Sandal jepit Aris telah putus begitu tubuhnya masuk ke sebuah gang gelap. Baru saja dia berlari dan kecepatan larinya mungkin hanya bisa ditandingi atlet lari profesional. Beruntung, sebelum masuk gang, kepalanya sempat menoleh ke belakang dan orang-orang yang mengejarnya tidak ada yang melihat. Kini, pada sebuah drum besar bekas minyak tanah tubuhnya bersembunyi.
"Mudah-mudahan mereka terkecoh," bisik Aris pada dirinya sendiri ketika masuk ke drum dan menutupnya. Lantas dia jongkok dan menaruh plastik kresek hasil curian di atas paha. Gelap dan sesak. Kalau saja tidak ada tiga lubang kecil di bawah drum pasti dia kehabisan napas. Dalam ruangan yang sempit itu terdengar jelas setiap ketukan dari jantungnya.
Sekuat tenaga Aris mengatur irama napasnya yang berantakan. Berhasil memang. Tapi peluh makin bercucuran lantaran oksigen di dalam drum pastilah kurang. Menggunakan telapak tangan, dia menyeka butiran peluh yang mulai jatuh dari alisnya yang basah.
Sayup-sayup terdengar derap kaki menghantam tanah. Makin lama makin terdengar keras menuju arahnya. Telinganya menempel di dingging drum. Dari nada hentakan, Aris menaksir jumlah kaki itu tidak kurang dari lima belas pasang. Tubuhnya tiba-tiba meriut dengan hati dag dig dug.
"Malingggg... Malingggg..."
Entah bacaan apa yang diucapkan dengan mulutnya yang komat-kamit.
"Bangsat....!"
Entah bacaan apa lagi yang diucapkan dengan mulutnya yang semakin komat-kamit.
"Bakarrr...!
Entah apa yang dipikirkan Aris karena orang-orang itu berhenti di samping drum tempat dia sembunyi.
***
Dalam sebuah gubuk terdengar tawa bocah yang bercanda dengan ayahnya. Hujan lebat tidak membuat mereka kedinginan karena Aris memeluk erat anaknya. Sesekali jemari Aris menggilik-gilik perut anaknya yang disusul tawa dan teriakan ampun. Mereka seolah tidak peduli dengan alas tikar yang sudah bolong dan basah karena air menitik dari asbes yang telah lapuk.
"Sudah becandanya, ayo makan!"
Istri Aris seketika berdiri dekat mereka dan segera menuntun Roni ke sisi ruangan yang tidak bocor. Bakul nasi ukuran kecil mengepul asapnya berdiri di sisi kantong kresek. Tiga buah piring plastik warna merah masih basah saat wanita itu menuangkan nasi.
"Asiikkkkk..."
Sampai terjulur lidah Roni tidak sabar menyambar bagiannya. Tangannya sudah menjulur padahal belum selesai ibunya menungkan nasi.
"Cepet dong, Bu."
"Iya sabar."
Aris tersenyum tapi ada genangan di ujung matanya.
"Begini dong Pak makan sekali-kali pake ayam ka ef ce."
"Sudah cepat makan pahanya."
Kedua orang tua itu menukar pandangan. Tidak segera makan bagian mereka, melainkan menyaksikan Roni yang dengan lahap menelan ayam dari setiap gigitan.
"Pokoknya minggu besok makan ini lagi. Kalau enggak, Roni ngambek lagi gak mau makan sampai dua hari kaya kemarin."
Aris tidak menjawab.
***
Jakarta 13 Januari 2012