Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen: Santri Tani

11 Desember 2014   07:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:33 130 1



malam yang diawali dengan sangat sempurna oleh tuhan. pujipujian semesta rengengrengeng terdengar dari suatu tempat yang tak pernah terpetakan sampai kapanpun. di sebuah tempat yang begitu dekat tapi juga jauh, di sebuah tempat yang terdalam tapi juga sekaligus paling permukaan. yang pasti rengengrengeng itu sempat terindra oleh sondermo yang sore itu sedang asik mengaso di gubug tepi ladang, bahkan sondermo sempat merinding dibuatnya. sempat hanyut mengikuti alunannya. sondermo hanyut dalam rengengrengeng awalan malam sore itu. saatsaat seperti itulah sondermo merasa benar menemukan kebebasannya.

kembali sondermo menghisap dalamdalam rokoknya. asap mengepul, kali ini lebih pekat dari yang taditadi.

sore, kopi, dan rokok, di gubug kecil tepi ladangnya dengan semilir angin yang sepertinya malasmalas manja berhembus. dari kebiasaannya inilah akhirnya muncul inisiatif untuk mendeklarasikan hobi barunya. hobi yang tidak merugikan kepentingan orang lain, hobi yang ramah lingkungan, dan akhirnya adalah hobi yang bijaksana. maka dengan itu sondermo menyatakan hobi barunya adalah merenung. ya, merenung.

dan sore itu, kurang lebihnya sondermo sedang memuaskan hobinya, merenung.

sondermo senyumsenyum, tepatnya menirukan senyuman mbah yayi. "mbah yayi itu, ya guru, ya simbah, kadang jadi teman, dan kadang menjengkelkan sering juga jadi lawan," kenang sondermo, "kadang jadi guru agama, guru ngaji, guru apapun bahkan guru masak."

"di dunia ini tidak ada yang mutlak dalam jangkauan manusia, le. benar atau salah itu juga tidak ada yang tahu pasti, pasti benar atau pasti salah. tapi juga tidak lantas tidak ada kebenaran atau kesalahan. yang dilakukan mbak yayi ini pun juga tidak ada jaminan benar atau salah, tidak ada yang berani menjaminnya. hanya saja kita ini berusaha sebisa mungkin tidak nyalahi anggeranggere gusti alloh. hidup ini belajar. hidup ini, nantinya buat kamu, repot kalau kamu bikin repot, gampang kalau kamu bikin gampang. tapi jangan sekalikali nggampangke. itu berarti kamu meremehkan. pada dasarnya tidak ada satupun yang mau diremehkan, apapun." sondermo ingat betul kala itu, ia purapura tidur. dan mbah yayi mengakhiri wejangannya, wejangan yang belum sepenuhnya dapat dicerna sondermo, juga sampai saat ini. sondermo yakin kalau mbah yayi tahu, seyakin mbah yayi mengira sondermo berpurapura. tapi itulah mbah yayi, beliau datang lagi membawakan selimut buat sondermo.

sedikit tentang mbah yayi; beliau biasa dengan sapaan mbah yayi atau ada juga yang mengenal dengan kyai lor kidul. istri beliau biasa disapa mbah nyai atau juga nyai lor kidul. rumahnya joglo kuno dengan tiga bagian utama, ruang depan dengan ruang tamu dan kamar santrisantrinya atau juga untuk siapa saja yang mau menginap, ruang dalam-begitu biasa disebut- tempat mbah yayi dan keluarga, dan dapur yang juga berfungsi untuk menyimpan hasil panen. mata pencahariannya sebagai petani dan dari beberapa hewan ternak piaraan. dan itulah yang sangat diajarkan. dan itu juga yang paling menjengkelkan sondermo.

suatu ketika sondermo pernah bertanya setelah mengaso makan siang, "mbah, saya itu katanya mau dimasukkan ke pesantren oleh bapak-ibuk, tapi kok malah dibawa ke sini?"

"lha, kamu kira ini itu apa?"

"ini pesantren?"

mbah yayi mengangguk, dan sambil tersenyum.

"katanya pesantren itu harus mengaji, harus pake peci, pake sarung, kok di sini tidak?"

"kata siapa?"

"kata orangorang."

“lha, kok, kata orangorang... lha, kamu sendiri?”

Sondermo gelenggeleng

"begini, lho, le," mbah yayi sambil tertawa kecil, "pesantren itu kan tempat orang nyantri. nyantri oleh para santri, lha, santri itu maksudnya sraten kanthi sranti. Nyrateni kanthi sranti. sraten itu nyrateni. nyrateni itu ya harus mengenal, memahami, memelihara, membimbing, mendidik, ngemong. sranti itu maksudnya sabar, mengendalikan diri sampai benarbenar tepat waktunya. jadi kurang lebihnya diamong sampai benarbenar tepat waktunya."

"ow," jawab sondermo sambil manggutmanggut.

"tapi, yo nggak tau, lho, kalau simbah salah."

"iya, ya. tapi di sini semua diajari tani-ternak, jarang sekali mengaji?"

"ya, itu berarti kalian ini santri tani," kali ini mbah yayi tertawa terkekeh tidak hanya senyum.

sondermo dan yang lain ikut tertawa, "memang kalian tahu?" sela mbah yayi.

"tidak," jawaban serentak, dan tertawa semakin menjadi. mbah yayi gelenggeleng. dan tentunya sambil tersenyum.

jauh dari peristiwa itu, jauh dari hari ketika sondermo dan delapan temannya mengaso sehabis makan siang, sondermo merenungkan katakata mbah yayi, santri tani. "apa maksudnya santri tani?" gumam sondermo. benarbenar baru terpikirkan, padahal mbah yayi sering menyebut itu, juga orangorang di sekitaran pesantren. banyak yang mengira karena memang yang diajarkan adalah bertani, tapi sepertinya tidak. "tidak sesederhana itu," sondermo membantah pendapatnya sendiri.

"santri, sraten kanthi sranti. nyrateni kanthi sranti. lha, tani?" sondermo menghisap dalam rokoknya. mikir sekaligus kecewa. kecewa, kenapa dulu ia tak mau lebih lama nyantri ditempat mbah yayi, jadi ia bisa bertanya panjang lebar diselasela mengaso atau saatsaat sebelum tidur, seandainya saja, pasti sore ini ia tak akan berpikir sedemikian keras tentang santri tani. "tidak ada yang mutlak dalam jangkauan manusia," seperti menggugah kesadaran sondermo, wejangan mbah yayi hadir sebagai penengah tanya-jawab sondermo, "itu ditata yang benar. orang tani itu harus pinterpinter noto!" seringkali mbah yayi mengingatkan santrinya kalau sedang tanam atau merawat tanaman.

"bener, " ujar sondermo tibatiba. mbah yayi ini memang ampuh. jenius. terbayang oleh sondermo senyum mbah yayi. wejanganwejangan mbah yayi mulai bisa ia pahami, uthak-atik-gathuk. menyerupai puzzle.

tani itu toto, noto. natani. menata-bisa berarti berulangulang, menata berulangulang atau terus menerus. sesederhana itukah? mungkin. bisa saja.

nyantri sebagai santri tani, kurang lebihnya diamong, dididik, dibimbing sampai waktunya benarbenar tepat untuk ditata. untuk ngaji. mungkin itu sebabnya kami dulu jarang sekali diajar mengaji, mungkin kami belum siap? dan sampai sekarang?! mungkin juga.

dan kenapa harus diajari bertani? mungkin memang disiapkan untuk nanti-pada waktunya, yang benarbenar tepat-gantian menata. tiba waktunya untuk menata.

