Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Cinta dan Mesin Cuci

18 Agustus 2024   00:23 Diperbarui: 18 Agustus 2024   00:43 26 2
Di sebuah apartemen kecil di sudut kota, Arman dan Nisa, sepasang pengantin baru, sedang terlibat dalam diskusi yang tampaknya sepele namun semakin memanas. Mereka baru saja pindah ke rumah baru mereka, dan di antara barang-barang yang harus dibeli, mesin cuci adalah salah satu yang paling mendesak. Namun, siapa sangka memilih mesin cuci bisa menjadi topik yang sangat krusial?

"Front loading itu lebih hemat air dan lebih modern, Arman," kata Nisa sambil menunjukkan brosur mesin cuci di tangannya. "Lagi pula, mesinnya tidak membuat pakaian cepat rusak."

"Tapi top loading lebih praktis," balas Arman. "Kita bisa menambah pakaian kapan saja kalau ada yang ketinggalan, dan tidak perlu membungkuk untuk memasukkan atau mengeluarkan cucian."

Nisa mengerutkan alisnya. "Tapi bukankah kita harus berpikir panjang ke depan? Front loading itu lebih efisien dalam jangka panjang. Lagipula, sekarang ini banyak yang beralih ke front loading."

"Aku tetap merasa top loading lebih cocok buat kita," jawab Arman dengan nada keras kepala. "Kita tidak perlu mengikuti tren, yang penting nyaman."

Perdebatan ini berlanjut selama beberapa menit. Mereka saling mengeluarkan argumen, dan tidak ada tanda-tanda salah satu dari mereka akan mengalah.

Dua hari sebelumnya

Nisa dan Arman baru saja pulang dari bulan madu mereka di Bali. Segalanya terasa begitu sempurna. Matahari terbenam di pantai, makan malam romantis di tepi laut, dan janji-janji manis yang mereka ucapkan kepada satu sama lain. Di hari-hari itu, hidup terasa begitu indah dan tanpa beban. Namun, begitu mereka kembali ke kehidupan sehari-hari, kenyataan mulai menyapa.

Pagi itu, Nisa sedang membuka-buka katalog elektronik di dapur ketika Arman keluar dari kamar dengan setelan kantor yang rapi. "Kamu mau sarapan?" tanya Nisa tanpa mengangkat pandangan dari katalog.

"Aku sudah makan tadi di perjalanan. By the way, apa yang kamu lihat?" Arman menghampiri Nisa dan melihat ke layar laptop di depannya.

"Aku lagi lihat-lihat mesin cuci," jawab Nisa santai.

"Oh ya? Sudah punya pilihan?" tanya Arman sembari mengambil secangkir kopi.

"Belum sih, tapi aku condong ke front loading. Lebih hemat air dan detergen, desainnya juga lebih elegan." Nisa tersenyum puas.

Arman merenung sejenak. "Tapi bukankah top loading lebih praktis? Kita bisa menambah cucian saat mesin masih jalan, dan kita nggak perlu ngebungkuk."

Diskusi pagi itu masih berlangsung santai, tapi saat mereka menyadari betapa pentingnya keputusan tersebut, nada percakapan mulai berubah. Tak satu pun dari mereka mau mengalah, dan argumen terus dilontarkan tanpa henti.

Hari ini

"Kita gak bisa berdebat kayak gini terus, Man," ujar Nisa dengan nada frustasi. "Ini cuma mesin cuci! Kenapa jadi ribet banget?"

"Bukan masalah mesinnya, Nisa. Ini tentang apa yang kita inginkan dan gimana kita harus kompromi dalam setiap keputusan," Arman mencoba menjelaskan.

"Tapi aku merasa, sejak awal kita selalu mengikuti keinginanmu," Nisa melontarkan keluhannya. "Dari memilih tempat tinggal sampai warna cat dinding, semuanya sesuai kemauan kamu."

Arman terdiam. Apa yang dikatakan Nisa ada benarnya. Sejak awal, ia memang cenderung memaksakan pendapatnya. Namun, dalam hatinya, ia tidak bermaksud buruk. Ia hanya ingin memberikan yang terbaik menurut pandangannya.

"Mungkin kamu benar," akhirnya Arman mengakui. "Mungkin aku memang terlalu memaksakan kehendakku. Tapi aku melakukan ini karena aku peduli sama kamu, sama kita."

Nisa mendesah. "Aku tahu, tapi aku juga ingin suaraku didengar. Kita ini tim, Man. Kita harus saling mendukung, bukan malah merasa harus menang."

Arman menatap Nisa dengan tatapan yang lebih lembut. "Aku juga ingin kita menjadi tim yang solid. Tapi, kadang aku lupa bagaimana caranya."

Hening sejenak menyelimuti ruangan. Nisa meraih tangan Arman dan menggenggamnya erat. "Aku tahu, Man. Kita berdua masih belajar."

Arman mengangguk, merasa tersentuh dengan kata-kata istrinya. "Jadi, bagaimana kalau kita cari jalan tengah? Kita bisa pilih mesin yang harganya pas di tengah-tengah antara front loading dan top loading."

Nisa tersenyum tipis. "Aku rasa itu bisa jadi solusi. Yang penting, kita sepakat."

Mereka akhirnya setuju untuk memilih mesin cuci yang bukan front loading atau top loading, tetapi jenis yang lain---mesin cuci kombinasi yang memiliki fitur unggulan dari kedua jenis tersebut. Ini mungkin bukan solusi ideal bagi masing-masing, tetapi mereka puas karena keputusan ini diambil bersama.

Satu bulan kemudian, Nisa duduk di sofa sambil memperhatikan mesin cuci baru mereka yang berputar di sudut ruangan. Arman duduk di sebelahnya, dengan senyum bangga di wajahnya.

"Kamu tahu, aku merasa kita berhasil melewati ujian pertama kita sebagai pasangan suami istri," kata Arman.

Nisa tertawa kecil. "Ya, sepertinya begitu. Tapi aku harus jujur, aku sebenarnya tidak terlalu peduli dengan jenis mesin cucinya. Aku hanya ingin melihat seberapa jauh kamu bisa bertahan dengan pendapatmu."

Arman menoleh, terkejut. "Tunggu, apa maksudmu?"

Nisa menatapnya sambil tersenyum nakal. "Aku cuma mau tahu sejauh mana kamu bisa berdebat untuk sesuatu yang, jujur saja, sebenarnya nggak terlalu penting."

Arman tertawa kecil, merasa sedikit tertipu. "Kamu benar-benar mengujiku?"

Nisa mengangguk. "Yah, semacam itu. Tapi ternyata kamu bisa kompromi juga. Aku suka melihat sisi itu darimu."

Arman menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Kamu benar-benar luar biasa, Nisa. Tapi aku senang kita akhirnya bisa menemukan solusi bersama."

Mereka tertawa bersama, menyadari betapa konyolnya perdebatan mereka tentang mesin cuci. Di balik semua itu, mereka belajar sesuatu yang jauh lebih berharga: bahwa dalam sebuah hubungan, terkadang yang penting bukanlah siapa yang benar atau salah, tetapi bagaimana cara menemukan titik temu dan berjalan bersama.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun