Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

Ironi sepak bola nasional

29 Mei 2010   13:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:53 162 0
Sejenak kita alihkan perhatian kita dari hiruk pikuk perhelatan piala dunia untuk sedikit menengok ke negeri sendiri. Sebagaimana kita tahu bahwa telah lahir juara baru dalam kancah kompetisi liga super Indonesia. Sang juara baru itu adalah Arema Indonesia. Tim sepak bola dari kota Malang ini memastikan gelar juara saat kompetisi belum selesai dan tinggal menyisakan satu pertandingan lagi. Kita patut memberikan selamat kepada sang juara baru, Arema Indonesia, atas prestasinya menjuarai liga super Indonesia.

keberhasilan Arema Indonesia menjuarai liga super boleh jadi hanyalah bagian kecil dari episode dan kisah suram dari perjalanan sepak bola Indonesia. Prestasi Arema boleh jadi hanyalah satu dari sedikit saja berita gembira dibalik carut marut dan kisah kelam wajah sepak bola Indonesia secara keseluruhan. Selama ini kita selalu saja disuguhi berita yang kurang menggembirakan terkait dengan persepakbolaan nasional. Mulai dari prestasi suram yang dimiliki oleh timnas, seringnya terjadi kericuhan dalam pertandingan sepak bola nasional, sampai PSSI yang kurang greget dan tegas dalam memutuskan perkara yang terkait sepak bola nasional.

Di balik carut marut sepak bola nasional sebenarnya ada lagi ironi yang menyertai penyelenggaraan kompetisi liga secara umum. Bukan suatu rahasia bahwa pendapatan pemain sepak bola dan pembiayaan operasional suatu klub sangatlah besar. Sebagai contoh, ada pemain lokal yang memiliki gaji ratusan juta per bulan. Apalagi pemain asingnya, sudah pasti mendapat gaji yang sangat besar (kalo ngga gede mana mau maen bola disini). Ironisnya, pembiayaan dan operasional klub-klub sepak bola nasional ditopang oleh anggaran pemerintah daerah. Ini artinya klub dibiayai oleh pemerintah daerah yang notabene merupakan uang rakyat. Jadi, selama ini rakyatlah (baca: kitalah) yang membiayai dan membayar para pemain bola yang bergaji sangat besar itu. Bukankah ini sebuah ironi!

Ironi ini nampak begitu nyata ketika pemain bola nasional yang hidup dari uang rakyat bertindak seenaknya dan tidak sportif. Sungguh jauh dari sikap seorang profesional yang hidup dari profesi bermain bola. Mereka seolah menutup mata dan telinga bahwa keberlangsungan hidup dan profesi mereka sangat bergantung dan ditopang oleh keuangan pemerintah daerah. Prestasi dan sportivitas yang semestinya menjadi tujuan dan kebanggaan tertutup oleh gaya hidup mewah dan segala fasilitas kelas satu yang selalu mereka dapatkan. Prestasi seolah menjadi kata-kata kosong di balik glamor dan hidup yang mewah. Dengan gaji besar yang didapatkan tidak sulit buat pemain bola ini mendapatkan dan memenuhi segala keinginannya. Ini tentu saja suatu kondisi yang amat tidak pantas.

Tentu saja ini adalah sebuah ironi saat gelontoran dana yang melimpah tidak bisa menghasilkan sebuah prestasi yang membanggakan. Dan lebih ironis lagi dana yang dikucurkan merupakan uang rakyat melalui pemerintah daerah. Padahal kita tahu dana untuk pendidikan saja begitu sulit didapat. Dan dana melimpah ini hanya dinikmati oleh segelintir pemain bola yang kenyataannya tidak bisa menampilkan permainan sepak bola secara profesional dan sportif.

semua rakyat berharap ada kemajuan yang berarti dalam perjalanan persepakbolaan nasional yang sangat kita cintai ini. Saat setiap perhelatan piala dunia, kita hanya bisa mengagumi para pemain dan tim dari negara lain sambil menelan ludah atas kondisi sepak bola nasional. Hanya keputusasaan yang muncul saat tim lain telah begitu jauh melangkah dalam piala dunia sebagaimana korea selatan yang mampu mencapai semifinal piala dunia 2002. Entah kapan prestasi yang membanggakan bisa diraih oleh tim nasional kita. Namun demikian rasa optimis harus selalu ditanamkan dalam hati bahwa suatu saat nanti Indonesia tidak hanya bisa sebagai penonton saja melainkan bisa menjadi salah satu kontestan piala dunia. Semoga ...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun