Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi Artikel Utama

Teman Wartawan, Byline Itu Penting!

15 Agustus 2010   19:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:00 1233 0
[caption id="attachment_227477" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Apa itu "byline"? Ini salah satu definisinya: The byline is a short phrase or paragraph that indicates the name of the author of an article in books, magazines, newspapers, newsletters, or other publications. In some cases, bylines may be used to give credit for photographs or illustrations. Dalam contoh lain, biasanya di majalah online, byline bisa berupa biografi mini penulisnya. ini fleksibel. Yang penting ada. Kenyataannya ialah banyak media yang mengesampingkan byline, seolah ini tidak penting. Ada syukur, tak ada pun tak apa. Adapula yang hanya memberikan kode penulis pada artikelnya. Contohnya di majalah Area, tempat saya bekerja. Catatan: beberapa media besar seperti Kompas pun kadang tak mencantumkan byline. Saya, di majalah AREA versi cetak, kodenya adalah "byu". Menurut saya, Area punya alasan untuk ini, yaitu keterbatasan ruang tulisan. Dengan majalah yang hanya berukuran 18 x 14 cm, setiap karakter (baca: huruf) dihitung dengan cermat. Sebuah tulisan harus dikemas dengan padat, tanpa menghilangkan unsur "5W1H". Ada tiga model tulisan di majalah Area, yaitu feature, wawancara,dan straight news. Tulisan feature dan wawancara diberi jatah minimal satu halaman. Satu halaman Area hanya mampu menampung kurang lebih 220 kata. Di sini, byline ditulis dengan lengkap, diselipkan dibagian lead/bumper. Kendala baru muncul pada tulisan berformat straight news. Ini biasanya hanya sepertiga halaman, jatahnya 70 kata. Ini menjadikan penulisan byline secara lengkap memiliki arti pemborosan ruang, atau merusak estetika desain. Masuk akal, meski di lain sisi saya melihatnya sebagai diskriminasi. Seolah-olah ada 'kasta berita', yang penting dan yang kurang penting. Untung saja, versi online kami tak mengenal batas maksimal jumlah karakter. 5000 kata juga akan saya 'loloskan', selama tulisannya memikat. Justru, kami punya minimal jumlah karakter dalam sebuah tulisan, yaitu 250 kata. Dalam versi online, byline ditulis dengan lengkap, tepat di antara judul artikel dan excerpt. Ini bagus. Sebenarnya, mengapa kita membicarakan byline? Pentingkah? Apa manfaatnya? Jawaban saya adalah: byline itu penting, bermanfaat, sekaligus merupakan bentuk tanggung jawab penuh seorang penulis atas apa yang ditulisnya. Yang terakhir ini rasanya tidak bisa dianggap main-main. Seorang teman memberikan undangan perkawinannya pada saya. Di situ ada kesalahan pada penulisan nama. Saya pun tertarik untuk mengetahui siapa yang membuat undangan ini. Setelah dibolak-balik, ternyata memang tak ada nama atau perusahaan yang memproduksinya. Untungnya, pertama, saya tak ambil pusing soal kesalahan ini. Kedua, dalam undangan tersebut memang -seperti biasa- sudah ada kalimat, "mohon maaf jika ada kesalahan pada penulisan nama atau gelar". Ya, sudahlah. Saya maafkan. Bayangkan jika kasus di atas adalah sebuah artikel. Sepertinya tak sulit untuk mengetahui apa pentingnya byline. Ada sedikitnya empat alasan logis. Satu, ia berguna untuk proses koreksi dan klarifikasi. Dua, ia membuat audience sadar, apakah sang penulis kompeten atau tidak, teliti atau tidak, bisa dipercaya atau tidak. Jika pembaca merasa dirugikan atas tulisan di artikel tersebut, mereka jadi tahu harus menuntut kepada siapa. Tiga, ia merupakan bentuk sikap bertanggung jawab atas apa yang sudah ia tulis. Menulis tanpa byline berarti bersembunyi dibalik nama institusi tempat ia bekerja. Empat, penulisan byline bakal memacu seorang penulis untuk membuat karya tulis yang baik. Nama mereka menjadi taruhannya. Tentunya, ada beberapa kondisi yang bisa jadi pengecualian soal peniadaan byline. Biasanya, ini dilakukan jika keselamatan seorang reporter terancam jika namanya disebutkan. Taruhlah, ia sedang melakukan investigasi soal organisasi kriminal kelas kakap. Ini bisa membahayakan nyawa reporter tersebut, bahkan keluarga dan orang-orang terdekatnya. Tapi, jika kondisinya tak segenting itu, maka bagi saya tak ada alasan untuk tidak menggunakan byline. Tadi adalah soal tanggung jawab. Di luar itu, byline juga bermanfaat bagi seorang penulis, terutama soal self branding. Ini mungkin terdengar narsis, tapi menurut saya penting. Logikanya, semakin populer brand-nya (baca: nama penulisnya), maka semakin besar pula pengaruhnya terhadap masyarakat. Wartawan radio lebih dikenal masyarakat  karena namanya disebutkan di awal sesi (bahkan di sela dan di akhir sesi) mereka. Jika suaranya khas, satu-dua kali siaran pendengarnya bisa langsung hafal. Wartawan TV lebih lagi. Suara dan wajah mereka terpampang jelas, kadang masih ditambah byline pula. Siapa tak kenal Najwa Shihab? Nah, sialnya, penulis hanya punya dua cara untuk 'memperkenalkan' diri mereka, yaitu lewat gaya tulisan yang khas, serta lewat byline. Cara pertama jelas membutuhkan usaha yang tak mudah. Penulis butuh jam terbang tinggi untuk menemukan gaya mereka sendiri. Jika sudah menemukan pun, belum tentu itu disadari masyarakat. Mengenali gaya tulisan tak semudah mengenali suara dan wajah orang, kan? Lalu, bagaimana jika penulis belum punya gaya khas-nya sendiri? Jalan satu-satunya, ya, byline. Nah, lalu apa jadinya jika byline malah ditiadakan? Silakan berkomentar.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun