Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Membangun Infrastruktur Transport, Membangun Peradaban Bangsa

19 Agustus 2013   13:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:07 295 1


Sebagai renungan bersama, terutama untuk diri pribadi dan orang-orang yang peduli terhadap transportasi di Indonesia, artikel berikut merupakan tulisan Darmaningtyas, Ketua INSTRAN (NGO Transportasi) dan Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia.

Komitmen Politik

Pertama, mengenai persoalan-persoalan yang teridentifikasi menjadi faktor penyebab dari ruwetnya persoalan transportasi publik kita adalah rendahnya komitmen politik dari pengambil kebijakan.  Rendahnya komitmen itu berdampak amat luas, dari soal perhatian yang kurang serius sampai pada masalah pendanaan yang terbatas. Tidak ada satu pihak pun (eksekutif maupun legislatif) yang secara serius berjuang untuk pengembangan angkutan umum massal ini. Ketiadaan komitmen politik itu mungkin disebabkan karena ketidak-tahuan mereka. Ambil contoh, penghapusan sarana transportasi umum di Jakarta berupa tram listrik pada masa Walikota Sudiro (1953-1960) hanya didasarkan pada pandangan Presiden Soekarno bahwa tram-tram tersebut tidak cocok dengan kesan kota modern, karena tram tersebut tidak berada di bawah tanah (Peter J.M. dan Manase Malo2007, hal. 246-248). Desakan untuk menghapus tram itulah yang memicu konflik antara Walikota Sudiro (representasi daerah) dengan Presiden Soekarno (representasi pusat). Presiden Soekarno pada saat itu melihat sarana transportasi tersebut tidak dari fungsinya, tapi dari aspek estetika belaka. Seandainya Soekarno melihat fungsi tram sebagai moda transportasi kota yang efisien, tidak berpolusi, dan tidak menggunakan BBM, tentu dia tidak akan menyarankan untuk dihapus, sebaliknya justru dikembangkan sehingga sampai sekarang mungkin masih menjadi moda transportasi publik di Jakarta yang sangat handal karena mampu mengangkut jumlah penumpang cukup besar.

Jebakan Motorisasi

Hilangnya tram lisrik menyebabkan Jakarta kehilangan moda transportasi massal yang handal. Moda transportasi massal yang ada pada itu (dekade 1960-an) tinggal berbasis motor, yaitu bus dan bemo. Sedangkan angkutan umum lain yang dominan adalah becak. Adapun kendaraan pribadi didominasi oleh sepeda. Di penghujung dekade 1960an produk Jepang, terutama berupa sepeda motor merek Honda dan Suzuki mulai membanjiri Jakarta. Arus motorisasi itu semakin kuat memasuki dekade 1970-an, seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional dan berkembangnya industri otomotif.

Bank Dunia turut andil besar dalam mendorong motorisasi ini dengan memfasilitasi pembangunan jalan raya. Blok M – Kota yang dulunya dilayani tram kemudian digantikan dengan jalan raya. Jaringan tram dihapuskan. Sedangkan pembangunan jalan yang menghubungkan Cawang - Tanjung Priok dibiayai oleh Amerika Serikat (Ibid, hal.248). Perhatian besar Bank Dunia terhadap motorisasi itu tidak terlepas dari campur tangan pemilik saham, termasuk Jepang yang sangat diuntungkan dengan proses motorisasi di Indonesia. Mayoritas motor (baik roda empat maupun dua) yang menyesaki jalan-jalan di Jakarta adalah produk Jepang, seperti  Daihatsu, Hino, Honda, Isuzu, Kawasaki, Mitsubishi, Nissan, Suzuki, Toyota, Yamaha, dll.

Proses motorisasi ini tidak terbendung lagi ketika negara secara sadar memfasilitasinya dengan membangun banyak jalan raya dan mulai tahun 1978 membangun tol Jagorawi, kemudian diikuti dengan pembangunan jalan tol lainnya, seperti Jakarta – Cikampek, Jakarta Tangerang, Cawang – Priok, Cawang – Bandara, dan sebagainya. Juga diikuti pembangunan jalan-jalan tol di luar Jakarta, seperti Surabaya, Semarang, Medan, Bandung, dan Makasar.

