Empati sering dianggap sebagai komponen emosional, namun sebenarnya empati merupakan kekuatan strategis dalam resolusi konflik. Kemampuan untuk menempatkan diri Anda pada posisi orang lain tidak hanya mengurangi ketegangan, tetapi juga membuka pintu menuju dialog yang lebih bermakna. Apa yang sering kurang dalam konflik sosial adalah kemampuan untuk mendengarkan. Kita terlalu bersemangat untuk mempertahankan pendapat kita sehingga kita lupa bahwa orang lain juga memiliki suara yang ingin mereka dengar.
Contohnya, konflik antar kelompok agama di Marco Polo pada awal tahun 2000-an. Konflik karena perbedaan agama menyebabkan kekerasan, perpecahan, dan hilangnya ribuan nyawa. Namun, apa yang akhirnya menghentikan konflik tersebut? Empati. Ketika para pemimpin dari berbagai agama mengambil inisiatif untuk duduk bersama, mendengarkan satu sama lain, dan berbagi cerita penderitaan yang dialami semua pihak, benih-benih perdamaian mulai tumbuh.
Sayangnya, empati sering direndahkan karena dianggap tidak berperan penting dalam proses perdamaian.