"sesederhana itukah konsep pesantren mbah yayi yang santrinya tidak pernah banyak itu?" tanya sondermo dalam hati, "tidak! ditata dan akhirnya ganti bisa menata untuk akhirnya melahirkan penatapenata lain, yang juga bisa menata dan melahirkannya kembali, begitu terus berkelanjutan... itu bukan hal yang sederhana. itu proyek jangka panjang yang tidak ada putusputusnya. itu bukan hal sederhana!" sondermo berbantahan dengan dirinya. ya, begitulah asiknya merenung, kita bisa hadir sebagai apapun dalam waktu bersamaan, dua, tiga, empat, atau bahkan seribu wajah diri kita yang berlainan dapat hadir bersamaan. kadang sondermo merasa gila akan hal yang demikian.

santri tani. santri tanpa peci. "hanya saja kita ini berusaha sebisa mungkin tidak nyalahi anggeranggere gusti alloh."

darimana mbah yayi mendapat wahyu gagasan seperti itu? sondermo semakin menyesali keputusannya. menyesali kejengkelannya untuk dididik menjadi petani, menjadi seorang tani. menyesal ketika menggerutu hanya karena diingatkan memberi makan ternaknya. memang di pesantren mbah yayi, santri tidak dipungut biaya apapun. semua santri diajari tani-ternak. masingmasing santri punya tanggungjawab, punya ladang garapan dan punya ternak sendirisendiri. dari situlah santrisantri dihidupi. atau dengan kata lain menghidupi diri sendiri. mandiri. dan mbah yayi selalu bilang, "itu rejeki kalian dari gusti alloh, bukan dari simbah, simbah ini hanya noto, nyuruhnyuruh saja, kadang mengingatkan," dan biasanya tidak hanya sampai di situ, ada lanjutannya, "terserah mau seluas apapun garapan kalian, terserah mau sebanyak apapun ternak kalian, yang pasti jangan sampai membebani kalian. tidak memberatkan kalian. tetapi kalian harus menggarap ladang, tani, dan harus memelihara ternak. ingatingat betul, jangan sampai menelantarkan garapan dan ternak kalian. itu dzolim namanya. atau tidak mau mengambil garapan dan ternak padahal kalian mampu, itu juga dzolim namanya."

dan sondermo jengkel akan hal itu. tani itu tidak ada bagusbagusnya dalam bayangan sondermo waktu itu. tani itu tidak keren. tani itu kampungan. tani itu buruh kasar. tani itu membajak sawah dengan kerbau. lalu, mengapa harus susahsusah belajar tani?! terlebih, tidak ada tivi di rumah mbah yayi dengan begitu sondermo tidak bisa nonton doraemon. sondermo juga ketinggalan cerita saint seiya, kesatria baja hitam, wiro sableng. dan bayangbayang akan semua tontonan itulah yang seringkali membuat sondermo bertambah jengkel. tak ada tontonan, tak ada waktu bermalasan. selalu ada teguran. tani-ternak, tani-ternak... setiap hari, setiap waktu. akhirnya suatu pagi di hari minggu, ketika keinginan nontonnya menggebu, sondermo membulatkan tekatnya, menunaikan keputusannya. keputusan yang kini ia sangat menyesalinya.

suara adzan terdengar. sondermo beranjak dari renungannya. ia pandangi sekeliling, tanamannya, ladang garapannya... ia tersenyum puas, "terawat. ini, mbah, santri tanimu," sondermo menghela nafas.

"santri tani," sondermo senyum gelenggeleng, takjub dan salut,  "adaada saja orang tua itu," kini sondermo mulai bisa meraba tentang konsep santri tani-nya mbah yayi, tentang konsep kemadiriannya, tentang lahan garapan dan ternak yang tidak boleh dizolimi.

hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh

hidup adalah untuk mengolah hidup

bekerja membalik tanah

memasuki rahasia langit dan samodra,

serta mencipta dan mengukir dunia.

kita menyandang tugas,

kerna tugas adalah tugas.

bukannya demi sorga atau neraka.

tetapi demi kehormatan seorang manusia.”*

"itu dari gusti alloh, bukan dari simbah, simbah hanya noto,"

sondermo kaget. lingaklinguk. merinding.[]


  • *penggalan puisi ws rendra, sajak seorang tua untuk istri.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun