[caption id="attachment_128643" align="aligncenter" width="400" caption="aku pusing bundaaaa"][/caption]
Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah artikel di sebuah surat kabar ibukota. Ceritanya tentang seorang guru matematika di Inggris yang mendapat banyak penghargaan, berkat metode pengajaran matematika yang diterapkan kepada siswanya. Satu fenomena menarik terjadi di negeri Inggris Raya, matematika ternyata bukan mata pelajaran favorit di kalangan siswa. Bahkan muncul stigma di antara mereka bahwa siapa pun yang jagoan di bidang tersebut, pastilah ia orang yang sangat membosankan. Tak jarang pengucilan bahkan bullying terjadi pada siswa-siswa yang pandai pelajaran hitung menghitung ini.
Guru itu berhasil mematahkan kebencian siswa terhadap pelajaran matematika. Ia sukses menumbuhkan ketertarikan para siswanya terhadap pelajaran tersebut, melalui bantuan benda-benda sederhana yang ada di sekelilingnya. Mulai dari roti donat, sapu, kentang hingga musik rap yang syairnya diubah menjadi rumus geometri. Sungguh potret seorang guru yang sangat kreatif.
Sebetulnya, sah-sah saja seorang anak tidak menyukai pelajaran tertentu, matematika contohya. Sebab, pada dasarnya kemampuan setiap anak tidak bisa disamaratakan. Namun apa daya, pendidikan di belahan dunia mana pun, khususnya di Indonesia, masih menganggap matematika sebagai salah satu materi penting yang wajib dikuasai siswa. Tak heran sebagian besar orang tua menaruh harapan penuh pada kemampuan sang buah hati untuk menguasai materi ini.
Bila saja para orang tua mau membuka sedikit jendela persepsi mereka bahwa kecerdasan anak berbeda-beda, mungkin akan berkurang jumlah anak yang depresi lantaran dipaksa pintar matematika oleh orang tuanya. John Locke mungkin benar saat mengatakan anak lahir bagaikan kertas yang putih, seperti apakah coretan yang ada di kertas tersebut, itu ditentukan oleh lingkungannya. Tetapibuat saya, ini tidak berlaku untuk minat dan bakat anak. Ketertarikan anak terhadap suatu bidang tidak boleh ditentukan oleh lingkungannya. Diarahkan ya, tapi tidak untuk ditentukan. Hal tersebut mutlak milik anak itu sendiri.
Howard Gardner pada tahun 1983 mengemukakan konsep multiple intelegence atau kecerdasan beragam yang bisa dimiliki seorang anak. Menurut Gardner, kecerdasan seseorang kini tidak lagi styreo type ditentukan karena keunggulannya di bidang matematika atau science. Masih ada bidang lain yang dapat dirambah anak untuk dijadikan kecerdasannya sendiri, seperti kecerdasan berbahasa, berlogika, bermusik, berinteraksi sosial, melukis, memanajemen emosi, berinteraksi dengan alam atau kecerdasan olah fisik.
Setiap anak pasti memiliki potensi untuk menguasai salah satu atau beberapa dari kecerdasan tersebut. Ada anak yang cerdas berbahasa yang ditandai dengan pesatnya si anak dalam menyerap kosa kata baru. Adajuga anak yang ahli bermusik yang bisa dilihat dari kehebatannya menghafal lagu dengan irama dan notasi yang tepat, atau ada anak yang begitu mahir memainkan bola di kaki nya, seperti ada perekat yang sangat kuat menempel di kaki anak tersebut. Dan masih banyak lagi.
Menilik pendapat Gardner di atas, sayang sekali jika masih ada orang tua yang menganggap anak cerdas adalah anak yang pandai matematika. Bisa dibayangkan bagimana depresinya anak apabila ia tidak berbakat di bidang ini. Dalam situasi demikian, biasanya sih orang tua akan sibuk mencari tempat kursus matematika terbaik, dan tanpa ba bi bu mendaftarkan anaknya ke tempat kursus tersebut. Padahal, mungkin saja si anak bisa menjadi seorang musisi besar seperti Mozart, yang pada masa kanak-kanaknya juga nyaris dianggap sebagai ‘anak yang gagal’ karena mengalami keterlambatanberbicara.
Saya jadi teringat dengan pertanyaan salah seorang manajer HR di sebuah pelatihan internal. “Jika anak Anda mendapat nilai 5 untuk matematika, dan nilai 9 untuk menggambar, kira-kira apa yang akan Anda lakukan?” Semua peserta, termasuk saya, menjawab akan memberikan kursus tambahan matematika. Lanjutnya, “Tahukah Anda, itu adalah tindakan keliru yang sering dilakukan para orang tua. Memberi kursus matematika pada anak yang lemah kemampuannya di bidang tersebut, mungkin hanya akan membuatnya mengalami peningkatan 1 hingga 2 grade. Dari nilai 5, maksimal dia bisa peroleh 6 atau 7 karena kecerdasannya memang tidak di situ. Kenapa tidak memberikan kursus melukis yang justru akan semakin melejitkan kemampuannya karena ia memang kompeten di bidang ini? Pilih mana, nilai pas-pasan atau nilai excellent?”
Saya sungguh tercekat. Nurani dan logika sontak berjalan bersamaan, diikuti derasnya pertanyaan yang melintas pikiran. Benar juga, kenapa anakku mesti cerdas matematika? Begitu mengerikankah dampak yang ditimbulkan bila ia tidak pintar matematika? Kenapa ia tidak boleh ‘memilih’ kecerdasannya sendiri?
Ayah, Bunda, yuk kita renungkan kembali!