Jebakan motorisasi itu semakin mencengkeram ketika industri otomotif Jepang mulai ekspansi dengan mendirikan pabrik di Indonesia. Krisis ekonomi Juli 2007 sampai dengan akhir 1999 sempat membuat pasaran industri otomotif khususnya sepeda motor dan mobil lesu, tapi mulai tahun 2000 industri tersebut bangkit kembali. Khususnya untuk produk sepeda motor, pertumbuhan mereka begitu cepat, karena paska krisis ekonomi itu sepeda motor dijadikan sebagai moda produksi dalam bentuk ojek bagi korban PHK. Mayoritas pengojek mulai akhir dekade 1990-an itu adalah korban PHK, mereka membelanjakan pesangonnya untuk membeli sepeda motor untuk ngojek. Kehidupan tukang ojek yang relatif lebih mapan daripada menjadi buruh pabrik itu mendorong orang desa untuk tertarik menjadi profesi ojek di Jakarta. Mereka kemudian rela menjual sapi, kayu jati, atau bahkan tanah (sawah/ladang) mereka untuk membeli sepeda motor sebagai ojek di Jakarta.

Belakangan, industri sepeda motor sendiri lebih kreatif dalam memasarkan produknya dengan mengetrapkan mekanisme kredit amat mudah, mereka bekerjasama dengan lembaga-lembaga keuangan, seperti WOM Finance, FIF, Aldira, dan sejenisnya. Kesemuanya itu mempermudah orang untuk mendapatkan kredit sepeda motor. Itu yang terjadi pada tingkat swasta. Sedangkan pada tingkat pengambilan keputusan, sejak Orde Baru, terlebih paska reformasi, kita sesungguhnya memasuki Rezim Bina Marga, di mana program pembangunan jalan, entah itu jalan tol maupun non tol memperoleh perhatian besar daripada pembangunan infrastruktur untuk pertanian, perikanan, perkebunan, maupun peternakan yang sebetulnya semuanya itu akan membuat bangsa Indonesia hidup lebih mandiri. Rezim Bina Marga itu terasa sekali (justru) paska reformasi ini ketika seperti tahun lalu dan tahun sekarang ini anggaran untuk satu direktorat jendral (Bina Marga) di PU jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran satu departemen (Perhubungan) yang menangani empat jenis moda transportasi: jalan raya, kereta api, laut, dan udara.

Sinerginya antara inovatifnya swasta dalam mengembangkan produk otomotifnya dengan kebijakan pemerintah yang didominasi oleh Rezim Bina Marga itulah yang memicu pertumbuhan kendaraan bermotor begitu cepat dalam satu dekade terakhir.

Di sisi lain, percepatan pertumbuhan kendaraan bermotor itu telah mengorbankan moda transportasi lain, yaitu kereta api dan laut. Di Jakarta kita melihat sehari-hari pemandangan di mana jumlah penumpang KRL Jabodetabek yang begitu banyak tidak dapat terlayani semua sehingga harus naik di atas atap yang membahayakan jiwanya. Sedangkan buruknya transportasi laut terlihat dari panjang dan lamanya kasus antrean di Merak dan Bakauheni akibat keterbatasan prasarana maupun sarana angkutan laut.

Kasus antrean panjang itu merupakan persoalan serius karena berdampak pada ekonomi berbiaya tinggi, juga penderitaan para sopir dan kernet truck yang harus tombok untuk makan dan lainnya selama terjebak kemacetan. Tapi kita lihat, setidaknya yang muncul di media massa, itu seakan persoalan perhubungan saja, padahal itu persoalan ketersediaan infrastruktur secara keseluruhan, di mana Kepentrian PU selayaknya turut bertanggung jawab.

