tiba-tiba berkata, "Wan, aku ada kabar gembira. Bima lamar aku."

Awan terdiam. Perutnya serasa dihempas ombak besar. "Oh, serius?" Ia mencoba terdengar senang, tapi suaranya bergetar.

Lintang mengangguk penuh semangat. "Iya! Aku kaget, tapi juga bahagia banget. Kamu harus jadi saksi pernikahan kami, ya. Kamu kan sahabat terbaik aku!"

Awan tersenyum getir. "Iya, Tang. Aku pasti datang." Tapi di dalam hatinya, ia merasakan cinta yang selama ini dipendam seolah tenggelam ke dalam lautan yang dalam dan gelap.

Satu tahun lalu...

Hari itu adalah hari yang tak pernah bisa Awan lupakan. Mereka berdua duduk di tepi pantai, menikmati angin sepoi-sepoi dan deburan ombak. "Kalau suatu hari aku menikah, kamu bakal jadi orang pertama yang aku kasih tahu, Wan," kata Lintang, sambil tersenyum cerah.

Awan hanya menatap Lintang dalam diam, menahan setiap kata yang seharusnya ia ucapkan. Seharusnya ia mengutarakan perasaannya saat itu, tapi ia terlalu takut kehilangan. Maka, ia hanya tersenyum dan berkata, "Aku akan selalu ada buat kamu, Tang."

Dan kini, di bawah derasnya hujan yang mulai mengguyur, Awan tersadar. Seharusnya dia berani mengungkapkan cintanya. Tapi semuanya sudah terlambat. Cinta mereka tak akan pernah bisa bersama. Hatinya hancur, namun dia tahu, di sudut lain dunia, Lintang sedang berbahagia dengan pilihannya.

Awan berdiri, menatap undangan di tangannya untuk terakhir kali sebelum melangkah pergi, menghilang di balik rintik hujan. 

Tapi kemudian, suara telepon berbunyi. Suara Lintang terdengar cemas di seberang sana. "Awan... Aku nggak bisa menikah. Aku baru sadar... Aku mencintaimu. Selama ini, aku cuma takut kamu nggak punya perasaan yang sama. Tapi ternyata, kamu selalu di hati aku..."

Awan membeku di tempat. Hujan seolah berhenti turun di sekelilingnya, tapi hatinya masih dalam badai. Dia menutup matanya, membiarkan kata-kata Lintang bergema dalam pikirannya. Terlalu terlambat. 

'Cinta kita memang tak akan pernah bersama.'

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun