Dalam jagad pewayangan, Kumbokarno seolah membela Dasamuka. Namun sesungguhnya yang dia bela tak lain adalah tanah tumpah darahnya, bangsanya, bukan kakaknya yang maling wanita.  Tapi kali  ini yang dipinjam di sini adalah Kumbokarno-nya saja, tidak termasuk setting kejadiannya.  Bahwa  pada gelaran pilpres 2014 ini fenomena kedahsyatan Kumbokarno  hadir dengan terlibatnya banyak para golput yang turun gunung mendukung sosok calon pemimpin yang dipercayanya.  Dalam hal ini, bukan bulu jempol mereka yang dicabut, namun hati mereka yang tersentuh. Dan ketika para golput ini turun ke lapangan, maka jelas yang mereka cari bukanlah uang. Mereka taat panggilan. Taat misi, yakni misi batin untuk mengantarkan siapa yang dipercayanya mendapatkan tempat di tahta rakyat.
Para golput yang turun gunung ini tidak butuh atribut kepartaian karena mereka telah satu bahasa yakni bahasa ketulusan. Mereka paham benar itu, karenanya tidak heran ketika salam dua jari  terucap, lantas seperti gayung bersambut,  salam itu pun diterma dan kian menyebar ke mana-mana. Tanpa belajar semiotika, alam pemikiran mereka telah berbagi tanda-tanda dan lagi-lagi nurani serta ketulusan dalam keterlibatan adalah komando mereka.
Terhadap berbagai serangan kampanye hitam yang bak mitralyur menghunjam sosok yang mereka dukung, mereka juga tak akan lantas menjadi berbalik persepsinya. Itu semua tak lebih besar dari motif awal yang membangunkan mereka untuk melibatkan diri dalam urusan ini.  Dan kini, ketika keterlibatan mereka itu, tentunya bersama-sama dengan pihak-pihak lain yang terlibat, telah membuahkan hasil, sosok yang didukungnya pun tak perlu khawatir  akan kemungkinan kepentingan-kepentingan yang tersembunyi dari mereka. Mereka sudah akan sangat puas dengan proses dan hasil yang dicapai tanpa perlu mendesak-desakkan diakomodasikannya kepentingan mereka. Ajak saja mereka bicara, dan segudang idea akan kembali dialirkan dalam semangat kebersamaan yang nyata. Bersama mikirnya, bersama pula mengeksekusikan dan mengawasinya.
Terbiasa dengan kemandirian pemikirannya, termasuk untuk memilih diam ataupun untuk dalam diam rajin mencerna, nyawa dari dukungan itu pun tak akan cepat matinya. Dengan sukarela, mereka akan mengawal misi yang telah diamini batin dan pemikiran mereka itu hingga final. Baru kemudian setelah segala sesuatunya jelas dan definitif, mereka akan menarik diri dan berganti misi yakni untuk mengawal agar nilai-nilai yang mereka percaya itu tidak terlepas dari sosok yang dipercaya mampu mengembannya. Jika sampai terjadi nilai-nilai itu dicampakkan begitu saja dan sosok yang diusung berganti muka, itu akan menjadi mimpi buruk dalam tidur mereka. Â Jika itu sampai terjadi, saya yakin mereka tidak akan diam saja. Melainkan, mereka akan kembali bangun dan menuntut pertanggung-jawabannya.