Kuatnya Rezim Bina Marga itu pula yang mendorong realisasi pembangunan Jembatan Suramadu, yang berbiaya tinggi dan mematikan moda transportasi laut, tapi tidak ekonomis dan tidak membuat warga Madura lebih sejahtera. Meskipun demikian, sebuah rencana yang jauh lebih besar dengan menelan dana amat besar pula akan dilaksanakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), yaitu pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS). JSS yang diharapkan akan dimulai tahun 2014, sebelum SBY meletakkan masa jabatan pada 2014 nanti, akan menelan dana sekitar Rp. 250 triliun. Sebuah tim, aturan, dan kelembagaan untuk mempercepat rencana  itu sudah disiapkan. Ini artinya, rencana itu bukan sekedar wacana saja, tapi akan diimplementasikan di lapangan. Menko Perekonomian, Bappenas, PU, dan Perhubungan sudah selalu intensif melakukan pembahasan terhadap implementasi rencana tersebut.

Dilihat dari kepentingan berbangsa, JSS ini adalah proyek besar yang akan mengantarkan bangsa ini masuk ke jurang kehancuran. Sebab dari aspek finansial, dana Rp. 250 triliun itu tidak sedikit. Jauh akan lebih bermanfaat untuk membangun infrastruktur pertanian (termasuk pertanian garam agar tidak impor garam), infrastruktur perkebununan, peternakan, dan perikanan agar bangsa Indonesia dapat mandiri dari segi pangan. Sedangkan dari aspek politik, JSS dapat mempercepat disintegrasi bangsa, terutama antara Indonesia Barat –yang selalu dimanjakan dengan infrastruktur transportasi—dan Indonesia Timur  yang selalu termarginalisasi. Bagaimana warga di Papua tidak marah dan menuntut merdeka bila persoalan infrastruktur transportasi mereka sampai sekarang belum terpecahkan, tapi anggaran besar dari negara justru akan dipakai untuk membiayai proyek megalomania saja, yang dampaknya juga akan mematikan moda transportasi laut yang selama hampir satu abad menjadi jembatan penghubung antara Jawa dengan Sumatra. Rezim Bina Marga itu tampaknya menumpulkan cara berfikir kita, sehingga pemahaman penguasa terhadap arti kata “jembatan” itu identik dengan bentangan baja atau beton saja. Padahal, kalau kita lihat Kamus Bahasa Indonesia, kata “jembatan” selain diartikan titian biasanya dari kayu atau beton yang melintang di atas sungai, juga dapat berarti penghubung atau perantara. Penghubung atau perantara itu tidak harus berupa bentangan besi atau beton, tapi kapal itu juga berfungsi penghubung. Dengan kata lain, Rezim Bina Marga itu telah memiskinkan dan mereduksi pemahaman kita tentang makna kata “jembatan” yang bisa selain fisik, juga bermakna simbolik menjadi menjadi bermakna fisik semata.

Indonesia, mestinya belajar dari Yunani, yang tahun 2010 lalu mengalami kebangkrutan ekonomi dan perlu bantuan dari negara-negara Eropa lainnya. Salah satu faktor yang memicu kebangkrutan itu adalah banyak utang yang jatuh tempo. Utang tersebut salah satunya untuk pembangunan infrastruktur menjelang pelaksanaan Olympiade olah raga satu dekade lalu. Kebangkrutan yang sama akan dialami Indonesia pada saat dan atau paska pembangunan JSS. Bisa saja para pejabat terkait selalu membodohi (menganggap rakyat bodoh) dengan mengatakan JSS akan dibiayai oleh swasta. Komentar terhadap pernyataan tersebut sederhana saja: “Tidak ada makan (pagi, siang, malam) yang gratis!”.  Boleh jadi, sepertiga negeri ini digadaikan kepada investor hanya untuk membangun JSS itu.

Pembangunan JSS itu juga akan memperburuk kondisi lalu lintas di Jakarta, karena Jakarta ibarat digerojok dengan mobil pribadi dari Sumatra. Begitu juga sebaliknya sehingga kondisi lalu lintas di Sumatra pun akan kacau balau dan udaranya menjadi sangat polutif. Semoga tsunami Jepang minggu lalu membuat para pengambil keputusan berefleksi lagi, bahwa betulkah kemampuan teknologi akan dapat mengalahkan kekuatan alam? Jepang adalah negara yang unggul teknologinya dan kepada mereka pula kita berkiblat. Tapi kenyataannya mereka tidak mampu mensiasati kebesaran alam (tsunami), juga tidak mampu menahan agar PLTN nya tidak meledak. Siapa yang menjamin bahwa kekuatan angin kencang di selat Sunda dan Gunungkrakatau dapat diatasi dengan kemampuan teknologi. Runtuhnya Jembatan Misisipi di AS dan tidak terselesaikannya jalan tol yang retak di Semarang – Solo merupakan bukti bahwa kekuatan alam lebih dahsyat daripada kekuatan otak manusia, maka kalau betul-betul orang beragama, jangan takhabur dengan mengatakan bahwa “kita bisa mengatasi kondisi alam tersebut”. Saya bersedih mendengar pernyataan semacam itu karena itu mencerminkan sikap takhaburdari orang yang beragama. Saya berharap nafsu megalomania pimpinan tidak menyebabkan kita menjadi takhabur.

Rezim Bina Marga itu pula yang mendorong pembangunan Tol Trans Jawa yang merusak ekosistem pertanian dan memiskinkan warga yang tergusur. Padahal, kita semua tahu bahwa Pulau Jawa merupakan daerah yang subur dan menjadi penobang terbesar untuk produksi padi maupun cadangan air tanah. Dengan digusurnya lahan pertanian dan sumber air kita untuk jalan tol, maka ke depan akan muncul bencana besar berupa kelaparan dan kelangkaan air bersih. Keduanya kelak terpaksa harus impor.

Pembangunan Tol Trans Jawa itu dilihat dari segi transportasi sangat tidak rasional karena jaringan rel kereta api (KA) kita itu sudah ada dari Merak sampai Banyuwangi, tinggal mengoptimalkan saja (agar lebih sering dilewati) dan dikembangkan dengan membuat jalur ganda. Membuat jalur ganda KA tidak perlu menggusur karena lahannya sudah tersedia, tingkat meletakkan rel baru itu di sisi kiri atau kanan dari rel yang sudah ada saja. Tapi pilihan yang mudah dan murah itu tidak diambil karena memang tidak menguntungkan dari kepentingan kapital. Dengan kata lain, pembangunan infrastruktur transportasi kita dibangun bukan dalam rangka menjalankan tugas negara agar dapat melayani warganya untuk bertransportasi dengan aman, nyaman, dan selamat; tapi dalam rangka memperluas pasar kapitalisme global. Kalau memang betul untuk melayani warga, maka mestinya yang dibangun adalah pelabuhan-pelabuhan yang bagus dengan kapal yang kokoh sehingga dapat memperlancar mobilitas geografis antar pulau. Jembatan Selatan Sunda itu hanya kepentingan pemimpin yang megalomania dan Cina maupun Jepang yang sudah tahu potensi alam yang dapat dikeruk paska adanya pembangunan JSS.

Jebakan motorisasi dan kuatnya Rezim Bina Marga ini menunjukkan bahwa tidak ada diregen yang baik di negeri ini untuk pengembangan sektor transportasi. Ibarat orang bermain orkestra, nada suara antara alat satu dengan lainnya itu sumbang, bertentangan sehingga tidak menghasilkan permainan musik yang merdu didengar, tapi kacau balau. Di satu sisi mau melakukan pembatasan penggunaan BBM (bersubsidi maupun tidak), tapi di sisi lain justru giat membangun jalan tol, jalan layang, maupun jembatan beton/baja antar pulau yang itu jelas-jelas akan memicu motorisasi dan otomatis pemborosan BBM.

Permainan orkestra itu terasa sumbang sekali kalau kita melihat kebijakan infrastruktur transportasi dikaitkan dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi dampak emisi gas buang (yang disebabkan oleh kendaraan bermotor). Pemerintah berjanji kepada dunia untuk mengurangi dampak emisi gas buang, tapi tidak ada perhatian sama sekali terhadap keberadaan moda non motorize transportation (NMT) dan pejalan kaki, sebaliknya justru hanya memfasilitasi pergerakan motor saja.

