“Kalau BBM naik, ya wis to, pake WhatsApp saja, apa YM-an!”
“Dengkulmu! Banyak yang sudah mulai pusing gimana lagi musti njembreng duwit blanjan kok malah nggambleh!”
“Lha wong guyon atau tidak guyon ya tetep naik… berhenti guyon juga ndak bikin bisulen emas ae kok.
Begitulah. Respon masyarakat pun beragam. Ada yang lantas misuh-misuh karena nesu, ada yang sedih karena dompet akan semangkin pipih, ada yang jualan kompor dan kipas utk sengaja mbakar kahanan, ada yang biasa saja, ada yang garuk-garuk kepala, ada yang garuk-garuk kepala temannya, dan lain sebagainya. Kalau sekedar bbm naik dan sesudahnya mandek di situ saja ya gak gitu masalah.
Tapi yang nggenjik kirik kan ikut latahnya harga barang dan jasa. Sebentar lagi bakal pada rebutan ikut naik. Di era di mana wong ngising saja banyak yang kerepnya numpak sepeda motor begini, naiknya harga BBM jelas akan mengerek tinggi harga-harga lainnya. Beban biaya logistik, terutama transportasi, terhadap harga barang di negeri ini memang sudah luar biasa tinggi. Coba saja dihitung. Mulai dari harga BBM yang baru saja naik + terbuangnya fuel saat kemacetan terjadi dan semangkin akut + pungutan di sana-sini + tambah lagi biaya makan crew yang nantinya juga akan tambah mahal + harga-harga sparepart yang juga ikut-ikutan naik + jalanan yang pada rusak dan bikin onderdil cepat aus dan bikin sopir kernet cepat capek + para pemungut sana-sini itu yang pengin mungut lebih banyak lagi karena harga kebutuhan dan keinginan juga semangkin tinggi dan sebagainya. Semuanya bisa jadi dibebankan pada harga jual. Lingkaran ini belum berhenti karena sesudah itu masih ada lingkaran setan yang lainnya. Misal saja, pekerja dan buruh yang semakin kepontal-pontal kesulitan ngerja harga-harga kebutuhan tak urung juga akan demo, demo dikabulkan alokasi untuk penambahan gaji lantas dimasukkan dalam tambahan biaya operasional dan atau biaya produksi, dan karenanya harga dasar untuk penjualan pun akan naik, dan sampai di konsumen dengan harga yang lebih tinggi lagi, dan lalu pada kepontal-pontal lagi… Ouroboros, kepala makan ekor, ndas mangan buntut dan tubuhnya sendiri tak henti-henti.
Jika saja transportasi laut kita benar-benar sudah berjalan dengan jauh lebih baik, mungkin kenaikan harga barang ini bisa diganduli, atau setidaknya tidak akan sekenthir ini nanti. Kecuali jika ikan hiu, ikan paus, hingga ikan teri di laut ganti ikut ngompasi. Jika tim reformasi tata kelola migas yang baru dibentuk oleh menteri ESDM berhasil mereformasi tata kelola dengan baik dan mafia-mafia yang menari-nari dengan perut besarnya turut tergulung, keadaannya juga semestinya akan jauh beda. Sayangnya itu semua baru jika, sedangkan dampak kenaikan harga BBM terhadap daya beli dan kesejahteraan rakyat kurang mampu adalah fakta.
Lha wis, terus piye jal? Ya, mesti ikut buka mata lebar-lebar. Subsidi yang dilorot dari post ini nanti akan dikemanain dan bagaimana pelaksanaan ‘mengemanainnya’. Saya sendiri berharap untuk diri sendiri juga, semoga karena kenaikan harga-harga nantinya, saya bisa semangkin mengontrol nafsu makan saya sehingga galon portable yang nempel di perut ini bisa mengempis sedikit walaupun beresiko bakal mlotrok kathok saya. Yang jelas, banyak hal yang ditunggu terkait apa yang akan pemerintah gerakkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Semoga saja akan segera terlihat semakin banyak kemajuan yang membesarkan harapan bersama sebagai bangsa.
Sementara, saya sendiri tidak akan ikut dalam barisan yang demikian nafsunya menghujat dan menyalahkan pemerintah, dan tidak pula dalam barisan yang dengan menggenjik-buta membela (walau sebatas abab dan tulisan) pemerintah dengan balik menghujat hujatan-hujatan pihak yang lain. Saya juga tidak bisa percaya penuh hitung-hitungan dibalik keputusan pengurangan subsidi BBM ini, dan tidak juga bisa percaya penuh hitung-hitungan lain dari pemikir-pemikir ekonomi atau ekonom semacam Pak Kwik Kian Gie ataupun Pak Ikhsanudin Noorsy. Selain karena ndak isa mikir segitu, saya juga telanjur percaya bahwa topi saya bundar, sebab kalau tidak bundar, maka itu bukan topi saya…