Tentang cinta, membicarakan perihal ini, akan bermuara kepada pernikahan. Dalam Aqidah Islam, begitu gamblang dan jelas terdeskripsikan, dan sangat jeli dalam memuliakan wanita dan pernikahan (QS. An-Nuur: 30-34).
Dalam sejumlah peradaban, baik Yunani, Romawi, India, Yahudi, dan Arab jahiliah, wanita dipandang layaknya" bakteri", wanita adalah barang yang dijualbelikan, diwarisi tapi tidak mewarisi,dsb. Sayangnya kini, dalam peradaban barat yang katanya modern, wanita menjadi komoditas dan kesenangan. Bebasnya pergaulan, sehingga aktivitas pacaran sudah "lumrah", dimana anak laki-laki Dan perempuan bebas bergaul,akibatnya keduanya sulit dipisahkan, entahlah apakah hubungan tersebut dilandasi cinta atau nafsu, beda keduanya sangat tipis. MBA, aborsi seperti layaknya bacaannya sarapan pagi.
Hanya saja, menyalahkan anak 100% juga tidak tepat. Karena orang-tua juga yang kurang menanamkan agama, termasuk mempersiapkan anak gadisnya menuju pernikahan, menentukan kriteria pasangan yang syar'i berikut tatacara yang Islami. Lebih dalam,bila sudah menyangkut pasangan beda agama, sehingga saat inipun, menikah tanpa restu orang-tua sudah "lumrah", padahal jangan menganggap remeh pernikahan tanpa restu orang-tua ini, Karena menikah tanpa wali dari ayah kandung pihak wanita adalah tidak sah disisi Allah,Swt. Maka bila sudah demikian sama saja dengan zina (Q.S.An-Nuur: 2).
Bagaimanapun, orang-tua selalu menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Orang-tua mendampingi anak sejak dalam kandungan hingga sepanjang hayat. Pernahkah ada bahasa mantan orang-tua atau mantan anak? bila mantan suami/istri pasti ada. Bila sudah demikian, haruskah atas nama cinta, restu orang-tua sirna dan aqidah tergadaikan?
Yakinlah, jika jodoh tak akan lari kemana, bila orang tua belum merestui,mungkin memang itu bukan pilihan terbaik dari Allah.Swt.