Upaya Mengurai Benang Kusut
Kebijakan pembangunan transportasi publik adalah sebuah keputusan politik, bukan ekonomi. Oleh karena itu, usaha untuk mengurai benang kusut persoalan transportasi publik tidak ada cara lain kecuali dengan keputusan politik. Kita mengharapkan ada pimpinan negara yang memiliki visi jelas terhadap pembangunan infrastruktur transportasi publik. SBY bukan orang yang memiliki visi yang jelas, terbukti dia justru mendorong percepatan pembangunan Tol Trans Jawa dan menghendaki terwujudnya pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) sebelum masa akhir jabatannya yang kedua, sementara sebagai seorang militer mestinya dia mengetahui bahwa keberadaan jembatan tersebut akan berpotensi terhadap percepatan disintegrasi antara Indonesia Timur (yang semakin tertinggal) dan Indonesia barat yang mengalami percepatan berlipat dalam infrastruktur transport. SBY sebagai doktor pertanian dari IPB mestinya juga tahu kalau pembangunan Tol Trans Jawa yang akan merusak lahan pertanian dan lingkungan hidup sekitarnya. SBY juga tahu kalau kebijakan BBM sekarang ini akan mendorong pemborosan pemakaian BBM. Sebagai orang yang katanya dulu memakai KA Matramaja (Malang – Jakarta PP) SBY juga tahu kalau kondisi KA ekonomi kita amat memprihatinkan dan perlu direnovasi. Tapi semuanya itu dibiarkan tanpa arah yang jelas. Kita butuh pengambil kebijakan yang memiliki visi jelas. Yaitu kembangkan angkutan umum massal baik berbasis rel, bus, maupun angkutan antar pulau, karena itu yang akan memfasilitasi mobilitas warga secara efektif dan efisien.
Karakteristik Aangkutan Massal
(Kecepatan, Biaya,  Kapasitas Angkut)




No

Tipe Moda

Kecepatan

Biaya

Kapasitas




Km/jam

Juta USD/Km

Arah/ Jam-Lajur



1

Busway Mix

10–12

0,5-2,5

15000




Busway Mix

15–30

35.000



2

Kereta Api Mix

10-12

3-5

12.000



3

Light Train

15-25

12-25

18.000-40.000



4

Metro Surface

30-35

30-40

20.000-50.000



5

Metro Subway

30-35

85-105

25.000-70.000


Sumber : ITDP, 2003


Kebijakan Pemprov DKI Jakarta membuat PTM (Pola Transportasi Makro) dengan menyediakan pilihan-pilihan infrastruktur yang akan dibangun sudah tepat, kecuali PTM revisi yang memasukkan enam ruas jalan tol tengah kota yang menjadi salah sasaran. Yang perlu ditambahkan dalam PTM adalah perhatian terhadap last mile, terutama pejalan kaki dan sepeda, keduanya terlupakan karena kuatnya arus motorisasi yang mendekte kekuasaan dan pakar dalam menyusun perencanaan transportasi. Sepeda dan pejalan kaki tidak pernah diperhitungkan sebagai komponen perjalanan, meskipun setiap pergerakan ada unsur pejalan kaki. Pilihan infrastruktur dengan membangun FO Anatasari dan Casablanca adalah pilihan yang amat keliru karena justru akan menambah deret kemacetan di Jakarta lima tahun ke depan setelah FO tersebut beroperasi. Sebaliknya revitalisasi sungai sebagai bagian integral dari pengembangan infrastruktur transportasi di perkotaan malah tidak dilakukan. Kita berharap agar Dinas dan Kementrian Pekerjaan Umum jangan hanya terfokus pada bidang bina marga saja dengan membangun jalan dan jembatan, tapi kembali ke khitoh sebagai “Pekerjaan Umum” yang mendorong terciptanya infrastruktur transportasi untuk publik.
source : Darmaningtyas

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun