Bencana, begitu nyata, begitu dekat. Kita seharusnya bisa merasakan sedihnya seorang ibu yang tak lagi miliki perabot rumah dan dapur. Televisi yang baru dicicil dua bulan rusak karena banjir, namun ia masih wajib mencicil hingga setahun ke depan. Perhiasan yang disimpan sebagai tabungan pun raib. Anak-anak meratapi sepatu yang pekan lalu baru dibelikan ayahnya, setelah bertahun-tahun ayahnya tak membelikan sepatu baru untuk gantikan sepatunya yang sobek, usang dan kesempitan. Berapa belas ribu anak yang bersedih lantaran semua perlengkapan sekolah dan buku-bukunya tak lagi bisa dipakai. Meski ada yang tak hanyut, sudah pasti basah, rusak dan berlumpur. Bagaimana dengan sang Ayah? Bebannya terasa lebih berat. Bertahun-tahun membangun kehidupan di rumah kecilnya, memenuhi kebutuhan keluarganya, tiba-tiba semuanya hancur seketika. Kuatkah ia membangun kehidupannya kembali?
Masyarakat yang sebelum bencana hidup dalam kecukupan, serta merta menjadi miskin, sama miskinnya dengan tetangga yang sebelumnya memang sudah miskin. Sawah, ladang , kebun dan tambak yang sudah digarapnya berbulan-bulan pun gagal dipanen. Padahal, mereka sudah siapkan rencana syukuran panen raya pekan depan. Toko dan perniagaan yang diusahakannya selama ini, kini kosong melompong tersapu banjir. Tak ada lagi yang datang ke tokonya, karena tak ada yang membeli dan tak ada pula yang bisa dibeli. Para peternak yang menatap sedih kandang ternaknya yang hancur dan mengubur satu persatu ternaknya, terasa seperti ia tengah mengubur semua mimpi dan harapannya.
Beberapa warga boleh jadi ada yang tengah menyiapkan pesta pernikahan anaknya. Tenda sudah berdiri, bahan makanan sudah dibeli, undangan telah disebar, tiba-tiba tertunda. Tenda tetap berdiri tanpa ada riuh pesta para tamu undangan. Dan yang pasti senyum kebahagiaan kedua mempelai pun tertunda.
Bagaimana dengan warga yang sudah hidup dalam kemiskinan sebelum terjadi banjir? Rumah berdinding geribik dengan mudah terbawa aruh banjir. Saat banjir surut, mereka tak hanya kehilangan harta benda di dalam rumahnya, bahkan rumahnya ikut lenyap. Selama bertahun-tahun mereka hidup di rumah “surga”nya itu, kini semuanya terenggut bencana. Sawah tak punya, ladang dan kebun pun tidak ada. Selama ini kepala keluarga hanya menggarap sawah milik orang lain, kini pun tak lagi bisa bekerja karena ladang dan kebun orang lain pun ikut tersapu banjir.
Setelah banjir, bukan hanya tak memiliki apa-apa lagi, bahkan hutang pun segera membelit mereka. Disaat seperti ini, para rentenir datang bak malaikat, seperti memberi angin segar namun menjerat leher mereka perlahan-lahan. Hutang semakin besar. Tak adakah program kredit lunak bagi mereka?
Setelah banjir, anak-anak dan balita terancam kesehatan dan gizinya drop. Paska banjir, saat ayah dan ibunya tak lagi memiliki apapun, sekadar untuk bisa makan hari itu, susu pun tak terbeli. Kesehatan menurun, anak-anak kekurangan gizi. Puskesmas masih tutup karena tak ada persediaan obat, posyandu pun masih penuh lumpur.
Tak sekadar milik pribadi, fasilitas umum dan fasilitas sosial pun terkena dampak banjir hebat. Tempat ibadah yang ikut rusak dan berlumpur, semua fasilitasnya tak lagi berfungsi. Pengeras suara tua yang selama ini menjadi andalan pemanggil ibadah pun berakhir masa jasanya. Karpet berlumpur, kitab-kitab serta buku pelajaran mengaji anak-anak habis. Sampai berapa lama tak terdengar lagi panggilan adzan di kampung itu? Sampai kapan anak-anak menunggu untuk bisa mengaji lagi setiap sore?
Sekolah-sekolah yang tak luput dari terjangan banjir. Lantainya berlumpur, meja kursi patah, rusak karena sebelum banjir pun sudah lapuk dimakan rayap. Buku-buku pelajaran di perpustakaan penuh lumpur, alat peraga pendidikan tak lagi utuh. Catatan-catatan pendidikan, raport hasil belajar seluruh siswa, dokumen penting sekolah, bahkan mungkin honor guru bulan ini ikut terbawa banjir.
Puskesmas dengan semua fasilitas di dalamnya ikut terendam. Tak lagi higienis, tak layak pakai. Sudah pasti seluruh obat persediaan terendam. Sementara saat dan paska banjir, warga membutuhkan pelayanan kesehatan. Para dokter, mantri dan perawat pun sibuk mengurusi rumah dan keluarganya masing-masing yang juga terkena banjir.
Kantor desa banjir, lurah dan segenap pegawai kelurahan tak sempat menyelamatkan arsip warga. Tak ada lagi keramaian di pasar yang selama ini berperan besar dalam perputaran ekonomi warga. Jembatan putus, akibatnya warga terisolir, perekonomian tersendat, pasokan bahan makanan terhenti, aktifitas warga terbatas, anak-anak harus menempuh jalur memutar yang sangat jauh untuk bisa ke sekolah.
Warga korban banjir, meski banjirnya usai namun duka mereka masih panjang. Kepedulian semestinya tak ikut surut bersama surutnya banjir. Karena surutnya banjir tak berarti berakhirnya duka mereka. Mereka masih membutuhkan uluran tangan kita untuk membangun kembali mimpi, harapan dan cita-citanya. Mereka akan mulai menata kembali puing-puing kehidupannya yang lenyap diterjang banjir, kebersamaan kita akan memberi semangat luar biasa bagi mereka. (Gaw)