Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Pasar Kenangan

19 Agustus 2024   00:05 Diperbarui: 19 Agustus 2024   04:54 39 5
Ayu mengerutkan dahi saat melihat pesan dari neneknya, yang masuk di WhatsApp. Di foto yang dikirimkan, neneknya berdiri di depan sebuah pasar tradisional dengan papan nama "Pasar Beringharjo" yang legendaris di Yogyakarta. Neneknya memegang keranjang anyaman yang biasa dipakainya untuk berbelanja. Di foto itu, sang nenek tampak tersenyum lebar, seolah sangat bangga berdiri di sana.

*“Ayu, temani Nenek ke pasar ini ya? Besok pagi kita berangkat. Nenek kangen ke sini.”*

Ayu menghela napas panjang. Dia baru saja selesai dengan pemotretan untuk konten Instagram-nya di sebuah kafe kekinian yang baru buka di kawasan Malioboro. Kafe itu begitu instagramable, dengan dekorasi modern dan pencahayaan sempurna. Ayu bisa membayangkan betapa fotonya di sana akan langsung mendatangkan ribuan 'likes'.

Tapi pasar tradisional? Ayu bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana tempat seperti itu bisa dijadikan latar foto yang menarik. Terlalu berantakan dan sangat tidak cocok dengan estetika feed Instagram-nya.

*“Nek, Ayu sibuk banget nih. Banyak kerjaan. Lagian, pasar kayak gitu kurang bagus buat dijadiin spot foto. Ayu bisa anter Nenek ke tempat lain aja yang lebih keren, gimana?”* balas Ayu.

Tak lama, ponsel Ayu bergetar lagi. Kali ini bukan pesan teks, tapi panggilan video dari neneknya. Dengan setengah hati, Ayu menjawab panggilan itu.

“Nenek ngerti kok, kamu sibuk. Tapi, kenapa kamu bilang pasar ini kurang bagus buat foto? Kamu tahu nggak, dulu Nenek sering ke sini sama almarhum kakekmu. Di pasar ini ada banyak kenangan indah kami,” jawab neneknya dengan suara lembut tapi tegas.

Ayu terdiam. Dia ingat betul cerita tentang kakeknya yang begitu disayangi nenek. Bagaimana kakek dan nenek dulu sering berbelanja di Pasar Beringharjo, membeli jajanan tradisional, dan menikmati waktu bersama di kota yang penuh kenangan itu.

“Nek, Ayu cuma pikir, pasar itu semrawut, nggak cocok buat foto-foto yang bagus,” kilah Ayu lagi, meski di dalam hatinya mulai muncul sedikit rasa bersalah.

“Pasar ini lebih dari sekadar tempat jualan, Yu. Ini bagian dari budaya kita, bagian dari sejarah keluarga kita. Kamu nggak mau lihat, ya? Mungkin kalau kamu ke sini, kamu akan ngerti kenapa pasar ini begitu spesial buat Nenek,” ujar neneknya lagi.

***

Beberapa jam kemudian, Ayu sudah duduk di meja makan rumah neneknya, masih di Yogyakarta, tempat dia tumbuh besar. Di hadapannya, sepiring jajanan pasar yang baru dibeli neneknya di Pasar Beringharjo terhidang. Ada lemper, klepon, dan cenil yang semuanya terasa begitu akrab di lidah Ayu, seperti rasa masa kecilnya yang perlahan kembali.

“Nek, Ayu ingat dulu waktu kecil Nenek sering ajak Ayu ke pasar ini. Dulu Ayu suka banget beli jajanan pasar yang kayak gini. Tapi kenapa Ayu sekarang lupa sama rasanya ya?” tanya Ayu sambil menyuap sepotong klepon ke mulutnya.

“Nenek juga nggak tahu, Yu. Mungkin kamu terlalu sibuk sama dunia yang baru buat kamu lupa sama yang lama,” jawab neneknya sambil tersenyum, menatap cucunya dengan penuh kasih sayang.

Ayu terdiam. Dia mengingat kembali masa kecilnya. Bagaimana neneknya selalu membawanya ke Pasar Beringharjo, membelikannya jajanan yang sama seperti yang sekarang di depannya. Bagaimana mereka berdua tertawa bersama, menikmati setiap momen di pasar itu.

“Kalau kamu mau tahu, di pasar ini ada banyak spot yang bagus untuk foto, lho. Banyak turis yang datang ke sini bukan cuma buat belanja, tapi juga buat foto-foto. Kamu nggak mau coba?” tanya neneknya, mencoba meyakinkan Ayu.

Ayu terdiam sejenak, mempertimbangkan tawaran neneknya. Mungkin, pikirnya, tidak ada salahnya mencoba. Setidaknya, dia bisa memberi kesempatan pada pasar itu sebelum benar-benar menolaknya.

“Baiklah, Nek. Besok pagi Ayu temani Nenek ke pasar. Kita lihat saja apa yang bisa Ayu dapatkan di sana,” jawab Ayu akhirnya.

***

Keesokan paginya, Ayu dan neneknya sudah berada di Pasar Beringharjo. Pasar itu sudah ramai meski masih pagi. Suasana khas pasar tradisional langsung menyergap indra Ayu—bau rempah-rempah, teriakan para pedagang, dan gemuruh suara keramaian. Semua terasa sangat kontras dengan kafe-kafe modern yang biasa dikunjungi Ayu.

Namun, ada sesuatu yang mulai menarik perhatian Ayu. Di balik kerumunan itu, dia mulai melihat keindahan yang selama ini tak pernah disadarinya. Cahaya pagi yang masuk melalui celah-celah atap, kontras warna-warni kain batik yang tergantung di kios-kios, serta ekspresi wajah pedagang yang tulus saat berbicara dengan pembelinya. Semua itu mulai membentuk gambar-gambar indah di benaknya.

“Ayu, sini! Lihat ini!” panggil neneknya dari salah satu kios yang menjual jajanan tradisional. Ayu bergegas mendekat, dan tanpa sadar mengeluarkan ponselnya untuk memotret.

“Bagus kan? Nenek dan kakek dulu sering beli di sini. Ibu penjualnya ini sudah jualan dari dulu, lho,” kata neneknya sambil menunjuk seorang ibu-ibu yang tersenyum ramah ke arah mereka.

Ayu mengangguk pelan, masih sibuk memotret. Dia terkejut melihat betapa hasil fotonya terlihat begitu alami dan indah. Cahaya, warna, dan ekspresi semuanya berpadu dengan sempurna.

“Nek, Ayu nggak nyangka kalau pasar ini ternyata instagramable banget,” kata Ayu sambil tertawa kecil. Neneknya ikut tersenyum.

“Nenek tahu, Yu. Nenek hanya ingin kamu bisa lihat pasar ini dari sudut pandang yang berbeda. Bukan cuma tempat yang berantakan, tapi tempat yang penuh kenangan dan cerita.”

Ayu terdiam sejenak, merenungkan kata-kata neneknya. Selama ini, dia terlalu fokus pada keindahan yang artifisial dan lupa pada keindahan yang lebih mendalam, yang berasal dari kenangan, dari warisan budaya, dan dari hal-hal sederhana yang sering dia abaikan.

Saat mereka melanjutkan perjalanan keliling pasar, Ayu terus mengambil foto. Bukan hanya untuk konten Instagram-nya, tapi juga untuk dirinya sendiri, sebagai pengingat akan keindahan yang selama ini dia abaikan.

Namun, di tengah keramaian pasar, tiba-tiba Ayu merasa ada yang aneh. Dia menoleh ke samping, mencari sosok neneknya. Namun, yang dia temukan hanyalah kerumunan orang asing yang bergegas dalam rutinitas harian mereka. Neneknya entah kemana.

Panik, Ayu mencari ke sana kemari. Panggilannya tak dijawab, dan suara ramai pasar menenggelamkan suaranya. Hingga akhirnya, Ayu teringat sesuatu. Dia membuka galeri foto di ponselnya dan melihat ke dalam.

Semua foto neneknya—senyumnya, kebahagiaannya, kenangannya—ada di sana. Tapi saat dia melihatnya lebih dalam, tiba-tiba rasa hangat itu berubah menjadi dingin yang menusuk.

Neneknya sudah tiada. Ayu tak pernah benar-benar pergi ke pasar ini bersama neneknya. Semua yang terjadi tadi hanyalah bayangan kenangan yang muncul kembali dalam ingatannya. Neneknya sudah berpulang beberapa tahun yang lalu, dan ini adalah perjalanan pertama Ayu ke Pasar Beringharjo setelah sekian lama.

Ayu terdiam, menahan air mata yang mendesak keluar. Dia tersadar bahwa neneknya, meski sudah tiada, masih selalu bersamanya—dalam setiap kenangan yang dia tinggalkan, dalam setiap momen yang dulu mereka habiskan bersama.

Dan hari itu, di pasar yang penuh kenangan, Ayu menemukan kembali sesuatu yang hilang dari dirinya. Sebuah kesadaran bahwa keindahan sejati bukan hanya ada pada apa yang tampak di luar, tapi pada apa yang tersimpan dalam hati dan kenangan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun