Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Perut

26 Desember 2010   01:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:23 107 2
Dua minggu sudah Samtari tidak bisa kentut. Perutnya makin membuncit. Kalau saja bajunya diangkat, perutnya akan terlihat seperti anak kecil yang menderita busung lapar. Tapi jangan kau anggap dia begitu karena kelaparan. Namanya tercantum di majalah ekonomi sebagai salah satu orang terkaya di Asia. Ujung Monas, yang emas itu, kalau dijual, masih sanggup dia beli. Perusahaannya bergerak di berbagai bidang. Dari telekomunikasi, properti sampai hasil tambang.  Setelah dua minggu berobat, akhirnya dokter paling hebat tanah air angkat tangan. Tidak sanggup meyembuhkan penyakitnya. Untuk itu siang ini dia terbang ke Singapura. Biasanya rumah sakit negara tetangga itu bersahabat untuk orang kaya negeri ini. Istrinya ikut. Alasannya biar bisa kasih semangat. Padahal ada tas dan sepatu koleksi terbaru dari merk terkenal yang mau dia beli. Samtari mulai terasa tersiksa. Napasnya cepat tersengal bila bicara. Mungkin para-parunya terdesak cairan dari perut yang membengkak. "Sabar ya, Pah," hibur istrinya. "Terim kasih, Mah. Kamu memang istri hebat. Nanti bila ada waktu luang kamu belanja saja di Orchard Road." "Gak usah, Pah. Buat apa? Mana bisa asyik belanja kalau kamu lagi sakit begini."  jawab istrinya berbohong. Dokter-dokter Singapura bingung. Hasil rontgen tidak menunjukan ada sesuatu yang mencurigakan di perut Samtari. Dokter saja bingung, apalagi Samtari.  Penyakit itu menjadi kasus pertama di sana. Persatuan dokter Singapura langsung mencatat kejadian ini. Mahasiswa kedokteran berniat menjadikannya tesis untuk persyaratan kelulusan. Samtari pun ditawari pengobatan gratis bila masih mau dilanjutkan. Tapi harus menerima dan tidak menuntut bila terjadi konsekwensi terburuk, kematian. "Gendeng!" maki Samtari setelah sampai di tanah air, "Malah jadi kelinci percobaan." "Coba ke China, Pak." saran asisten pribadinya. "Mengapa harus ke sana?" "China sekarang tambah pesat perkembangannya. Jepang sedikit lagi terlewati." Samtari terbang lagi. Kali ini dia sudah tidak mampu berdiri. Istrinya yang mendorong kursi roda. Diameter perutnya bertambah lima senti. Ternyata arsip penyakit Samtari sudah masuk ke China. Kedatangannya disambut dengan suka cita. Samtari sangat dibujuk agar mau diteliti. Tapi ya itu tadi, harus tanda tangan bila terjadi kematian, pihak China tidak bertanggungjawab dan tidak bisa dituntut ke pengadilan. Sebagai rayuan, Samtari dibujuk dengan jutaan yen, baik berhasil maupun gagal penelitian itu. "Sompret!!" maki Samtari setelah sampai bandara Soekarno-Hatta. " Mereka pikir aku gak punya uang." "Ini penghinaan. Masa nyawa Bapak dihargai dengan uang." timpal asistennya cari muka. Samtari masih belum bisa kentut. Kangen sekali dia dengan kenikmatan alami itu. Untuk menghindari perutnya makin besar, Samtari hanya minum secukupnya dan menghindari makan. Dia mulai frustasi. Ingin sekali dia pukul sendiri perut itu, tapi dia takut mati. * Pada suatu malam Samtari bermimpi. Dia ditertawakan oleh kumpulan orang yang bertubuh dekil. Kendati orang-orang itu tampak kelaparan dan kesusahan, tapi terpingkal melihat perut Samtari. Mereka bergerombol tinggal di atas terpal di sebuah lapangan luas. Asistennya dipanggil dan diceritakan mimpi itu. Bak Nabi Yusuf yang mampu menafsirkan mimpi raja akan datangnya kemarau yang berkepanjangan, asistennya juga menafsirkan mimpi bosnya: "Wah Bapak harus menghentikan semburan lumpur akibat dari perusahaan tambang kita. Sampai sekarang semburan lumpur itu masih keluar dan meluas. Juga pengungsi-pengungsi itu, belum Bapak ganti seluruhnya." "Ah, aku kan sudah menang di pengadilan." "Maaf, Pak. Tanpa mengurangi kehormatan, mungkin ini pengadilan Tuhan. Jadi tidak bisa kita suap." Samtari yang biasanya tidak senang bila diceramahi, kini tunduk. Masalahnya rasa sakit itu telah memangkas kenikmatan hidup. Buat apa kaya raya tapi tidak bisa makan dan jalan, pikirnya "Apa saranmu?" tanya Samtari pada asisten setianya. "Bapak pernah nonton film Armagedon?" "Ya." "Memang itu hanya film, tapi saya yakin di Amerika punya ahli bor yang luar biasa. Bila mereka bisa mengebor di luar angkasa, masa lumpur saja tidak bisa dijinakkan." * Asistennya itu diutus untuk proyek penyelamatan perut Samtari. Setelah keliling Amerika akhirnya didapatkan tim yang menyanggupi dan menjamin bahwa lumpur akan bisa dihentikan. Negosiasi pun terjadi. Proposal biayanya luar biasa. Untuk merealisasikan proyek itu Samtari harus menjual semua aset perusahaannya. Karena rasa sakit yang tak terkira, tanpa pikir panjang Samtari bersedia tanda tangan. Operasi penghentian semburan lumpur dilakukan. Bukan hanya media lokal, wartawan luar negeri juga meliput mega proyek ini. Seperti baiasa, media nasional khusus berita, menyiarkan live perkembangannya. Setiap jamnya ada headline news khusus kasus ini. Bahkan pakai backsound lagu-lagu tentang keadilan sosial karya Iwan fals. Sampai waktu yang dijanjikan semburan masih terjadi. Tapi pimpinan tim pengeboran optimis bila diberi waktu sedikit lagi dan ada kucuran dana akan berhasil. Sekali lagi Samtari setuju. Perutnya sudah parah. Tidak ada baju yang muat untuk badannya. Napasnya tinggal satu dua. Akhirnya waktu itu datang juga. Semburan lumpur berhenti. Dan angin bisa keluar dari pantat Samtari. Pelan-pelan kotoran yang bersarang di perut Samtari bisa dikeluarkan dan dia bisa berjalan lagi. * 26 Desember 2010 gambar dari gugel

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun