Sebagai orang tua murid, si ibu pasti juga pernah bersekolah, dan (saya berani memastikan) juga mengalami apa yang dialami anaknya, yaitu kecurangan dalam ujian, tidak perlu munafik untuk mengatakan kalo tidak pernah mengalami. Tetapi meskipun begitu, saya tetap setuju dengan langkah yang diambil oleh si ibu, dan (sangat) tidak setuju dengan tingkah warga sekitarnya yang menganggap si ibu sebagai pahlawan kesiangan, apa alasan warga untuk mengecap beliau seperti itu coba?. Kalau si ibu saya anggap munafik, warga saya anggap nenek moyangnya munafik, dan mereka dengan bangganya menulis kesepakatan untuk menjadi munafik.
Dan saya khawatir, sepertinya pemerintah pun akan mengikuti langkah warga sekitar ibu tinggal tersebut, karena pada prinsipnya pemerintah ada karena dukungan/suara terbesar, dan suara terbesar adalah menjadi nenek moyangnya munafik!!!. Sekarang jamannya suara terbanyak, bukan hati nurani ataupun keadilan. Mereka menyebutnya dengan "kebijakan", yang mana kebijakan itu disukai, disetujui oleh suara terbanyak. Hanya dalam pelaksanaan nantinya, pemerintah menunjukkan kemunafikannya kebijakannya, dengan lebih elegan, dengan alasan2 yang tampak pintar dan sistematis.
Ya, itulah indonesia, kita semua paham akan budaya ini...
Jadi, mengapa sangat serius?