Saya pertama kali melihat dan mendengar nama Agustinus Wibowo di acara Kick Andy, episode ‘Para Petualang’. Di acara itu, Agustinus menjadi salah seorang narasumber yang bercerita banyak mengenai pengalaman backpacking-nya yang ‘nekat’ di luar negri. Unik sekali. Banyak cerita-cerita menarik, lucu dan menggelitik yang keluar dari mulutnya. Laki-laki ini pemberani! Saya begitu tertarik dan terkesan mendengar pengalaman-pengalaman Agustinus. Negara yang ia pilih untuk dikunjungi dan jelajahi jelas bukan negara biasa. Bukan Jepang, bukan Korea, Australia, Amerika, atau salah satu negara maju di benua Eropa, melainkan sebuah negara yang sudah babak belur akibat perang, terkenal reputasinya sebagai negara kacau balau: Afghanistan! Di acara Kick Andy itu pula Agustinus memperkenalkan sebuah buku yang ia tulis sendiri, berkisah tentang catatan perjalanannya menjelajah setiap sudut Afghanistan. Buku itu ia beri judul ‘Selimut Debu’. Penasaran ingin tahu lebih banyak dengan kisahnya di negri Osama bin Laden itu, saya akhirnya memutuskan untuk membeli bukunya. Buku ini tergolong tebal buat saya, 461 halaman. Namun cara menulis Agustinus yang sangat baik membuat saya tidak bosan membuka lembar demi lembarnya.Sesuai judul bukunya, Agustinus mengibaratkan Afghanistan sebagai tempat menarik yang tertutup ‘selimut debu’. Meskipun hancur lebur akibat perang, ia menunjukkan bahwa negri ini masih punya paras jelita, sisa-sisa kejayaan peradaban di masa lampau, sisi-sisi kemanusiaan para penduduknya dan -yang paling penting- harapan masyarakatnya untuk bangkit dari keterpurukan. Agustinus menemukan kembali harta karun dunia yang telah lama hilang bernama Afghanistan. *** Agustinus berkelana dari satu propinsi ke propinsi lain di Afghanistan. Ia beristirahat hingga terlelap dari satu
shamovar –kedai teh dalam bahasa Afghan- kumuh ke
shamovar kumuh lain, menghabiskan malam-malam gelap gulita tanpa penerangan dari dusun terpencil satu ke dusun terpencil yang lain. Ia turun naik menumpang
jeep dan truk tua buatan Rusia, mengenakan
shalwar qamiz –pakaian adat Afghan-. Wajahnya yang sangat ‘mongoloid’ membuat banyak orang Afghan mengiranya seorang pria dari suku Hazara –salah satu etnik yang mendiami Afghanistan-. Agustinus begitu menyatu. Ia menjadi bagian dari rakyat Afghanistan. Ia turut lebur dalam debu-debu yang menyelimuti tanah gersang negri Afghan. Agustinus menjadi saksi hidup di sebuah daerah berdimensi lain dari bumi yang kita diami. Di Kabul –ibukota Afghanistan-, Agustinus melihat bagaimana perang telah memporak-porandakan negri ini. Orang-orang cacat kehilangan anggota tubuh akibat hantaman roket atau terinjak ranjau berkeliaran dimana-mana, kebanyakan menjadi pengemis di jalanan. Orang tua, wanita hingga anak-anak tak berdosa jadi korban – perang tidak memilih mangsanya (kata Agustinus). Kepentingan asing sangat kentara pula di negri ini, khususnya di Kabul. Tentara perdamaian dari macam-macam negara berpatroli di jalan setiap hari. Lembaga-lembaga donor asing menjamur, pekerja sosial dan relawan berdatangan dari seluruh penjuru dunia. Dana bantuan untuk rekonstruksi berjuta-juta dollar digelontorkan, namun ironisnya seperti sama sekali tidak berdampak apa-apa bagi rakyat Afghan. Jutaan dollar menguap begitu saja setiap tahunnya. Penyaluran dana tidak dapat diserahkan langsung kepada rakyat miskin, melainkan mesti lewat proses birokrasi yang berbelit. Lembaga donor dan rakyat miskin Afghan sepertinya punya dimensi kehidupan masing-masing. Di Kandahar, Agustinus menyaksikan bagaimana teror bom, serangan roket dan penculikan telah menjadi makanan sehari-hari rakyat Afghan. Bom meledak hampir dua hari sekali. Tidurnya bahkan kerap terganggu akibat ledakan roket. Kekerasan sudah menjadi berita yang tidak hangat dan menarik lagi di media-media. Orang-orang sudah bosan. Jika ada bom meledak, masyarakat berkumpul. Kemudian bertanya berapa jumlah korban. Setelah itu? Kehidupan kembali berjalan seperti biasa seakan tidak terjadi apa-apa. Kerasnya Kandahar yang bukan main bahkan terlihat dari salah satu leluconnya ini,
Pembeli: Berapa harga kepala kambing ini? Penjual: Lima puluh afghani (mata uang Afghanistan). Pembeli: Lima puluh? Terlalu mahal! Dua puluh saja. Penjual: Apa? Dua puluh afghani?Kamu gila? Kamu kira ini kepala manusia? Di propinsi-propinsi lain dan daerah di luar Kabul, Agustinus melihat keterbelakangan dan kemiskinan telah menjadi baju rakyat Afghan. Jalan-jalan yang tak beraspal dengan medan berat telah mengisolasi banyak kampung. Jalan mulus beraspal cuma ada di Kabul dan sebagian kecil daerah saja. Tidak ada sekolah. Tanah gersang, tidak dapat ditanami gandum. Tak ada yang bisa dimakan. Jika musim dingin tiba, entah berapa orang yang mati akibat kelaparan. Namun disini pula Agustinus melihat sisi kemanusiaan yang begitu luar biasa dari masyarakat Afghan. Sikap bersahabat mereka yang tulus terhadap
mehman –tamu, orang asing - membuat Agustinus tidak pernah merasa lelah melangkahkan kaki dari satu tempat ke tempat lain. Perlakuan mereka terhadap ‘musafir’ membuat Agustinus tidak pernah merasa berjalan sendiri. Masyarakat Afghan tidak pernah segan mengajak orang asing yang baru mereka jumpai di truk atau
shamovar untuk menginap di rumah-rumah mereka. Roti yang tersisa satu potong pun rela mereka bagi meski dari pagi perut belum terisi. Perang telah memporak-porandakan kampung halaman, kemiskinan begitu pahit membelit, namun rasa kemanusiaan dan budaya memperlakukan ‘tamu’ dengan baik ini ternyata tidak pernah terkikis atau luntur sedikitpun. Ada pepatah Afghan yang dikutip Agustinus dalam bukunya mengatakan,
Yak ruz didi dost, digar ruz didi baradar yang berarti “
Hari pertama yang kau lihat adalah teman, hari berikutnya yang kau lihat adalah saudara” Rasa kebanggaan terhadap suku dan sifat
primordial masih kuat menancap dalam masyarakat Afghan. Negri ini memang multietnik. Dari Hazara, Tajik, Uzbek, hingga yang paling dominan, Pashtun. Etnik yang satu kerap membangga-banggakan dirinya, tapi di sisi lain kerap pula memberikan stigma negatif pada etnik yang lain. Ada pula yang ogah memakai bahasa etnik lain dengan alasan yang melecehkan, “Ah itu bahasa ‘wanita’ ” Dua aliran agama mayoritas yang dipeluk, Syiah dan Sunni, juga turut mengkotak-kotakkan masyarakat Afghan. Agustinus memaklumi ini semua. Baginya, di sebuah negri yang telah lama digerogoti perang, perbedaan sekecil apapun bisa jadi perkara sensitif. Namun di balik kekacauan, penderitaan, kemiskinan, keterbelakangan yang tak berujung ini, rakyat Afghan masih punya harapan dan cita-cita yang besar untuk bangkit dari keterpurukan. Sebagian melakukan ikhtiar dengan menyebrang ke negri-negri tetangga dengan menjadi pengungsi seperti Iran dan Pakistan. Sedangkan yang punya uang lebih bermimpi untuk hidup layak di Australia, meskipun paling-paling tercegat di Indonesia. Jika kondisi sudah normal seperti sedia kala, mereka akan kembali ke negri tercinta: Afghanistan,
vatan dan
khaak (tanah air) mereka. *** Agustinus menceritakan pengalaman-pengalaman yang ia temui dalam bukunya dengan detil. Gaya deksripsinya yang kuat membuat kita seolah ikut serta dalam perjalanannya, duduk dalam
jeep yang sama dengan yang ia tumpangi, terombang-ambing dalam truk berisi hewan ternak bersama-sama dengannya, tidur di sampingnya dalam
shamovar kumuh yang dikerubuti lalat. Debu kendaraan yang ia naiki seakan masuk ke sela mata dan ikut tertelan dalam tenggorokan. Agustinus tidak membiarkan Anda sepenuhnya berimajinasi dengan kata-kata yang ditulisnya, tapi ia juga menuntun anda dengan menyertakan beberapa hasil foto yang diabadikannya dalam beberapa lembar halaman berwarna di tengah buku. Anda masih diberi gambaran. Buku ini sangat direkomendasikan bagi Anda yang menyukai petualangan, yang tertarik dengan perbedaan budaya, bahasa, adat istiadat sebuah bangsa di bagian bumi yang lain, serta Anda yang ingin tahu lebih banyak mengenai dimensi-dimensi lain kehidupan dari ‘negri-negri mimpi’ yang jarang diekspos media
mainstream. Selamat membaca! Selamat bertualang bersama Agustinus Wibowo! Bayu Permana Sukma
KEMBALI KE ARTIKEL